
Buat saya, ibarat telur, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka lahirlah kehidupan baru. Begitulah fitrah kehidupan tercipta. Pendidikan pun harus membangkitkan fitrah anak; berproses sendiri, muncul kesadaran sendiri, mengenal diri mereka sendiri dan berjuang untuk menyelesaikan masalah dan meraih masa depan dengan usaha sendiri.
—- Emmy Kuswandari
Musim sekolah sudah dimulai. Orang tua mulai jungkir balik menyiapkan berbagai platform pembelajaran daring yang dilakukan oleh sekolah. Bagi kita yang akrab dengan pertemuan-pertemuan di dunia maya, tentu tak masalah. Klik sana sini lalu anak pun akan terhubung dengan ruang belajarnya. Bagaimana dengan orang tua yang gagap teknologi? Ya, sudah pasti nunak-nunuk dan pening. Belum lagi jaringan internet yang kembang kempis seperti dompet di tanggal tua.
Belajar daring ini sebetulnya menjawab kegalauan saya. Saya akan ada di baris pertama kelompok orang tua yang menolak kalau sekolah memutuskan belajar dilakukan secara fisik; anak dan guru harus datang ke sekolah. Pandemi belum usai. Orang yang terpapar Covid-19 makin menggila jumlahnya. Pernah mencapai 2.687 lonjakan positif dalam satu hari. Mengunci pintu rumah dan tak memberikan izin untuk aktivitas di luar kepada anak mungkin terdengar kejam, tetapi tak ada pilihan lain. Sudah lima bulan anak saya tinggal di rumah saja; belajar, olah raga dan terhubung daring dengan teman-temannya.
Saya tak rela melepas anak memasuki gerbang sekolah barunya untuk saat ini. Meski buat anak-anak remaja, ini kebahagiaan untuk jumpa dengan teman-teman barunya. Mereka sudah menunggu lama untuk bisa kenalan dan siapa tahu, musim cinta bisa mulai disemi saat ajaran baru ini. Saya tahu, itu mimpi mereka, anak-anak yang sebentar lagi memasuki angka keramat; 17 tahun.
Beruntung, sekolah memutuskan menggunakan pembelajaran jarak jauh. Bahkan bonusnya, pembelajaran daring ini dilakukan penuh satu semester ini. Jadi baru tahun depan, anak-anak ini akan jumpa teman sekolahnya secara nyata.
Saya mungkin tak direpotkan dengan urusan teknis mengenalkan platform belajar, jaringan internet atau sosial media. Anak saya sudah remaja, dia melakukan lebih baik dari saya. Jadi tugas saya cukup menyiapkan kuota internet yang memadai.
Saya termasuk orang tua yang woles untuk urusan belajar. Cukup pusing sekali saja; untuk mendapatkan sekolah yang menyenangkan untuk anak dan biarkan dia menikmati dunia barunya. Lingkungan yang menyenangkan ini penting. Dan kami melakukan survei bersama sebelum menjatuhkan pilihan. Tak perlu sekolah yang terkenal atau dengan fasilitas mewah. Anak saya bahkan gembira waktu datang ke sekolah sederhana di tengah sawah, lengkap dengan pematang dan saluran irigasinya. Jauh dari kesan mewah. Atau sekolah yang jauh dari riuh orang lalu lalang sekalipun di Parung sana. Selebihnya, saya membiarkan ia berproses sendiri.
Namun ada yang menarik di grup orang tua sebelum sekolah mulai. Sekali buka chat, sudah ada ribuan atau bahkan ratusan chat yang belum terbaca. Orang tua mengkhawatirkan ini dan itu. Apakah anaknya sudah bertemu dengan kelompoknya, apakah sudah membuat video perkenalan, anaknya masuk kelompok apa. Atau pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya sudah ada penjelasannya di pengumuman. Seheboh itu mereka. Bahkan orang tua ini masih membuat grup baru perwilayah anak-anak tinggal. Nah, yang ketika anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, orang tua pun ingin membuat grup baru lagi untuk dapat info terkini, di kelompok kecil tersebut. Khawatir anak-anak tidak bisa mengikuti masa orientasi dengan baik, ragu anaknya bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, ingin membantu agar anaknya tak kesulitan merampungkan pekerjaannya.
Untung kami hanya berkumpul di WAG besar saja, tak memecah menjadi lebih kecil lagi. Bisa-bisa tak kerja hanya memenuhi keinginan menyediakan apa saja yang anak-anak butuhkan. Usia 15-16 tahun buat saya sudah remaja. Mereka punya dunia dan cara sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ditemuinya.
“Buka pintu kamar anak pun tak boleh. Mereka tidak ingin kita tahu apa yang mereka lakukan. Malah disuruh masak saja,” ujar seorang ibu di grup.
Ternyata tak mudah menjadi orang tua dengan anak yang bergerak remaja. Mereka bukan lagi kanak-kanak yang perlu disiapkan segala sesuatunya. Rasa memiliki yang sangat besar membuat kita sebagai orang tua tak ingin anak-anak gagal atau kecewa. Anak-anak berubah, dan kadang kita tidak. Masih menganggap anak-anak ini kecil dan harus terus kita arahkan.
Buat saya, ibarat telur, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka lahirlah kehidupan baru. Begitulah fitrah kehidupan tercipta. Pendidikan pun harus membangkitkan fitrah anak; berproses sendiri, muncul kesadaran sendiri, mengenal diri mereka sendiri dan berjuang untuk menyelesaikan masalah dan meraih masa depan dengan usaha sendiri.
Saya belajar menahan diri untuk tidak bergegas menolong anak, membantu menyelesaikan tugas atau apapun yang anak perlukan hanya untuk memenuhi khawatir saya. Menahan diri dan diam itu tak mudah, tapi saya mencoba belajar. Menunggu proses itu lelah, tapi saya harus sabar. Sabar menanti dari telur lalu akan muncul kehidupan baru dalam diri anak saya. kalau mau instan, cukup pecahkan saja telurnya. Ceplok dan bumbuin, pasti enak. Tapi bukan itu tujuannya. Biarkan gairah belajarnya bangkit dan mudah-mudahan anak akan menjadi pembelajar seumur hidup. [MFR]

Sebelas tahun menjadi wartawan, tiga belas tahun menjadi praktisi Public Relations