Paralelisme: Paradigma Alternatif dalam Studi Agama-Agama

Paralelisme merujuk pada penekanan akan pentingnya mengeksplorasi kemiripan-kemiripan doktrin dalam tradisi agama yang berbeda, daripada mencari potensi penyatuan antara doktrin-doktrin tersebut.

—-Ali Ilham Almujaddidy

Di Indonesia, jurusan Studi Agama-Agama (SAA) adalah salah satu jurusan yang fokus mempelajari agama di dunia akademik, baik di PTS maupun PTN. Terlepas dari “polemik” akan penamaan jurusan—baik teologi, studi agama-agama, atau perbandingan agama[1]—paradigma yang dipakai umumnya cenderung mengikuti paradigma agama-agama dunia, yang derivasinya diturunkan dari pendekatan agama Kristen terhadap agama-agama lain. Sebagaimana dibahas oleh Masuzawa (2005),[2] paradigma ini cukup bermasalah setidaknya karena tiga hal; pertama, bias Kristianitas dan kolonialisme; kedua, pembacaan biner dan asimetris antara Barat dan Timur (baik secara geografis, maupun relasi beradab-belum beradab, dan bahkan klasifikasi bahasa yang begitu rasis) dan; ketiga, pembagian antara agama yang berdasarkan wahyu (semitik-samawi) dan agama berdasarkan kebijaksanaan (nonsemitik-wisdom).

Di antara paradigma yang sering dipakai sebagai pendekatan dalam melihat agama-agama lain adalah teologi Tripolar, atau dikenal juga dengan istilah theologia religionum yang dipopulerkan oleh Alan Race, seorang teolog Gereja Anglikan dan Uskup Leicester di Inggris. Teologi ini menjadi the grammar of faith atau standar umat Kristen dalam melihat agama-agama lain. Race membagi respon teologis Kristen terhadap keragaman agama-agama ke dalam tiga tipologi, yakni; eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.[3] Tulisan ini ingin melihat bagaimana pendekatan teologi agama-agama tersebut, meskipun cukup berguna, perlu untuk dipikirkan ulang, terutama jika melihat konteks keragaman agama di Indonesia secara khusus, dan Asia Tenggara secara umum. Tulisan ini akan melihat apa saja batas-batas kelemahan dari teologi Tripolar ini dan kemudian mengajukan pendekatan Paralelisme sebagai alternatif dan pelampauan terhadap teologi tripolar tersebut.     

Teologi Agama-Agama Tripolar

Konsep dasar dari teologi tripolar ini adalah doktrin keselamatan (salvation) atau soteriologi. Adakah keselamatan bagi pemeluk agama non-Kristen? Eksklusivisme memandang bahwa tidak ada keselamatan di luar agama Kristen, sebagaimana dogma extra ecclesiam nulla sallus. Dalam bahasa yang sederhana, seseorang yang eksklusivis meyakini bahwa “tidak ada kebenaran dan keselamatan di luar agama saya.” Sementara itu, inklusivisme adalah paham yang memandang bahwa tidak ada keselamatan di luar Kristus. Jadi, batas dari keselamatan tidak lagi eksklusif pada agama Kristen atau Gereja saja, melainkan berfokus pada Kristus sebagai penyalur keselamatan. Seseorang yang inklusivis akan meyakini bahwa “ada kebenaran dan keselamatan di luar agama saya, tetapi berkat rahmat dari agama saya.”

Berbeda dengan dua paradigma teologi sebelumnya, pluralisme berkembang cukup belakangan sebagai respons terhadap semakin terbukanya akses untuk berjumpa dengan keragaman yang lebih luas. Pluralisme adalah paham yang membatasi keselamatan pada Allah saja, atau Tuhan Sang Pencipta, atau “Yang Ultim,” “Yang Nyata” (the Real), Wujud an sich, suatu realitas yang melampaui konsep dan pemahaman manusia. Ia bersifat tak terbatas, yang dialami secara beragam oleh manusia di berbagai tempat, budaya, dan pengalaman keagamaan. Hal ini berarti bahwa setiap sistem keagamaan memiliki konsepsi yang berbeda akan realitas “Yang Ultim” tersebut, dan kesemuanya sama-sama valid. Maka, seorang pluralis akan meyakini bahwa “kebenaran dan keselamatan hanya ada pada Tuhan sang pencipta, terserah bagaimana anda menyebut namaNya.”[4]  

Problem Teologi Agama-Agama

Semua paham atau pendekatan teologi ini, yang juga diadaptasi oleh sebagian sarjana Muslim dan sarjana studi agama-agama secara umum, masih memosisikan Tuhan sebagai batas dari keselamatan dan kebenaran (god-centered). Asumsi dasar ini akan mengeksklusi agama-agama nonteologis, seperti agama Buddha dan banyak ragam agama lokal. Faktanya, sebagaimana dibahas oleh Masuzawa dan W.C. Smith—untuk menyebut beberapa—yang terjadi selama ini dalam kesarjanaan studi agama-agama adalah adanya upaya penyeragaman konsep-konsep dan doktrin keagamaan ini. Selain itu, pendekatannya yang cenderung menekankan “doctrinal bridges” juga dapat berimplikasi berbeda pada tataran praksis. Misalnya, seseorang bisa sangat pluralis dalam pandangan, tetapi menjadi eksklusivis dalam tindakan.

Baca juga:   Mencermati Obrolan Antaragama Warga Biasa, Pengalaman Menulis Disertasi

Teologi agama-agama secara implisit juga mengandaikan banyak jalan pada satu tujuan yang sama sebagai “kebenaran final.” Hal ini tentu saja akan mengeksklusi beberapa ajaran agama yang tidak meyakini atau memiliki konsep eskatologi, sehingga pendekatan studi agama-agama seharusnya bisa melampaui pendekatan yang bersifat teologis dan eskatologis. Selain itu, konsep “kebenaran final” juga akan problematis ketika dihadapkan pada perbedaan tafsir dan klaim kebenaran dari dalam satu tradisi agama tertentu. Artinya, dalam satu tradisi agama saja terdapat banyak ragam kebenaran yang tidak bisa secara tegas diseragamkan.

Barangkali, penekanan terhadap ragam pengalaman keagamaan (religious diversity) lebih diutamakan daripada pendekatan yang berbasis teologi (theology of religions). Untuk itu, penting kiranya mempertimbangkan pendekatan baru dalam studi agama-agama sebagai alternatif pendekatan tanpa harus terjebak pada diskursus teologi dan eskatologi. Dalam hal ini, tulisan ini akan melihat Paralelisme sebagai pendekatan alternatif dalam melihat keragaman agama-agama.

Pendekatan Paralelisme

Paralelisme adalah pendekatan yang berfokus pada pemahaman akan kemiripan (similarities) konsep dan doktrin utama dalam tradisi agama-agama.[5] Pendekatan ini tidak membatasi diskusi pada konsep ketuhanan atau jalan yang bermuara pada satu tujuan yang sama sebagai “kebenaran final.” Selain itu, paralelisme juga menghindari pemaksaan pandangan akan satu kebenaran tunggal baik pada tradisi agama yang berbeda maupun pada satu tradisi agama yang sama. Dengan kata lain, pendekatan ini tidak berusaha menyesuaikan semua konsep dan doktrin agama-agama dalam satu pandangan dunia tertentu. Sebaliknya, seorang paralelis menyerahkan perspektif agama seseorang sesuai dengan yang dihayati oleh para pelakunya. Sehingga, hal ini menghindari potensi misinterpretasi akan doktrin-doktrin agama lain.

Salah satu pionir dari pendekatan paralelisme adalah Imtiyaz Yusuf, yang meneliti dialog antara Islam dan Buddhisme di Asia Tenggara.[6] Ia menjelaskan bahwa, kata paralelisme merujuk pada penekanan akan pentingnya mengeksplorasi kemiripan-kemiripan doktrin dalam tradisi agama yang berbeda, daripada mencari potensi penyatuan antara doktrin-doktrin tersebut. Sebagai studi kasus, ia telah mengeksplorasi konsep-konsep yang paralel antara Islam dan Buddha. Misalnya, untuk menyebut beberapa, Buddha/Arahant – Nabi/Rasul, Bodhisattva – al-Insan al-Kamil, Tathagatagarbha – Nur Muhammadi, Dharma – al-Haqq, Nirvana – Wahyu, Sunyata – Fana, Metta-Karuna – Rahma, Majjhima Pattipada – Ummatan Wasathan, Dukkha/Samsara – Kufr/Shirk, Mara – Syaitan.

Dari penelitiannya tersebut, Yusuf menyimpulkan bahwa selama ini Muslim berpikir kalau Allah adalah persona (person) sebagai reaksi terhadap Kristen yang mempersonifikasi Tuhan. Ini akibat dari perang antara kerajaan Kristen dengan Islam yang berlangsung cukup lama dan meninggalkan banyak luka. Konsep Allah yang person ini yang membuat Muslim cukup sulit untuk berdialog dengan agama Budha yang tidak memiliki konsep Tuhan. Padahal, mereka merupakan populasi mayoritas di Asia Tenggara dengan prosentase sebanyak 40/40 persen. Yusuf juga mengungkapkan bahwa, Muslim bisa berhasil hidup berdampingan dengan Budha di Jawa berkat similaritas antara Tauhid dan Sunyata, alih-alih jihad dan perang. Di dalam Tauhid, Allah tidak memiliki bentuk, begitu juga dengan Sunyata. Jika Budha meyakini bahwa ada sesuatu yang tidak terlahir dan abadi, yakni Dharma, hal ini sepadan dengan keyakinan Muslim bahwa Allah juga tidak terlahir dan abadi.[7]

Seorang paralelis lainnya, Alexander Berzin, yang oleh Yusuf disebut sebagai sarjana yang meneliti relasi antara Budha dan Islam paling detail sejauh ini, menyebut bahwa konsep adi buddha dalam masyarakat Buddhis di Indonesia—terlepas dari aspek politis dan ideologis yang mendorong lahirnya konsep tersebut—adalah padanan langsung dari konsep Tuhan yang diyakini oleh Muslim. Demikianlah, paralelisme menekankan kemiripan, dan bukan kesamaan, antara konsep dan doktrin keagamaan sebagai pendekatan dalam berdialog maupun membangun relasi antar umat beragama. Pendekatan ini tentu saja, bagi penulis, lebih sesuai dengan fakta sosiologis keragaman agama masyarakat Indonesia. Kecenderungannya dalam menghindari diskusi tentang konsep ketuhanan tentu seharusnya membuat Muslim lebih terbuka untuk berdialog dengan agama non-teologis atau agama-agama lokal di Indonesia yang begitu beragam. Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperkenalkan pendekatan ini sebagai salah satu bahan studi dalam jurusan Studi Agama-Agama. Terlebih, belum banyak sarjana yang melakukan penelitian teoritis maupun empiris dengan menggunakan pendekatan paralelisme ini.

Baca juga:   Envisioning Prodi SAA di Era Industri 4.0: Mengukuhkan Kesadaran Kritis-Transformatif Mahasiswa

Catatan Penutup

Meskipun Paralelisme cukup potensial untuk dijadikan pendekatan dalam melihat agama lain, bukan berarti pendekatan ini tidak memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang mungkin penulis ajukan sebagai kritik awal adalah belum mampunya para Paralelis melihat relasi kuasa, baik ekonomi-politik maupun wacana-ideologi, yang sangat mungkin menjadi prakondisi dari kesadaran atau pembentukan keagamaan seseorang atau masyarakat tertentu, seperti konsep adi buddha yang dibahas oleh Alexander Berzin. Di sisi lain, penting juga untuk mempertimbangkan kritik-kritik yang diajukan oleh para sarjana teologi pascakolonial mengenai hilangnya “perbedaan” (difference) dan “hibriditas” (hybrid) identitas seseorang, seperti fenomena Arabisasi Islam atau Baratisasi Kristen yang dapat kita temui dalam kehidupan keseharian. Ini mengasumsikan bahwa seseorang tidak bisa jadi Muslim dan menjadi Jawa sekaligus, misalnya. Dengan kata lain, ada simplifikasi kompleksitas identitas manusia.

Di samping itu, perlu juga kiranya bagi kita untuk tidak terjebak pada politik identitas saja, atau membahas perbedaan pada aspek identitas saja, misal, antara Muslim-Kristen, Jawa-Sumatra, pribumi-nonpribumi dan seterusnya. Selain fokus ini berpotensi untuk meliyankan (othering) identitas seseorang, penting juga untuk tidak mengabaikan analisis ketimpangan kelas sosial yang pada saat yang sama turut membentuk perbedaan identitas tersebut. [MFR]


[1] Lihat misalnya, Suhadi, “Dari Perbandingan Agama ke Studi Agama yang Terlibat,” dalam Studi Agama di Indonesia; Refleksi dan Pengalaman, Yogyakarta: CRCS, 2016, 1-14. Atau, Wijsen, F. J. S. “Theology as Religious Studies: A Plea for Methodological Conversion.” Mugambi, JNK (ed.), Endless Quest. The Vocation of an African Christian Theologian, 2014, 290-302.

[2] Masuzawa, Tomoko. The Invention of World Religions: Or, How European Universalism was Preserved in The Language of Pluralism. University of Chicago Press, 2005.

[3] Lihat Race, Alan. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions. London: SCM Press, 1983. Dalam diskursus teologi agama-agama belakangan, ada beberapa alternatif pendekatan yang mencoba untuk keluar dari teologi tripolar ini, misalnya mutualisme dan partikularisme. Paul Knitter, seorang teolog Kristen kontemporer, juga telah meninggalkan teologi tripolar ini, dan memilih untuk memakai konsep baru yang ia bagi menjadi empat model; replacement, fullfilment, mutuality, dan acceptance. Lihat dalam bukunya; Knitter, Paul F. Introducing Theologies of Religion. Orbis Books, 2014. Lihat juga diskusi menarik tentang teologi tripolar ini oleh beberapa sarjana Kristen dalam Theovlogy #156: Pluralisme, Inklusivisme, Eksklusivisme, Relevankah?

[4] Konsep inklusivisme dan pluralisme sendiri cukup beragam, meski titik berangkatnya juga dimulai dari teologi ini.

[5] Untuk pembahasan paralelisme sebagai pendekatan secara khusus, baca: Obuse, Kieko. “Finding God in Buddhism: A New Trend in Contemporary Buddhist Approaches to Islam.” Numen 62.4 (2015): 408-430; dan Obuse, Kieko. “Theology of Religions in the Context of Buddhist-Muslims Relations,” dalam Yusuf. Imtiyaz (ed.), Asean Religious Pluralism: The Challenges of Building Socio-Cultural Community. Konrad-Adenaur-Stiftung-Thailand Office, 72-85.

[6] Penulis sempat berdiskusi dan membahas konsep paralelisme bersama Imtiyaz Yusuf selama mengikuti kuliah Advanced Study of Buddhism di CRCS, 2017 lalu. Untuk melihat salah satu tulisan beliau yang membahas paralelisme Islam dan Budha, baca di Yusuf, Imtiyaz. “Islam and Buddhism,” dalam Cornille, C. (ed). The Wiley-Blackwell Companion to Inter-Religious Dialogue, 2013, 360-375.

[7] Lihat juga wawancara Imtiyaz Yusuf dengan CRCS di https://crcs.ugm.ac.id/muslims-dont-study-buddhism-enough-an-interview-with-prof-imtiyaz-yusuf-part-1/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *