
Pandangan egoisme keagamaan yang mengabaikan kesehatan dan terkait langsung dengan kemudaratan, pada akhirnya akan berpotensi memberikan dampak buruk kepada umat manusia.
—– Bethriq Kindy Arrazy
Seandainya sejak awal negara India mampu menahan diri dari kegiatan yang bersifat massal di tengah upaya vaksinasi penduduknya, barangkali krisis gelombang kedua pandemi Covid-19 di negara tersebut tidak akan berakhir nahas seperti yang terjadi pada dua pekan terakhir ini.
Pemilihan umum, demonstrasi politik, dan kegiatan keagamaan Kumbh Mela diduga sebagai faktor terbesar lonjakan kasus Covid-19 di India. Kegiatan massal keagamaan yang menjadi sorotan adalah Kumbh Mela. Pemerintah India tidak mampu membendung dengan melahirkan kebijakan larangan untuk meniadakan sementara waktu kegiatan tersebut karena kuatnya tekanan agamawan setempat.
Lemahnya kepemimpinan tersebut menyebabkan Kumbh Mela tidak terbendung lagi untuk diselenggarakan. Kita bisa melihat euforia keagamaan berlangsung secara bebas; protokol kesehatan nampak tidak berlaku di sana. Warga India yang berjumlah ratusan ribu bahkan mencapai jutaan terlihat bersuka cita menjalani setiap prosesi Kumbh Mela.
Tentang Kumbh Mela
Kumbh Mela, sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Hindu, mencitrakan Dewa Wisnu sebagai penjaga alam semesta yang melakukan pertempuran dengan setan-setan di atas kendi berisi amrit. Dalam pertarungan tersebut Dewa Wisnu keluar sebagai pemenang dengan membawa candi tersebut terbang bersama makluk besar menyerupai burung garuda. Saat terbang itulah, empat tetes nektar jatuh ke empat kota kuno yakni Prayagraj, Nashik, Haridwar, dan Ujjain.
Kumbh Mela pada bagian kata Mela dalam bahasa Hindi memiliki arti adil. Di keempat kota kuno itulah kemudian tradisi Kumbh Mela diadakan secara bergilir sebagai manifestasi keadilan dalam penyelenggaraan. Selama 12 tahun, Kumbh Mela diadakan sebanyak empat kali. Artinya, dalam penyelenggaraan dilakukan sebanyak 3 tahun sekali di masing-masing keempat kota tersebut.
Secara ritus keagamaan, Kumbh Mela sesungguhnya memerintahkan umat Hindu di India untuk membasuh beberapa bagian tubuh hingga mandi di perairan suci tempat Sungai Gangga, Yamuna, dan Saraswati bertemu. Ini yang diyakini oleh sebagian besar umat Hindu di India dapat mencapai moksha atau penyelamatan dari siklus hidup dan mati.
Dalam sepanjang waktu terselenggaranya Kumbh Mela, terdapat tiga atau empat hari yang dianggap spesial seperti membawa keberuntungan dan membebaskan dosa masa lalu. Hari-hari yang dianggap spesial ini memiliki kesamaan dengan malam Lailatul Qodar, dalam keyakinan agama Islam yang turun pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan pada tanggal-tanggal ganjil.
Pada 2019, Kumbh Mela turut dihadiri sebanyak 120 juta penduduk India. Ini yang menyebabkan tradisi Kumbh Mela termasuk salah satu tradisi ziarah terbesar di dunia. Berdasarkan keunikannya itulah, UNESCO pada 2017 memasukannya sebagai daftar Intangible Cultural Heritage of Humanity.
Jadi kemudian dapat dipahami betapa sakral dan pentingnya tradisi Kumbh Mela bagi warga India. Sekalipun sesungguhnya memaksakan kegiatan keagamaan yang bersifat massal di tengah kondisi pandemi Covid-19 juga tidak tepat untuk dilakukan, terlebih bila tanpa standar protokol kesehatan yang ketat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan gelombang penyebaran Covid-19 di India semakin meluas dan memakan korban
Konteks Indonesia
India dikenal sebagai negara dengan penduduk beragama Hindu terbesar di dunia. Sama seperti Indonesia yang dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Kedua negara memiliki kesamaan sebagai negara dengan penduduk yang taat dengan agamanya masing-masing. Termasuk sekaligus mempercayai bahwa ajaran agama bisa menjadi solusi atas permasalahan di dunia, salah satunya pandemi Covid-19.
Berkaca pada hal tersebut, dalam beberapa hari terakhir ini kita juga dikejutkan dengan peristiwa pengusiran seorang jamaah oleh pengurus Masjid Al-Amanah di Medan Satria, Kota Bekasi, pada Selasa lalu, 3 Mei. Hal ini disebabkan karena jamaah tersebut salat dengan menggunakan masker. Meski kemudian pengusiran berlangsung secara keras dengan dalih adab dalam salat, sekaligus pembeda antara di masjid dan di pasar.
