Telusur Islam Kediri (5): Kiai Nawawi dan Pohon Beringin Angker

Berbekal amalan shalawat, Kiai Nawawi dan para santri berhasil menebang pohon beringin angker, membuat para jin penunggu “Alas Simpenan” lari ketakutan karena kehadiran ribuan malaikat yang mengiringi kehadiran mereka. Nama masjid dan pesantren yang dirintis oleh Kiai Nawawi kemudian dinamai “Ringinagung”, “Pohon Beringin Besar”.

——- Saiful Mujab

Kiai Nawawi adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ringinagung. Beliau dikenal sebagai kiai kharismatik, alim, dan ‘keramat. Kiai Nawawi berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah –sebuah kota yang masyhur dengan sebutan “the Spirit of Java”. Sebuah sumber mengatakan, Kiai Nawawi memiliki darah priyayi dan ningrat. Beliau punya nama kecil “Raden Sepukuh”, putra Raden Bustaman, seorang penghulu di Keraton Surakarta.

Sumber kedua melansir, Kiai Nawawi adalah putra Raden Suryani, Bupati dari Kota Pati, Jawa Tengah. Nawawi kecil lahir pada awal abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1810 M. Menurut sumber ini, Kiai Nawawi konon juga pernah menjabat sebagai penghulu di Keraton Surakarta. Penulis belum bisa memastikan sumber mana paling sahih tentang silsilah Kiai Nawawi ini, mengingat minimnya literatur tentang beliau.

Berdasarkan lacakan penulis, sumber ketiga menyebutkan bahwa Kiai Nawawi adalah bekas prajurit Pangeran Diponegoro. Beliau melarikan diri setelah junjungannya itu ditangkap dan diasingkan ke Makassar oleh Belanda melalui sebuah perundingan ‘licik’. Berkaitan dengan cerita tutur ini, sejarah memang mencatat bahwa tidak sedikit pesantren di Jawa merupakan rintisan para prajurit Diponegoro paskaperang terdahsyat dalam sejarah Jawa.

M. Sholahudin, dalam bukunya Napak Tilas para Masayyikh (2017), mengurai bahwa pada tahun 1835, Kiai Nawawi memulai “rihlah ilmiah”-nya dengan belajar ke pesantren Siwalan di Panji, Sidoarjo. Di sana, Nawawi muda dikenal sebagai santri yang tekun dan cemerlang. Selain itu, beliau sangat akrab dengan kitab kuning. Saking ngelontok-nya pemahaman beliau mengenai banyak sekali kitab muktabar di pesantren, teman-teman Kiai Nawawi remaja menjuluki beliau dengan “sang Nawawi” – yang tak lain adalah nama dari seorang tokoh ulama terkemuka tanah air yang terkenal hingga pentas internasional karena karya-karyanya: Imam Nawawi al-Bantani, sang pengarang kitab Majmû, Nashâihul Ibâd, dan Arbaîn Nawâwî.

Jadi, nama “Nawawi” yang disandang oleh perintis Pondok Ringinagung ini adalah julukan dari teman-temannya sewaktu masih mesantren di Siwalan Panji. Syahdan beliau tinggal di pesantren hingga usia lanjut dan sudah menikah, sehingga tidak heran beliau sering dipanggil “santri sepuh” oleh para santri yang lain. Kealiman beliau membahana hingga wilayah Bangil (sekarang Pasuruan). Singkat cerita, seorang wedono (pejabat pemerintah) dari Bangil mencari Nawawi muda untuk dijadikan menantu. Beliau kemudian menikah dengan putri wedono tersebut, Dewi landep.

Baca juga:   Telusur Islam Kediri (3): Kiai Sholeh Banjarmlati Buang Kanuragan demi Pesantren

Di tahun ke-2 pernikahan beliau, Kiai Nawawi memantapkan diri untuk hidup mandiri dan meninggalkan Bangil, kota sang mertua. Bersama sang istri, beliau hijrah ke Desa Jajar. Tak selang lama, beliau berpindah lagi ke Desa Keling (pojok utara-timur Kabupaten Kediri). Di tempat inilah, Kiai Nawawi mendapatkan petunjuk dalam istikharahnya untuk merintis sebuah pesantren yang kelak dikenal dengan Pesantren Ringinagung.

