Ketika Anak Banyak Bertanya

Mari fasilitasi masa tumbuh kembang anak dengan cara yang menyenangkan. Luangkan sejenak waktu untuk mendengar pertanyaan dan cerita-cerita berharga mereka agar anak-anak menjadi pribadi yang gembira dan merasa kehadirannya diterima

—– Nurul Intani

Sebagai pribadi yang unik, anak-anak kadang melakukan hal-hal yang menggelitik. Tak jarang pula mereka melakukan sesuatu yang mengusik, seperti bertanya tanpa henti, termasuk melontarkan pertanyaan kejutan yang tidak kita ketahui atau tabukan jawabannya; dari mana adek bayi berasal, misalnya. Alih-alih memberikan jawaban yang tepat atau mengakui jika tidak tahu jawabannya, beberapa orang tua justru memarahi, membentak bahkan berkata kasar kepada anak-anaknya karena dianggap cerewet, lalu meminta mereka diam. Padahal banyak bertanya adalah cara anak-anak untuk mengungkapkan rasa ingin tahunya yang besar; dan ini juga mengasah cara mereka berkomunikasi dengan orang tuanya. 

Memahami Perkembangan Anak

Anak-anak usia 2-4 tahun umumnya mengalami masa pembentukan kognitif. Mereka cenderung bertanya tentang apa dan kenapa. Apapun yang mereka lihat akan menjadi bahan pertanyaan yang kadang sudah dijawab tapi tetap ditanyakan lagi. Seringkali,  pertanyaan anak tidak membutuhkan jawaban atau penjelasan, sebab melalui pertanyaan, anak berusaha untuk melakukan kompromi sambil berharap ada perubahan jawaban yang diberikan orang tua; makan es krim memang bikin batuk, kalau makan es krimnya sedikit bagaimana?   

Sebuah penelitian tentang tumbuh kembang anak di Inggris pada 2013 menunjukkan bahwa seorang anak bisa mengajukan hingga 300 pertanyaan ke orang tuanya per hari. Dan ini adalah pertanda baik. Maka jangan emosional jika anak Anda banyak bertanya, itu tanda perkembangan anak Anda sangat baik. Mendengar pertanyaan anak memang terasa menggemaskan namun jika terlontar saat situasi tidak mengenakkan, maka bisa jadi menjengkelkan.   

Baca juga:   Bahagia Tanpa Rasa Bersalah

Tugas orang tua adalah mengatur cara berkomunikasi dengan anak tanpa perlu jaim untuk mengakui ketika tidak tahu jawaban atas pertanyaan anak. Tidak perlu segan untuk meminta maaf pada anak atas keterbatasan yang kita miliki, sebab meminta maaf pada anak tidak akan mengurangi rasa hormat mereka pada orang tua.

Kecenderungan untuk khilaf dengan tindakan dan perkataan kasar karena merasa lelah dan bosan dengan sikap anak terkadang memang tak terelakkan, padahal tak jarang hal itu justru berakhir dengan penyesalan. Sebab kekerasan yang kita lakukan pada anak menyisakan trauma psikologis yang merusak karakter anak. Karenanya, temani anak-anak ketika mereka tumbuh, tentu dengan memahami bahwa dunia anak tak sama dengan dunia kita, para orang tua.

Kecenderungan Menjadi Toxic Parents

Toxic parents, sebagaimana dijelaskan dalam Tempo, “Tanpa Disadari Anda Bisa Jadi Toxic Parents” adalah orang tua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik sebagai individu. Mereka cenderung melakukan berbagai kekerasan pada anak, baik verbal maupun nonverbal, yang dapat membuat kondisi fisik maupun psikologis anak terganggu.

Toxic parents juga enggan berkompromi dan meminta maaf pada anaknya. Mereka cenderung otoriter dan mementingkan asas kepatuhan dengan mengesampingan sikap kritis anak. Hal ini seringkali dilakukan oleh orang tua yang memiliki gangguan mental atau memiliki trauma di masa kecil akibat pengasuhan yang buruk. Mereka melukai anaknya dengan cara yang sama seperti yang dialaminya dulu, bisa karena keterbatasan figur pengasuhan atau kurangnya pengetahuan.

Orang tua toxic kerap berdalih apa yang dilakukannya semata-mata karena kasih sayang, tetapi pola asuh yang toxic tetap saja tak baik untuk dilakukan. Pola ini terus saja diulang sehingga membuat anak yang awalnya kritis menjadi takut untuk bertanya dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang minder. Anak yang harusnya terfasilitasi saat ada di fase ingin tahu malah jadi menutup diri karena merasa keingintahuannya dibatasi dan dianggap sebagai perbuatan yang mengganggu. Anak yang harusnya pemberani dan periang justru menjadi pemalu dan introver.

Baca juga:   Mengakui Kesalahan Anak

Mari fasilitasi masa tumbuh kembang anak dengan cara yang menyenangkan. Luangkan sejenak waktu untuk mendengar pertanyaan dan cerita-cerita berharga mereka agar anak-anak menjadi pribadi yang gembira dan merasa kehadirannya diterima.[MFR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *