“Indonesia Terserah” dan Defisit Keagamaan

Bagaikan goresan warna pada kanvas, ketika warna gelap semakin dominan, maka warna terang akan semakin kabur, lama-lama jadi abu-abu, dan akhirnya hilang jadi warna gelap semua. Ketika kegiatan pencerahan berhenti maka peluang menangkal kemungkaran akan semakin terbatas. Amar makruf pun jadi tambah berat. Begitulah mungkin gambarannya ketika kegiatan keagamaan dikalahkan, terdesak oleh kalkulasi ekonomi.

——–Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.

Ramadan 1441 H pun sudah berlalu dalam suasana murung dan sepi. Malam Idulfitri, yang biasanya semarak meriah dengan kumandang takbir, berlalu tanpa keceriaan. Orang-orang lebih suka berdiam diri di rumah masing-masing tanpa interaksi dengan orang lain di luar keluarga satu rumah. Ramadan tahun ini memang sangat istimewa karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19 yang sangat mencekam. Ketika Ramadan tahun ini sudah berakhir, pandemi Covid-19 masih sulit diprediksi kapan akan hilang. Sudah banyak gambaran dibuat oleh para pakar bahkan disertai info grafis dan video tentang kemungkinan akan berakhirnya Covid-19. Namun info itu hanya bisa memberi ketenangan sesaat dari keresahan yang panjang, seolah-olah ada harapan kita akan segera terbebas dari Covid-19. Nyatanya sampai hari ini, kita masih belum bisa mendapatkan kepastian apapun.

Dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 memang sangat luar biasa. Sejauh ini orang lebih banyak menghitungnya dari kalkulasi ekonomi, karena itulah realitas yang paling nyata dan langsung dirasakan oleh masyarakat banyak. Dampak ekonomi dari penyebaran wabah corona ini bisa berkembang liar hampir tak terkendali. Selain membuat negara-negara dunia hampir collapse, ia juga memengaruhi dimensi kehidupan sosial dan politik serta perilaku manusia secara luas, termasuk merebaknya kriminalitas. Namun ada dimensi lain yang mungkin sejauh ini luput dari perhatian kita semua. Apa itu? Itulah defisit keagamaan yang terjadi sebagai dampak dari serangan wabah virus corona saat ini. Tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi saya kepada para dokter dan tenaga medis yang terus berjuang menangani pasien Covid-19, izinkan saya melihat persoalan ini dari dimensi keagamaan yang ikut mengalami defisit akibat wabah corona ini.

Menjelang akhir Ramadan yang lalu, ada tulisan menarik dari Najib Hamid berjudul “Nasib Muballigh Kala Pandemi Corona” (https://pwmu.co/148887/05/21/nasib-mubaligh-kala-pandemi-corona1/). Uraiannya dimulai dari sebuah keprihatinan seorang ustaz yang karena terdampak secara ekonomi; dia membuat cuatan suara hatinya yang pedih: “Shalat Jum’at ditiadakan. Kajian-kajian ditiadakan. Tausiyah Tarwih ditiadakan. Kuliah Subuh ditiadakan …. Sementara tagihan listrik tetap bayar…. Ongkos kebutuhan hidup terus naik…”. Tidak sedikit ustaz atau mubalig yang sangat terpukul secara ekonomi dengan ditutupnya masjid dan ditiadakannya kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang –maaf—mungkin sejauh ini menjadi sumber pendapatan bagi sebagian dari mereka. Najib Hamid pun memberikan solusi agar para mubalig itu siap untuk menghadapi situasi normal baru. Dia menyarankan agar para ustaz dan mubalig bisa beradaptasi dengan teknologi informasi dengan menyampaikan materi dakwahnya secara online, sehingga bisa diakses oleh jamaah melalui perangkat gadget yang dimiliki. Dengan demikian, “sumber dana yang sempat mampet insyaallah akan mengalir kembali seperti semula”. Demikian solusi yang ditawarkan oleh Najib Hamid dalam tulisan tersebut.

Sekali lagi, yang dihitung sejauh ini hanya dampak ekonomi dari pandemi ini. Tetapi marilah sedikit kita tengok sisi lain dari keseharian di lingkungan kita sepanjang Ramadan yang baru saja berlalu. Apakah Anda pernah memerhatikan dampak yang ditimbulkan ketika masjid-masjid yang biasanya ramai sepanjang Ramadan, kemudian tahun ini menjadi tempat terlarang untuk dimasuki oleh jamaah? Sudah sekian pekan jumatan ditiadakan. Sudah satu bulan orang tidak bisa mengunjungi masjid di bulan suci ini. Sudah sekian ratus atau ribu mubalig tidak bisa menjalankan kewajiban mereka menyampaikan pelajaran dan memberikan pencerahan pada jamaah melalui media langsung di mimbar-mimbar masjid dan forum pengajian. Apa kira-kira dampaknya pada tingkat kehidupan keagamaan sejauh ini? Ini sangat memprihatinkan sekali, tetapi tampaknya tidak pernah diperhitungkan secara sadar oleh kita.

Baca juga:   Den Haag, Jandanya Indonesia: Sebuah Esai Sejarah

Ketika organisasi-organisai keagamaan dengan lantang mengamini kebijakan pemerintah untuk meniadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berpotensi mengumpulkan masa demi mencegah penyebaran virus corona, maka di lapisan bawah pun harus patuh pada ketentuan itu. Namun apa dampak lanjutan dari kebijakan itu? Dan, apakah pencegahan cukup berhasil dilakukan dengan pelarangan kegiatan keagamaan di masjid, musala, dan forum pengajian? Yang sangat menyedihkan, ketika jatuh korban dari jamaah yang terindikasi positif corona, maka akan segera muncul tulisan “klaster tarawihan,” sejajar dengan klaster-klaster lainnya. Muncullah stigmatisasi terhadap masjid, imam, dan jamaahnya. Kalau semuanya harus diukur secara statistik dan objektif mungkin akan diketahui kalkulasi riilnya. Namun, mau tidak mau kita harus patuh pada ketentuan pemerintah dan instruksi dari pemimpin organisasi keagamaan yang kita ikuti dengan segala konsekuensinya.

Sebelum memasuki Ramadan yang lalu, penulis didatangi sejumlah jamaah yang mempertanyakan kebijakan meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid. Jawaban penulis tentu sangat normatif, mengikuti instruksi dari pimpinan organisasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar. Setelah dua bulan lebih masjid-masjid tutup, kita baru tahu, bukan hanya masjidnya yang menganggur dan jamaah yang kebingungan, tetapi takmir masjid pun kesulitan mendapatkan dana untuk membiayai pemeliharaan masjid, terutama untuk membayari tagihan listrik PLN dan air dari PDAM. Takmir juga tidak mampu memberi insentif pada petugas kebersihan atau keamanan. Ketika masjid tidak digunakan untuk kegiatan sebagaimana mestinya maka kas masjid semakin berkurang, menipis dan akhirnya mengalami defisit, karena tidak ada pemasukan apa-apa. Pengumpulan zakat fitrah, apa lagi zakat mal, yang menjadi agenda rutin setiap masjid pada akhir Ramadan terasa sangat seret, tidak optimal.

Belakangan baru disadari bahwa banyak di antara warga kita yang, karena keterbatasan ilmu agamanya, tidak mampu melaksanakan salat tarawih tanpa ikut berjamaah di masjid. Mereka masih belum hafal bacaan-bacaan wajib dalam salat tarawih tersebut. Bahkan muncul berbagai tulisan dan video yang menggambarkan betapa seorang bapak, sebagai kepala keluarga, terpaksa menjadi imam shalat tarawih dengan bacaan Surat al-Fatihah yang berantakan. Ada juga tulisan cukup panjang tentang perdebatan jika sang suami tidak mampu menjadi imam salat tarawih karena tidak hafal surat-surat wajib dalam salat; apakah seorang istri boleh menjadi imam? Jawaban normatifnya tentu tidak dibenarkan. Namun hal itu telah menunjukkan suatu realitas yang getir tentang kualitas keagamaan warga masyarakat kita. Masih banyak umat kita yang sangat membutuhkan bimbingan secara langsung dalam mengamalkan ajaran agamanya, terutama dalam pelaksanaan ritual di bulan suci Ramadan ini.

Di luar itu, kita banyak menyaksikan kondisi yang lebih memprihatinkan lagi di lapangan. Sejauh ini, dengan berdalih qâidah ushûliyyah, “dar’ul mafâshid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih,” atau “menghindari kerusakan harus diutamakan dari mendapatkan keuntungan”, maka kita dipaksa untuk mengorbankan kegiatan keagamaan. Dalil-dalil pun dihimpun dan diuraikan secara detail untuk membenarkan prinsip tersebut, termasuk merujuk pada al-Ushûl al-Khamsah yang dirumuskan oleh al-Ghazâlî dan al-Syâtibî. Tetapi sekali lagi, orang lupa dengan dampak lebih lanjut dari kebijakan tersebut. Hampir sepanjang Ramadan ketika masjid-masjid ditutup dan pengajian-pengajian ditiadakan maka pencerahan keagamaan berhenti. Ketika kegiatan pencerahan tersebut tidak ada lagi maka umat dibiarkan dalam kebingungan, lepas kendali, dan -yang sangat membuat kita miris—agama seperti sudah ditinggalkan masyarakat. Maka orang pun bisa bebas makan, minum, merokok di siang hari di tempat umum selama Ramadan ini. Di sudut-sudut kota, di siang hari, orang bergerombol duduk-duduk di trotoar, makan, minum dan rokokan, tanpa memedulikan protokol kesehatan. Padahal ini bulan puasa di tengah pandemi Covid-19 yang ganas. Ramadan tahun ini seperti kehilangan nuansa sakralnya.

Baca juga:   Komunalitas dan Benteng Menghadapi Pandemi

Dalam situasi normal, setiap menjelang Ramadan, hampir semua Pemerintah Daerah selalu mengajak MUI dan ormas-ormas Islam untuk duduk bareng dengan para pelaku usaha; mereka merumuskan kebijakan umum yang harus dipatuhi untuk menjaga agar situasi tetap kondusif selama Ramadan. Harapannya, umat Islam bisa menjalankan ibadah dengan tenang, dan para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri dengan kondisi bulan puasa yang sakral ini. Maka orang menjadi sungkan untuk makan, minum atau merokok seenaknya. Tempat-tempat hiburan diatur jam bukanya agar tidak mengganggu pelaksanaan ibadah tarawih. Warung pun, kalau tetap buka, harus memasang tabir agar tidak terlalu menyolok, demi menghormati mereka yang puasa. Inilah poin-poin umum yang biasa disepakati di awal Ramadan. Tetapi karena Ramadan tahun ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19, seolah-olah tradisi yang baik itu sudah dilupakan. Bahkan umat Islam diminta berkorban sangat banyak, meniadakan salat berjamaah di masjid, meniadakan kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang, dan akhirnya rangkaian ritual Idulfitri pun harus direduksi dengan sholat id di rumah masing-masing; tanpa kumandang takbir dari masjid-masjid dan tanah lapang tempat pelaksanaan salat id.

Dari aspek penambahan ilmu agama dan peluang bagi mubalig untuk berdakwah, seperti ditulis oleh Najib Hamid di atas, masih ada media online untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tetapi itu sifatnya adalah suplementatif, bukan yang pokok. Seberapa banyak orang mau mengikuti pengajian online, sekalipun itu disampaikan oleh tokoh-tokoh hebat level nasional atau internasional? Mungkin hanya orang-orang terpelajar dan sangat peduli dengan kegiatan keilmuan yang mau mengaksesnya. Kebanyakan orang tentu akan merasa lebih meresapi materi pengajian yang disampaikan langsung di mimbar-mimbar masjid atau forum pengajian. Ketika fasilitas dakwah konvensional itu tidak berfungsi maka agama semakin jauh dari jangkauan umat. Orang kesulitan mengamalkan ritual rutin yang harus mereka jalani di bulan suci Ramadan tahun ini.

Bagaikan goresan warna pada kanvas, ketika warna gelap semakin dominan, maka warna terang akan semakin kabur, lama-lama jadi abu-abu, dan akhirnya hilang jadi warna gelap semua. Ketika kegiatan pencerahan berhenti maka peluang menangkal kemungkaran akan semakin terbatas. Amar makruf pun jadi tambah berat. Begitulah mungkin gambarannya ketika kegiatan keagamaan dikalahkan, terdesak oleh kalkulasi ekonomi. Ini tentu dilihat dari keluhan jamaah; jika masjid-masjid harus ditutup dan kegiatan keagamaan dibatasi, mengapa mal dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibiarkan ramai. Ada rasa sedikit ketidakadilan dialami oleh jamaah kita. 

Namun inilah kenyataan yang harus kita terima saat ini. Pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk pasrah dan mengalah. Apakah untuk urusan keagamaan ini kita akan mengatakan “Indonesia terserah” yang menandai rasa frustrasi, kebingungan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan menghadapi situasi yang sangat mencekam ini? Sebagai orang beriman kita tidak boleh berputus asa. Dengan terus berdoa dan bermunajat, kita mohon kepada Allah SWT kiranya umat Islam dan bangsa Indonesia akan segera dibebaskan dari wabah corona ini. Selanjutnya, para mubalig dan ustaz ke depan akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat, “mengembalikan umat pada situasi normal” di mana kondisi Ramadan yang muram itu dapat kita perbaiki dan amar ma’rûf nahi munkar dapat dilaksanakan dengan efektif lagi.[MFR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *