Prodi Studi Agama-Agama (SAA) dan Center for Religion and Local Culture (eLSAA) kembali menggelar kuliah tamu dengan narasumber dari luar. Kali ini, kuliah tamu dihelat pada tanggal 14 Oktober 2019 di Aula FUDA dengan pembicara tunggal Prof. Jonathan Golden, Ph.D., seorang antropolog dan juga pakar bidang perbandingan agama. Ia juga Direktur Center for Religion, Culture, and Conflict (CRCC), Drew University, USA. Prof. Jonathan Golden menyampaikan kuliahnya dengan tajuk “Fighting Radicalism in the United States: From White Supremacy to Islamophobia.”
Prof. Jonathan mengawali paparannya dengan menyoal radikalisme yang sedang berkembang saat ini di Amerika Serikat. Menurutnya, radikalisme di negara Paman Sam yang di media-media kerap dikaitkan dengan Islam sama sekali jauh api dari panggang. Fakta menunjukkan bahwa aksi-aksi teror di Amerika maupun Eropa lebih banyak dipicu oleh ideologi supremasi kulit putih (White Supremacy). Alih-alih menggelorakan multikulturalisme, ideologi ini berkeinginan menjadikan Amerika rumah bagi satu identitas tunggal (kulit putih) dan menganggap identitas liyan sebagai ancaman yang mesti disingkirkan. Satu contoh peristiwa penembakan dan pembunuhan atas dasar ideologi ini terjadi, misalnya, pada 17 Juni 2015 di Gereja Emanuel AME Charleston yang kemudian memunculkan gerakan-gerakan ekstremis baru semisal “Alt Right” di Amerika Serikat. Statistik juga menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1965-2014 tingkat ekstremisme di Amerika Serikat didominasi oleh ekstremis sayap kiri maupun ekstremis sayap kanan ketimbang oleh Muslim.
Situasi ini tentu saja mengkhawatirkan dan membuat warga Amerika terbelah. Di satu sisi, sebagian mereka merasa terancam dengan keberadaan identitas liyan sehingga mereka terjangkit gejala-gejala seperti Islamophobia atau anti imigran. Di sisi lain, banyak juga yang melawan dengan membentuk gerakan-gerakan yang menginginkan semua identitas bisa hidup damai dan berdampingan. Contohnya, kata Prof. Jonathan, gerakan ‘Save2 Unite’ yang diiniasi oleh mantan pimpinan ekstremis kulit putih. Gerakan melakukan kegiatan-kegiatan perdamaian dan memberi santunan dan pelatihan bagi anak-anak yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Di New Jersey, misalnya, juga terbentuk komunitas antar iman yang kerap memberi masukan kepada pemerintah tentang bagaimana mengelola keberagaman dan menghalau kebencian antar agama.
Di akhir presentasinya, Prof. Jonathan menegaskan bahwa dialog antar iman ataupun budaya bisa menjadi cara yang efektif dalam menangkal bentuk radikalisme jenis apapun. Hanya saja, menurutnya, dialog semacam ini harus didasarkan pada kerelaan untuk membicarakan perbedaan daripada sekadar mengagungkan persamaan. Dengan membincangkan perbedaan, setiap orang akan bisa belajar dan memahami satu sama lain sehingga kesalahpahaman dan kecurigaan bisa disingkirkan. Indonesia harus bisa mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa radikalisme yang terjadi di Amerika, apalagi negara ini kaya dengan perbedaan suku dan agama. (MFR)