Ada kisah menarik di balik berdirinya pesantren ini. Dahulu, menurut cerita dzurriyah Ringinagung, pondok ini dulunya adalah “Alas Simpenan”, sebuah hutan belantara yang sangat angker karena dihuni banyak memedi. Konon, tidak seorang pun warga desa berani melintasi hutan angker tersebut. Keanehan lain dari “Alas Simpenan” adalah kayu-kayu yang ada di wilayah hutan tersebut tidak bisa dibakar walaupun sudah mengering. Peristiwa mistis juga kerap dialami warga ketika berada di sekitar hutan.  

Alkisah, di “Alas Simpenan” terdapat sebuah pohon beringin besar yang menjadi rumah dari makhluk-makhluk penunggu daerah angker tersebut. Pohon tersebut tidak bisa ditebang dan penuh kisah mistis yang misterius. Anehnya, justru di tempat ini Kiai Nawawi ingin membangun masjid dan pesantren. Para santri dan jamaah Kiai Nawawi kemudian memberanikan diri untuk menebang pohon beringin besar itu dengan bekal amalan dari sang Kiai. Menurut satu cerita, Kiai Nawawi memeroleh ‘futuh’ ‘pencerahan’ dalam munajatnya kepada Allah Swt. Beliau diminta banyak membaca shalawat “allâhumma sholli ‘alâ Muhammadin wa sallim” sebelum membabat pohon angker tersebut.

Berbekal amalan ini, para santri berhasil menebang pohon angker tersebut. Konon, para jin penunggu “Alas Simpenan” lari ketakutan karena kehadiran Kiai Nawawi dan para santrinya diiringi oleh ribuan malaikat. Selanjutnya pohon beringin tersebut digunakan sebagai kayu untuk bahan bangunan masjid pertama di wilayah Keling. Nama masjid dan pesantren yang dirintis oleh Kiai Nawawi tersebut kemudian dinamai “Ringinagung”, yang artinya “Pohon Beringin Besar”.

Baca juga:   Telusur Islam Kediri (1): Syekh al-Wasil dan Awal Islam di Kediri

Shalawat Kiai Nawawi tersebut, sampai sekarang menjadi amaliah rutin di kalangan keturunan Kiai Nawawi dan juga para santrinya. Para santri Ringinagung membaca shalawat ini setiap bakda salat, khususnya salat magrib dan setiap malam Jumat. Bagi dzurriyah Ringinagung, shalawat tersebut adalah “mustika” penting Kiai Nawawi dalam membangun dan merintis pesantren, sehingga perlu dilanggengkan oleh para santri dan keturunan beliau agar keberkahan dari Allah dan Rasulullah terus mengalir.

Selain terkenal dengan kealiman dan karamah-nya, Kiai Nawawi juga memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Beliau sering sekali membantu para santri yang kesulitan bekal makan. Bahkan, setiap Kiai Nawawi punya rizki, beliau membagikan separuhnya untuk para santri yang kesusahan di pondok. Tak hanya itu, menurut sebuah cerita tutur, Kiai Nawawi di awal-awal membangun pesantren, pernah melakukan puasa lima tahun berturut-turut; tiga tahun diniatkan untuk diri sendiri, dan dua tahun untuk kemanfaatan ilmu para santri. Selama menjalani puasa lima tahun tersebut, Kiai Nawawi hanya berbuka dengan 1-2 potong singkong rebus, dan minum secangkir air yang diseduh dengan daun kopi.

Pada akhirnya, langit mendung di atas Pesantren Ringinagung bergelayut; mentisyaratkan kesedihan akan kepulangan Kiai kharismatik yang penuh kesederhanaan ini. Mbah atau Kiai Nawawi ‘kapundut’ kehadirat Allah SWT pada tahun 1910 M. Beliau dimakamkan tepat di sebelah barat Masjid Ringinagung. Semoga Allah SWT selalu merahmati beliau, dan kita semua mendapat keberkahannya. Lahu al-Fâtihah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *