
Para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.
Ulama dan para auliya’ memiliki peranan yang sangat signifikan dalam proses dakwah Islam di berbagai wilayah, termasuk sudut-sudut daerah di tanah Jawa. Peran para wali dan ulama seperti tokoh Walisongo beserta keturunan dan santri-santrinya telah memegang kendali yang sangat vital dalam laju tumbuh dakwah Islam di tanah Jawa. Begitu penting peran ulama dan para wali, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Para ulama adalah pewaris para Nabi terdahulu”.
Di tanah Kediri, tepatnya di Komplek Pemakaman Setonolandean, kurang lebih 5 KM dari desa Mrican-Kota Madya Kediri-Jawa Timur, terdapat makam waliyullah dan penyebar Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya: Syekh Abdul Mursyad. Beliau, menurut keterangan dari silsilah yang diterbitkan oleh Yayasan Kemanusiaan pimpinan Abu Mansur, dari garis ayah masih memiliki garis keturunan dengan Raden Patah-Demak. Beliau juga adalah salah satu dari putera Pangeran Demang II-Ngadiluwih. Kakeknya dikenal sebagai Pangeran Jalu alias Pangeran Demang I Setonogedong.
Kalau dirunut ke atas, silsislah Syekh Mursyad, menurut versi ini, adalah buyut dari Raden Panembahan Wirasmoro-Setonogedong, putera Sunan Prawoto, putera Sultan Trenggana, putera Raden Patah-Demak. Tanggal pasti masa hidupnya belum bisa diketahui secara meyakinkan, namun kemungkinan besar pada masa antara Demak akhir atau abad ke XV- XVI.
Versi lain mengenai garis keturunan Syekh Mursyad menjelaskan bahwa silsilah beliau berujung bukan kepada keturunan Kerajaan Demak, tetapi pada kerajaan Mataram Islam. Berdasarkan tulisan KH. Busrol Karim A Mughni (2012), Syekh Mursyad adalah keturunan dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.
Dua versi yang berbeda mengenai silsilah Syekh Abdul Mursyad tersebut disebabkan memang minimnya sumber tertulis dan bukti fisik guna melacak kepastian garis keturunan dari beliau. Tetapi secara garis besar, kemungkinan silsilah dari Syekh Abdul Mursyad dapat disimpulkan pada dua versi tersebut. Guna memastikan kepastian kebenaran dari salah-satunya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
Selain silsilah, ada hal yang menarik yang berkaitan dengan makam Syekh Mursyad, berdasarkan tulisan dari Sigit Widiatmoko dan Alfian Fahmi, “Islamisasi di Kediri: Tokoh dan Strategi Islamisasi.” Makam beliau sebelumnya berada di kawasan pabrik gula Merican. Artinya, makam Syekh Mursyad yang berada di Setonolandean merupakan hasil pemindahan dari lokasi pabrik gula Merican.
Bahkan hingga sekarang, pada bekas makam yang terletak di bawah cerobong asap pabrik gula tersebut masih tersisa sebuah bangunan kecil yang masih dijaga keberadaanya hingga kini; bangunan kecil ini sekaligus sebagai tanda bekas lokasi makam Syekh Abdul Mursyad yang pertama. Pemindahan makam Syekh Mursyad tersebut dipicu adanya proyek pembangunan oleh kanal pabrik gula Merican pada sekitar tahun 1900-an.
Dalam hal strategi dakwah Islam, Syekh Abdul Mursyad menggunakan dua jalur, yakni jalur pendidikan dan jalur kesenian. Jalur pendidikan di sini diartikan bahwa semasa hidup Syekh Mursyad pernah merintis dan mendirikan sebuah perguruan atau padepokan untuk mengajarkan ilmu agama dan ilmu kanuragan. Berawal dari padepokan tersebut, muncullah tokoh-tokoh kunci penyebar agama Islam di berbagai wilayah tanah Jawa yang muncul dari proses pendidikan Islam yang beliau rintis.
Sebagian tokoh tersebut adalah para murid dan keturunan beliau yang telah terbukti banyak menjadi muassis pesantren dan tokoh penting syiar Islam, seperti Ki Anom Besari (Caruban-Madiun), Kyai Hasan Besari (Ponorogo), Kyai Abdul Rahman, Kyai Nur Syaiq, Kyai Sholeh (Banjarmelati-Kediri), Syech Basyaruddin (Tulungagung), dll. Perlu dicatat, para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.
Jalur kedua dari dakwah Syekh Abdul Mursyad adalah metode kesenian; Syekh Abdul Mursyad diyakini sebagai pelopor tumbuhnya kesenian jemblung—seni bercerita dan mendongeng—yang zaman dulu sangat lekat dengan kebudayaan lokal Kediri dan sekitarnya. Syekh Mursyad memodifikasi kesenian ini sedemikian rupa, terutama dalam hal cerita dan lakonnya. Kesenian jemblung ini juga digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat Kediri agar tertarik masuk agama Islam dengan suka gembira dan tanpa paksaan. Strategi Syekh Mursyad dalam memanfaatkan kesenian jemblung adalah strategi yang umum dipakai terutama oleh Walisongo, seperti Sunan Bonang dengan kesenian Bonang-nya dan Sunan Kalijaga dengan kesenian wayangnya.
Demikianlah kehalusan dan kegigihan dakwah yang dilakukan oleh seorang tokoh penyebar Islam di wilayah Kediri, yaitu Syekh Abdul Mursyad. Kegigihan beliau membuahkan harum semerbak ajaran Islam yang mengakar kuat dan tersebar di berbagai plosok wilayah Kediri dan daerah-daerah lain sekitarnya. Untuk mengenang jasa dan perjuangan beliau di dalam merintis dakwah Islam, penulis mengajak para pembaca yang budiman guna menghadiahkan fatihah kepada beliau, lahul fâ-Tihah. Wallâhu a’lam.[MFR]

Saat ini adalah Dosen Prodi SAA IAIN Kediri; selain mengajar, juga sebagai Aktivis Muda NU Kab. Ngawi