Tak hanya itu, kita juga perlu mengingat bahwa sejak kasus Covid-19 masuk di Indonesia pada Maret 2020 —sebagian agamawan kita juga menyerukan agar lebih takut Tuhan daripada virus bernama Covid-19. Akibatnya, kasus Covid-19 klaster masjid bermunculan pada pertengahan 2020. Ketakutan sebagai bentuk manifestasi keimanan kepada Tuhan, rasanya tidaklah tepat bila disandingkan dengan keberadaan Covid-19.
Di sinilah kemudian sebaiknya nalar keagamaan juga perlu membaca realitas sosial dalam kacamata keduniawian secara progresif dan komprehensif. Bahwa yang tengah terjadi saat ini, dunia sedang tidak dalam kondisi baik yakni tengah terjadi pandemi Covid-19. Wabah ini menyebar secara sporadis di hampir seluruh sudut dunia. Ajaran agama, termasuk Islam harus memberikan kesadaran pentingnya menjaga jiwa dan raga umatnya.
Di tempat lain seperti di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, juga memberlakukan peraturan menggunakan masker saat salat berlangsung. Setahun lalu misalnya, banyak ulama ternama di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Palestina, Lebanon, Yordania, yang memberikan fatwa tentang kelonggaran Salat Jumat digantikan Salat Zuhur dan Salat Idulfitri digantikan salat di tempat masing-masing.
Progresifitas nalar keagamaan di negara-negara Timur Tengah tersebut, tentu dilakukan berdasarkan pertimbangan yang mendalam berdasarkan aspek agama yang berkelindan dengan aspek sosial. Pandangan egoisme keagamaan yang mengabaikan kesehatan dan terkait langsung dengan kemudaratan, pada akhirnya akan berpotensi memberikan dampak buruk kepada umat manusia.
Kita bisa ambil contoh, sebagaimana kasus Covid-19 klaster Tarawih yang terjadi di Dusun Yudomulyo, Desa Ringintelo, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi. Setidaknya sebanyak 53 orang dinyatakan positif Covid-19. Dari jumlah tersebut sebanyak tujuh orang dirawat secara intensif di rumah sakit, enam orang dinyatakan meninggal dunia —sedangkan sisanya sebagai orang tanpa gejala dianjurkan untuk isolasi mandiri dengan pengawasan yang ketat. Artinya, situasi gejolak pandemi yang terjadi saat ini, terutama dalam kegiatan keagamaan perlu untuk memperhatikan aspek kesehatan dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat.
Dalam kurang dari seminggu ke depan umat muslim akan menyambut Idulfitri umat muslim, hari raya Idulfitri merupakan momen kemenangan spiritual setelah sebulan penuh umat muslim melawan hawa nafsu di bulan Ramadan. Dalam kesempatan tersebut juga akan berpeluang terjadinya euforia keagamaan yang berpotensi menciptakan kerumunan massal atau transmisi lokal melalui aktivitas mudik ke kampung halaman.
Saya termasuk yang mendukung kebijakan pemerintah terkait larangan mudik yang di sepanjang tanggal 6 Mei hingga 17 Mei mendatang. Pasalnya, Presiden Jokowi menyebutkan berdasarkan pengalaman mudik Idulfitri pada Mei 2020, secara akumulasi terdapat peningkatan kasus Covid-19 sebesar 93 persen.
Angka tersebut tidaklah kecil mengingat kenaikan nyaris menyentuh 100 persen. Kenaikan kasus Covid-19 tersebut dapat diketahui pada dua pekan setelah puncak libur panjang hari raya Idulfitri. Terlebih saat ini Covid-19 mengalami beragam mutasi yang tengah terjadi di Inggris, India, Brazil, dan Afrika Selatan.
Rasanya dengan pengalaman Idulfitri tahun lalu dan tsunami Covid-19 yang menerjang India bisa menjadi pelajaran dan pertimbangan kita bagaimana memaknai euforia keagamaan dalam hal ini Idulfitri di Indonesia. Tidak mudik bukan berarti akan mereduksi makna hari kemenangan kita. Setidaknya spirit bulan Ramadan, ihwal menahan diri dan menahan hawa nafsu tetap bertahan hidup dalam diri kita masing-masing. Selain menjaga diri, kita juga wajib menjaga keluarga kita di kampung halaman. Pilihan kembali kepada Anda. Dan, pilihan terbaik adalah berdasarkan perenungan yang mendalam.[MFR]

Esais; Kolumnis; Peneliti Asah Kritis Indonesia