Defisit Keagamaan dan Miskinnya Paradigma Aksi Keagamaan

Ket. Gambar: Nampak aktivitas salat fardu di teras Masjid Al-Furqon Denpasar. Salat berlangsung dengan standar protokol kesehatan mulai dari kebersihan saat wudu sampai jarak antarjamaah

Defisit keagamaan yang berakhir pada stagnasi paradigma aksi keagamaan juga berdampak fatal baik pada institusi keagamaan, agamawan, sampai kepada tataran umat….sudah saatnya institusi keagamaan tidak berdiam diri di tengah kesiapan menjelang new normal. Perlu cara-cara adaptif agar kekhawatiran defisit keagamaan dapat ditanggulangi, bukan berhenti pada peratapan.

—— Bethriq Kindy Arrazy

Tulisan ini adalah ekspresi kegelisahan. Ya, respons kegelisahan atas kegundahan yang dialami Prof. Fauzan Saleh, Guru Besar Filsafat Agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Beliau, sebagai akademisi cum Ketua PD Muhammadiyah Kediri, juga menarik untuk dilihat sekaligus diamati; selain dari aspek wacana, juga dari aspek pergumulannya yang kemudian mengonstruksi pemikirannya dalam artikel bertajuk “’Indonesia Terserah’ dan Defisit Keagamaan”. Lihat: http://saa.iainkediri.ac.id/indonesia-terserah-dan-defisit-keagamaan/

Ada beberapa aspek argumentasi Fauzan Saleh yang perlu ditelaah, dikoreksi, dan dikritik karena potensi kepincangan nalar keagamaan yang dilakukan secara konvensional. Di satu sisi, yang cukup mengkhawatirkan adalah Fauzan Saleh menempatkan Islam dalam posisi terjebak dan tidak berdaya; tanpa ada upaya untuk membongkar tradisi keagamaan konvensional yang dianggap sudah memiliki pakem ideal di setiap zamannya. Secara lebih lanjut hal ini dapat berakhir pada miskinnya paradigma aksi keagamaan. Tentu, hal ini berseberangan dengan spirit “Islam Berkemajuan” yang selama ini menjadi roh pergerakan Persyarikatan Muhammadiyah yang saya yakini memiliki semangat progresivitas.

Bila ditelisik secara kronologis, muara wacana defisit keagamaan merupakan respons atau menguatkannya wacana lanjutan dari “Indonesia Terserah” yang belakangan turut meramaikan opini publik. “Indonesia Terserah” merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat kepada sebagian masyarakat lainnya yang semakin bebal dan abai terhadap peraturan pemerintah. Pembahasan ini secara khusus saya bedah dalam beberapa poin agar kritik kegelisahan yang terjabarkan memiliki fokus pijakan argumentasi, termasuk hal-hal apa saja yang kiranya dapat dilakukan dan diupayakan guna menindaklanjuti kegelisahan Fauzan Saleh perihal defisit keagamaan yang sedang terjadi di sekitar masyarakat kita.

Pertama, persoalan para mubalig yang dikutip dari esai Najib Hamid yang bertajuk “Nasib Mubalig kala Pandemi Korona”. Secara khusus saya belum menemukan formulasi positif yang diajukan Fauzan Saleh yang terhenti hanya sebagai problem kasus. Namun demikian, memaksakan kehendak dengan tetap mengundang jamaah pada sebuah majelis di sebuah masjid juga bukan pilihan tepat di tengah pandemi korona.

Saat seperti inilah, para mubalig seharusnya melakukan inovasi dakwah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Para mubalig tentu bisa belajar dari sosok Habib Husein Jafar Al-Hadar dengan dakwah digitalnya. Dari akun Youtube-nya yang bernama Jeda Nulis setidaknya sudah terdapat sebanyak 185 ribu subscribers. Jumlah itulah yang kemudian menjadi jamaah tetap di ruang virtual yang setia mengikuti konten pengajian yang diadakan oleh pendakwah yang juga menjabat sebagai Direktur Cultural Academy Jakarta ini.

Bagaimana dengan mubalig yang sudah berusia uzur atau gagap teknologi? Para mubalig yang sudah senior secara usia tidak perlu gengsi untuk belajar kepada sesama mubalig yang berusia lebih muda namun memiliki ketangkasan dalam berdigital. Ormas Islam bisa mengundang Habib Husein Jafar Al-Hadar untuk secara khusus memberikan pelatihan khusus yang difasilitasi pengurus daerah dan ranting. Bila misalkan segan atau gengsi karena afiliasi ormas atau pandangan keagamaan Habib Husein Jafar Al-Hadar, boleh mengundang mubalig lainnya yang memiliki kapasitas dan integritas di bidang dakwah digital. Walau sesungguhnya, terlepas latar belakang yang melekat, setiap manusia adalah guru, sedikit ataupun banyak hikmah ilmu yang diberikan.

Kedua, dampak lanjutan dari kesejahteraan para mubalig adalah kesejahteraan masjid yang memiliki kebutuhan operasional. Selama ini kesejahteraan masjid ditopang oleh ketulusan sedekah para jamaahnya. Kebijakan sosial distancing di setiap daerah berdampak pada turunnya pemasukan masjid. Hal ini menjadi persoalan serius, tidak hanya bagi para mubalig, melainkan juga para takmir yang menjadi ujung tombak kesejahteraan masjid.

Baca juga:   Gereja Katolik dan Insan Homoseksual

Bagaimana persiapan aspek teknis dakwah digital? Mubalig tetap fokus mempersiapkan materi pengajian yang akan diberikan walau nantinya akan sedikit lebih dominan penyampaian dakwahnya karena kecenderungan satu arah. Adapun dengan hal-hal teknis seperti sosialisasi, pengambilan gambar, penyuntingan, dan publikasi, tetap melibatkan pengurus yang berusia muda, yang memiliki basis pengetahuan teknologi yang mumpuni. Di akhir pengajian, pengurus dapat menyosialisasikan kesediaan jamaah untuk menyisihkan sedekah untuk kesejahteraan masjid. Berikutnya, dalam pengajian selanjutnya, pengurus menyampaikan pendapatan sedekah hasil pengajian sebelumnya sebagai bentuk transparansi. Bagaimana pun juga masjid sebagai rumah ibadah berdasarkan aspek ritual keagamaan juga sebagai ruang publik dalam aspek hubungan sosial.

Sesungguhnya bila pelatihan dakwah digital itu mendapatkan respons yang baik, tentu akan menjadi modal yang baik pula untuk menghidupkan tradisi dakwah yang sudah lama berlangsung secara konvensional. Meski secara penyampaiannya dilakukan dengan cara-cara yang lebih baru dan kreatif. Problem warga yang memiliki keterbatasan ilmu keagamaan dapat ditekan seminimal mungkin. Selain juga kasus tersebut juga menjadi otokritik sudah seberapa besar inisiatif ormas-ormas Islam memberantas keterbelakangan keagamaan warganya. Dari sinilah tantangan itu dimulai.

Saya meyakini dakwah digital bisa menjadi alternatif, namun saya juga meyakini bahwa tidak semua aspek kehidupan dapat terwakili oleh teknologi. Pembentukan nilai-nilai akhlak jamaah tidak cukup dengan memanfaatkan teknologi, apalagi dalam hal pendidikan Islam. Pendekatan secara personal, komunal, dan psikologis tetap dibutuhkan. Namun setidaknya dalam kondisi seperti ini, pemaksaan diri juga akan berakhir pada kemudaratan. Teknologi sebagai varian dakwah juga perlu untuk dicoba. Setidaknya saat ini dakwah digital merupakan bentuk ikhtiar dan ijtihad para mubalig untuk terus mewarisi dan melanjutkan tugas-tugas kenabian.

Ketiga, menyoal pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, secara khusus umat Muslim di masjid. Saya mengambil contoh di Bali. Kawasan tersebut memiliki jumlah komunitas muslim tidak sebanyak dan dominan komunitas Hindu. Dari pengamatan saya, selama pandemi korona, salat jamaah seperti salat Jumat sampai salat Id ditiadakan. Meski begitu, suara azan tetap berkumandang sebagai penanda masuk waktu salat. Beberapa masjid juga masih melakukan salat jamaah fardu dengan jumlah jamaah dan saf terbatas.

Pembatasan kegiatan keagamaan baik yang bersifat instruksional maupun imbauan tidak hanya dialami oleh umat muslim di Bali, melainkan juga dialami umat agama Katolik, Protestan, Buddha, dan Hindu yang memiliki jumlah mayoritas di sana. Bahkan momen menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada 25 Maret lalu, tidak ada kegiatan keagamaan umat Hindu yang biasanya secara tradisi turun-menurun dilakukan. Beberapa kegiatan keagamaan umat Hindu menjelang Nyepi di antaranya seperti pengarakan Ogoh-Ogoh yang membutuhkan dana tidak sedikit sampai pengerupukan ditiadakan karena berpotensi mendatangkan massa.

Jadi tudingan seakan-akan hanya umat Muslim saja yang mengalami pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah tidak tepat karena nasib yang sama juga dialami oleh penganut agama lain. Selain juga tidak semua masjid secara total menghentikan ibadah jamaah, baik salat fardu, salat Jumat, sampai salat Idulfitri. Di kampung saya misalnya, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, salat id tetap diselenggarakan di Masjid Baiturrahman, masjid terbesar yang setiap berlangsung salat Id, jamaah membeludak dari halaman masjid sampai jalan utama penghubung kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jember. Fenomena masih terselenggaranya salat Id ini barangkali juga terjadi di daerah lainnya secara masif karena kuatnya anggapan betapa sakralnya dan pentingnya salat Id. Di Bali, hal seperti itu tidak berlaku.

Baca juga:   Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia [pdf. available]

Keempat, sikap organisasi-organisasi keagamaan yang mengamini kebijakan pemerintah tentang pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah. Kita perlu bersikap proporsional, selama kebijakan pemerintah bertujuan untuk kebaikan publik, tidak ada salahnya didukung. Dalam situasi sulit seperti saat ini, setiap kebijakan selalu memiliki potensi risiko. Pembuat kebijakan, dalam hal ini adalah pemerintah, tentu harus memiliki kalkulasi kebijakan dengan risiko seminim mungkin. Namun demikian, pemerintah tetap harus dikritik seperti pembuatan kebijakan yang inkonsisten. Beberapa di antaranya PSBB yang longgar pengawasan, larangan mudik yang setengah hati, pembukaan mall dan transportasi publik, sampai konser solidaritas kemanusiaan “Bersatu Melawan Korona”.

Sikap organisasi keagamaan yang mendukung kebijakan pemerintah juga tidak bisa disepelekan. Disebut organisasi keagamaan karena di dalamnya terhimpun para agamawan yang memiliki kompetensi dan otoritas ilmu keagamaan yang mumpuni. Ketika mereka mengikuti kebijakan yang berhubungan dengan umat beragama, para agamawan tentu memiliki pertimbangan berdasarkan aspek teologis dan sosial; termasuk larangan salat Id secara berjamaah di masjid.

Negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Yordania juga menerapkan peraturan larangan salat Id berjamaah di masjid. Di Arab Saudi misalnya, hampir semua masjid dilarang mengadakan salat Id di kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Itu pun dengan jumlah jamaah terbatas dan dengan protokol kesehatan yang ketat. Larangan ini mengacu pada dekrit yang dikeluarkan Raja Salman bin Abdulaziz dan berakhir pada lockdown penuh sejak 1 hingga 4 syawal. Beda di Timur Tengah, beda pula di Indonesia yang masih tetap ingin melakukan salat Id di daerahnya masing-masing.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan keputusan kebijakan PP Muhammadiyah melalui hasil kajian Majelis Tarjih dan Tajdid dilakukan secara kolektif. Artinya, PP Muhammadiyah menggaransi bahwa setiap instruksi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara dunia dan akhirat. Dalam tradisi Muhammadiyah, kajian-kajian Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki sumber pijakan yakni Alquran dan As-sunnah. Sehingga, pertimbangan syariah yaitu menyelamatkan jiwa atau nyawa lebih diutamakan daripada melakukan sunah yang dapat dilakukan di tempat lain tanpa menghilangkan esensi ritual keagamaan

“Coba aspek rasa dan kebiasaannya untuk saat ini dialihkan pada aspek ilmu dan ijtihad dalam beribadah. Jadi, kalau masih ada satu atau dua kader pimpinan kader ingin beribadah secara sendiri-sendiri. Menurut saya dari lubuk hati paling dalam dan dengan kerendahan hati, mari belajar berjamaah dan berjami’ah dengan baik. Insyaallah tidak akan kehilangan kok, misalkan yang masih protes ilmunya tinggi dengan mengikuti kebijakan PP Muhammadiyah tidak akan turun ilmu dan wibawanya. Kuncinya lillâhita’âlâ dan ikhlas dalam berorganisasi,” ujar Haedar dalam rekaman video webinar.

Hubungan kemitraan pemerintah dengan organisasi keagamaan yang memiliki hubungan instruksional sekaligus komunalistik kepada umatnya perlu diupayakan agar sebuah kebijakan yang berbalut legitimasi keagamaan dapat terdistribusi dan terimplementasikan dengan baik. Termasuk potensi risiko penyebaran korona di antara sesama penganut agama di rumah ibadah. Hubungan keduanya ini juga jangan dimaknai sekaligus disalahpahami sebagai upaya pemerintah mensubordinasikan organisasi keagamaan dan agama.

“Bahkan umat Islam diminta berkorban sangat banyak, meniadakan salat berjamaah di masjid, meniadakan kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang, dan akhirnya rangkaian ritual Idulfitri pun harus direduksi dengan sholat id di rumah masing-masing; tanpa kumandang takbir dari masjid-masjid dan tanah lapang tempat pelaksanaan salat Id,” kata Fauzan Saleh.

Ujaran sinisme bernada ketidakberdayaan sekaligus ketertinggalan ini saya kira perlu untuk dikesampingkan sesaat. Egoisme keagamaan seperti ini juga turut berpotensi membawa korban jiwa selain kita juga perlu kritis kepada setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Defisit keagamaan yang berakhir pada stagnasi paradigma aksi keagamaan juga berdampak fatal baik pada institusi keagamaan, agamawan, sampai kepada tataran umat. Terlepas dari diskursus di atas, sudah saatnya institusi keagamaan tidak berdiam diri di tengah kesiapan menjelang new normal. Perlu cara-cara adaptif agar kekhawatiran defisit keagamaan dapat ditanggulangi, bukan berhenti pada peratapan. Sebagai mana halnya Islam sebagai agama survival, baik secara fisik dan pemikiran. Maka tak sepantasnya Islam mengalami ketidakberdayaan atas ujian zaman. [MFR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *