Ummi, Imanku Dipatok Ular!

Bagi orang tua yang selama ini merasa sulit untuk mengajari anak-anaknya hapalan-hapalan surat pendek dan sebagainya itu, pasti merasa sangat terbantu. Dengan permainan Ular Tangga Anak Saleh ini si anak merasa bermain dan bukan sedang belajar, dan sang ibu juga senang, karena apa yang harapkan agar anak-anaknya bisa menghapal menjadi kenyataan.

—–Hajime Yudistira

Akhir-akhir ini ramai warganet membahas permainan ular tangga yang dimodifikasi menjadi Ular Tangga Anak Saleh sebagai metode untuk anak menghapal surat-surat pendek, doa-doa pendek dan hadis. Ada sebagian warganet yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah hal yang baik dan kreatif, karena metode permainan ini membuat anak-anak senang bisa belajar sambil bermain. Akan tetapi, tidak sedikit pula warganet yang kontra dan mengatakan hal tersebut sangat tidak kreatif, karena bukan membuat metode baru, tapi meniru atau menjiplak permainan yang sudah ada.

Sebenarnya tidak ada masalah dengan permainan ular tangga, karena permainan itu bersifat umum. Permainan ini menjadi masalah dan banyak dibahas karena oleh sebagian warganet dikatakan menjiplak. Permainan ini memang hasil modifikasi sebagai metode yang dipakai agar anak lebih mudah menghapal dalam konteks pengajaran dalam agama Islam. Menjadi masalah, karena yang menanggapi hal tersebut bukan dari kalangan muslim dengan mengatakan permainan itu menjiplak, meniru, plagiat atau apalah sebutannya. Inti masalah sebenarnya adalah pendapat tersebut ke-bablas-an, atau off side dalam istilah sepak bola.

Saya jadi berpikir, kalau dikatakan menjiplak, berarti tentu ada pemilik karyanya. Karena kalau tidak ada pemiliknya tentu tidak bisa dikatakan menjiplak. Lagipula sesuatu itu bisa dikatakan menjiplak kalau diakui sebagai karyanya. Ini kan hanya memodifikasi permainan menjadi metode pembelajaran yang membantu banyak pihak.

Saya jadi penasaran, permainan ular tangga yang waktu kecil juga sering saya mainkan ini sebenarnya siapa yang menciptakan? Saya berusaha mencari sumber-sumber informasi dan hasilnya saya tidak bisa menemukan sebuah nama sebagai orang yang menciptakan permainan ini. Hasil yang saya temukan hanya mengatakan bahwa permainan ular tangga ini sudah dimainkan di India sejak abad ke-2 SM (dilansir dari brilio.net).

Permainan ini dikenal dengan sebutan Mokshapat, Moksha Patamu, Vaikuntapaali, atau Paramapada Sopanam yang memiliki makna “mendalam”. Sebenarnya, permainan ini mengajarkan tentang karma dan pentingnya melakukan perbuatan baik di atas perbuatan jahat. Tangga mewakili kebaikan dalam ajaran Hindu, seperti kemurahan hati, iman dan kerendahan hati. Sedangkan ular mewakili sifat-sifat buruk manusia, seperti nafsu, amarah, dan perbuatan-perbuatan tidak baik lainnya.

Permainan ular tangga yang dulu ada di India berupa papan yang menyimpan simbol-simbol keTuhanan seperti dewa dan malaikat. Selain itu, juga muncul simbol tanaman, hewan dan juga manusia. Pesan dari permainan ini adalah untuk mencapai nirwana atau surga, perlu melakukan perbuatan baik setahap demi setahap. Selama melakukan perbuatan baik, maka akan bertemu dengan ular-ular yang menggambarkan godaan untuk berbuat tidak baik yang akan mengantarkan kepada tingkatan kehidupan yang lebih rendah, bahkan kematian. Setiap kotak dalam papan permainan tersebut yang mewakili kehidupan dapat hancur karena hal-hal kecil sekalipun.

Permainan dari India ini dibawa ke Inggris sekitar akhir abad ke-18 dan diubah sesuai nilai-nilai Victoria saat itu. Dari Inggrislah permainan ini menyebar ke seluruh dunia dengan segala modifikasi sesuai kebutuhan yang membuatnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, permainan ini dibuat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh yang memodifikasinya. Demikian kiranya sejarah singkat dari permainan ular tangga tersebut.

Bagi orang tua yang selama ini merasa sulit untuk mengajari anak-anaknya hapalan-hapalan surat pendek dan sebagainya itu, pasti merasa sangat terbantu. Dengan permainan Ular Tangga Anak Saleh ini si anak merasa bermain dan bukan sedang belajar, dan sang ibu juga senang, karena apa yang harapkan agar anak-anaknya bisa menghapal menjadi kenyataan. Dalam Islam memang surat-surat pendek dan doa sehari-hari wajib dihapalkan untuk dipergunakan dalam salat dan beraktifitas sehari-hari.

Bagi si anak juga merupakan hal yang menyenangkan bisa menghapal sambil bermain. Saya pun berpendapat bahwa hal ini sangat baik, dalam arti ada sebuah metode untuk membantu anak dalam urusan menghapal ini. Apakah ini menjiplak? Saya tidak melihat ada yang salah dari hal ini. Memodifikasi sebuah permainan yang notabene juga tidak ada patennya untuk membuat hal baik dan berguna bagi orang lain. Kalau kita menjadi penjiplak karya orang lain yang memiliki paten, dan diakui sebagai karyanya, mungkin itu bisa dikatakan sebagai plagiator.

Bagaimana kalau saya membuat atau memodifikasi permainan, sebutlah misalnya permainan gasing –mainan terbuat dari kayu yang diberi pasak bagian bawahnya dan diputar dengan media tali—yang saya modifikasi dengan tujuan baik tertentu. Lalu hasil modifikasinya diikuti banyak orang karena dianggap berguna, apakah itu hal yang buruk atau saya dianggap penjiplak atau plagiat? Memangnya permainan gasing ada yang punya? Sudah tidak mungkin juga untuk melacaknya untuk mengetahui siapa penciptanya.

Lagi pula tidak ada relevansinya juga mengritik seperti itu, lihat sisi baiknya bahwa metode permainan Ular Tangga Anak Saleh yang “menjiplak” tersebut memberikan manfaat bagi banyak orang. Banyak orang tua terbantu, karena sekarang pelajaran menghapal bagi anaknya menjadi mudah dan menyenangkan.

Berpendapat itu boleh, tapi kalau dalam konteks keagamaan di ranah publik, berhati-hatilah dan jangan salah “masuk kamar” orang. Mari kita jaga keutuhan toleransi keberagamaan kita, salah satunya dengan apa yang disampaikan tadi, yaitu jangan ke-bablas-an dalam berpendapat yang bukan di ranahnya. Salam damai selalu…[MFR]

Sekolah dan Telur Ceplok

Buat saya, ibarat telur, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka lahirlah kehidupan baru. Begitulah fitrah kehidupan tercipta. Pendidikan pun harus membangkitkan fitrah anak; berproses sendiri, muncul kesadaran sendiri, mengenal diri mereka sendiri dan berjuang untuk menyelesaikan masalah dan meraih masa depan dengan usaha sendiri.

—- Emmy Kuswandari

Musim sekolah sudah dimulai. Orang tua mulai jungkir balik menyiapkan berbagai platform pembelajaran daring yang dilakukan oleh sekolah. Bagi kita yang akrab dengan pertemuan-pertemuan di dunia maya, tentu tak masalah. Klik sana sini lalu anak pun akan terhubung dengan ruang belajarnya. Bagaimana dengan orang tua yang gagap teknologi? Ya, sudah pasti nunak-nunuk dan pening. Belum lagi jaringan internet yang kembang kempis seperti dompet di tanggal tua.

Belajar daring ini sebetulnya menjawab kegalauan saya. Saya akan ada di baris pertama kelompok orang tua yang menolak kalau sekolah memutuskan belajar dilakukan secara fisik; anak dan guru harus datang ke sekolah. Pandemi belum usai. Orang yang terpapar Covid-19 makin menggila jumlahnya. Pernah mencapai 2.687 lonjakan positif dalam satu hari. Mengunci pintu rumah dan tak memberikan izin untuk aktivitas di luar kepada anak mungkin terdengar kejam, tetapi tak ada pilihan lain. Sudah lima bulan anak saya tinggal di rumah saja; belajar, olah raga dan terhubung daring dengan teman-temannya.

Saya tak rela melepas anak memasuki gerbang sekolah barunya untuk saat ini. Meski buat anak-anak remaja, ini kebahagiaan untuk jumpa dengan teman-teman barunya. Mereka sudah menunggu lama untuk bisa kenalan dan siapa tahu, musim cinta bisa mulai disemi saat ajaran baru ini. Saya tahu, itu mimpi mereka, anak-anak yang sebentar lagi memasuki angka keramat; 17 tahun.

Beruntung, sekolah memutuskan menggunakan pembelajaran jarak jauh. Bahkan bonusnya, pembelajaran daring ini dilakukan penuh satu semester ini. Jadi baru tahun depan, anak-anak ini akan jumpa teman sekolahnya secara nyata.

Saya mungkin tak direpotkan dengan urusan teknis mengenalkan platform belajar, jaringan internet atau sosial media. Anak saya sudah remaja, dia melakukan lebih baik dari saya. Jadi tugas saya cukup menyiapkan kuota internet yang memadai.

Saya termasuk orang tua yang woles untuk urusan belajar. Cukup pusing sekali saja; untuk mendapatkan sekolah yang menyenangkan untuk anak dan biarkan dia menikmati dunia barunya. Lingkungan yang menyenangkan ini penting. Dan kami melakukan survei bersama sebelum menjatuhkan pilihan. Tak perlu sekolah yang terkenal atau dengan fasilitas mewah. Anak saya bahkan gembira waktu datang ke sekolah sederhana di tengah sawah, lengkap dengan pematang dan saluran irigasinya. Jauh dari kesan mewah. Atau sekolah yang jauh dari riuh orang lalu lalang sekalipun di Parung sana. Selebihnya, saya membiarkan ia berproses sendiri.

Namun ada yang menarik di grup orang tua sebelum sekolah mulai. Sekali buka chat, sudah ada ribuan atau bahkan ratusan chat yang belum terbaca. Orang tua mengkhawatirkan ini dan itu. Apakah anaknya sudah bertemu dengan kelompoknya, apakah sudah membuat video perkenalan, anaknya masuk kelompok apa. Atau pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya sudah ada penjelasannya di pengumuman. Seheboh itu mereka. Bahkan orang tua ini masih membuat grup baru perwilayah anak-anak tinggal. Nah, yang ketika anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, orang tua pun ingin membuat grup baru lagi untuk dapat info terkini, di kelompok kecil tersebut.  Khawatir anak-anak tidak bisa mengikuti masa orientasi dengan baik, ragu anaknya bisa menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, ingin membantu agar anaknya tak kesulitan merampungkan pekerjaannya.

Untung kami hanya berkumpul di WAG besar saja, tak memecah menjadi lebih kecil lagi. Bisa-bisa tak kerja hanya memenuhi keinginan menyediakan apa saja yang anak-anak butuhkan. Usia 15-16 tahun buat saya sudah remaja. Mereka punya dunia dan cara sendiri untuk menyelesaikan masalah yang ditemuinya.

“Buka pintu kamar anak pun tak boleh. Mereka tidak ingin kita tahu apa yang mereka lakukan. Malah disuruh masak saja,” ujar seorang ibu di grup.

Ternyata tak mudah menjadi orang tua dengan anak yang bergerak remaja. Mereka bukan lagi kanak-kanak yang perlu disiapkan segala sesuatunya. Rasa memiliki yang sangat besar membuat kita sebagai orang tua tak ingin anak-anak gagal atau kecewa. Anak-anak berubah, dan kadang kita tidak. Masih menganggap anak-anak ini kecil dan harus terus kita arahkan.

Buat saya, ibarat telur, jika sebuah telur dipecahkan oleh kekuatan dari dalam, maka lahirlah kehidupan baru. Begitulah fitrah kehidupan tercipta. Pendidikan pun harus membangkitkan fitrah anak; berproses sendiri, muncul kesadaran sendiri, mengenal diri mereka sendiri dan berjuang untuk menyelesaikan masalah dan meraih masa depan dengan usaha sendiri.

Saya belajar menahan diri untuk tidak bergegas menolong anak, membantu menyelesaikan tugas atau apapun yang anak perlukan hanya untuk memenuhi khawatir saya. Menahan diri dan diam itu tak mudah, tapi saya mencoba belajar. Menunggu proses itu lelah, tapi saya harus sabar. Sabar menanti dari telur lalu akan muncul kehidupan baru dalam diri anak saya. kalau mau instan, cukup pecahkan saja telurnya. Ceplok dan bumbuin, pasti enak. Tapi bukan itu tujuannya. Biarkan gairah belajarnya bangkit dan mudah-mudahan anak akan menjadi pembelajar seumur hidup. [MFR]

Pernikahan Beracun “Toxic Marriage”

Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2019, dari 13.568 kasus kekerasan yang tercatat, 9.637 kasus berada di ranah privat (71%). Jumlah ini meningkat dari tahun 2018. Dari jumlah tersebut, jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 2.073 kasus, dan jumah kekerasan terhadap istri mencapai 5.114 kasus.

——-Unair News, 26/12/2019

Belum lama ini saya bergabung dengan sebuah komunitas yang sangat eksklusif di Facebook, LIKE Indonesia –Lingkar Inspirasi Keluarga Edukatif. Komunitas ini digawangi oleh Michael Yamin, Ric Erica, dan Nana Padmosaputro serta beberapa orang yang peduli terhadap isu pendidikan, terutama pendidikan bagi anak-anak, yang merupakan generasi penerus berdirinya bangsa ini di masa yang akan datang. Cukup ketat screening yang dilakukan para admin di komunitas ini untuk bisa “mendarat” dan diterima dalam komunitas tersebut. Intinya, orang yang open minded dan mau belajarlah yang akan diterima di komunitas tersebut.

Saya masuk dalam komunitas ini melalui salah satu program yang mereka buat, yaitu CCC (Chit Chat & Chew), yaitu program edukasi berbasis daring melalui aplikasi Zoom. Topik yang diangkat pada acara CCC saat itu adalah toxic marriage (pernikahan beracun). Di sana saya mendengar beberapa narasumber yang menceritakan pengalaman hidupnya yang mengalami toxic marriage dengan pasangannya atau anak yang besar dari pasangan toxic marriage tersebut. Masalah-masalah yang diangkat tersebutlalu dibahas oleh pakar, yang pada acara tersebut adalah Ratih Ibrahim, seorang psikolog profesional.

Sebenarnya masalah toxic marriage ini adalah masalah yang banyak terjadi di sekitar kita. Hanya saja, soal ini biasanya tidak muncul ke permukaan, seperti fenomena gunung es. Hal ini terjadi karena orang yang mengalaminya malu, belum lagi jika dibenturkan dengan aspek agama atau budaya, sehingga kebanyakan orang memilih untuk berdamai dengan racun di biduk rumah tangga ini.

Hal ini sebenarnya akan meracuni atau memberikan dampak negatif terhadap siapapun yang mengalami toxic relationship. Racun tersebut bisa berupa perkataan, sikap, perlakuan kasar atau apapun juga. Dampak racun ini bisa membuat orang tidak produktif dan tidak bahagia dengan hidupnya, padahal setiap orang berhak untuk bahagia. Indikatornya untuk mengetahui apakah seseorang sedang berada dalam hubungan yang beracun atau tidak sebenarnya mudah saja; apakah Anda tidak merasa aman dan nyaman di dekat pasangan? apakah Anda merasa tertekan saat berinteraksi? apakah Anda merasa pasangan sangat keterlaluan dan terakhir, apakah Anda merasa pasangan itu menambah masalah dalam hidup?

Jika jawaban dari keempat pertanyaan tersebut semuanya iya, maka mungkin memang Anda sedang berada dalam hubungan yang beracun dengan pasangan Anda. Tapi pertanyaan tersebut harus Anda jawab dalam kondisi yang stabil dan tidak sedang emosional. Jadi harus dilihat secara komprehensif dalam jangka waktu yang cukup lama. Demikian dijelaskan oleh Ratih Ibrahim, seorang psikolog klinis yang merupakan CEO dari Personal Growth Indonesia –Organisasi yang menyediakan layanan psikologis profesional dengan spesialisasi dalam bidang konseling dan pengembangan sumber daya manusia, didirikan tahun 2003.

Kalau mau jujur, di Indonesia sebenarnya banyak sekali kasus toxic marriage yang berlanjut dengan toxic relationship, hasilnya membuat pasangan tidak bahagia dan tidak produktif. Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2019, dari 13.568 kasus kekerasan yang tercatat, 9.637 kasus berada di ranah privat (71%). Jumlah ini meningkat dari tahun 2018. Dari jumlah tersebut, jumlah kekerasan dalam pacaran mencapai 2.073 kasus, dan jumah kekerasan terhadap istri mencapai 5.114 kasus, dikutip dari “Waspada Toxic Relationship Semakin Meningkat Setiap Tahunnya” (Unair News, 26/12/2019.

Korban dari toxic relationship ini biasanya adalah wanita dan anak-anak. Dr. Primatia Yogi Wulandari, M.Si., psikolog Universitas Airlangga (UNAIR) menyebut hubungan ini paling berbahaya bila terjadi pada kalangan remaja atau pasangan yang menjadi orang tua dari anak-anaknya. Hal ini karena toxic relationship memiliki dampak yang bermacam-macam. Sebagian besar mungkin diawali dari dampak yang bersifat psikologis. Orang yang menjadi pihak yang dirugikan dalam toxic relationship dapat menjadi rendah diri dan pesimis.“Bahkan bisa saja ia membenci dirinya sendiri akibat perlakuan ataupun perkataan negatif yang diberikan teman atau pasangannya tentang dirinya,” ungkapnya.

Tidak banyak orang yang berani mengambil keputusan untuk mengakhiri toxic relationship. Kebanyakan malah menjadikan agama sebagai dasar untuk tidak mengakhiri hubungan yang beracun ini. Seperti dogma bahwa seorang istri harus mengabdi kepada suami atau bahwa segala yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia, terkadang justru membuat kondisi korban semakin bertambah depresi. Tuhan menganugerahkan akal sehat kepada setiap manusia untuk dipergunakan dengan bijaksana.

Aspek budaya juga terkadang memberikan andil yang cukup besar untuk membuat seseorang tidak mengakhiri toxic relationship. Status janda masih dianggap sangat negatif dalam budaya umum kita di Indonesia. Padahal apa bedanya dengan duda? Itu hanya status saja. Tidak ada yang salah dengan janda ataupun duda. Kalau hubungan yang beracun itu memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi, maka menyandang status janda jauh lebih baik ketimbang terus bertahan di toxic relationship. Yang harus dipikirkan untuk mengakhiri hubungan yang beracun ini bukan aspek agama atau budaya, tapi lebih pada kemandirian finansial. Itu yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan masak-masak.

Jadi apa sebenarnya yang harus dilakukan kalau kita berada dalam hubungan yang beracun? Tentu sebagai langkah awal adalah mencoba untuk memperbaikinya dengan konseling pada pakar, tentunya. Kalau berhasil, bersyukurlah bahwa masih diberikan kesempatan untuk hidup bahagia. Lalu apa yang harus dilakukan kalau ternyata setelah melakukan serangkaian konseling ternyata hubungannya tidak bisa dilanjutkan lagi? Tentu di sini akal sehat yang dianugerahkan Tuhanlah yang harus dipergunakan. Jangan terjebak dalam doktrin agama ataupun doktrin budaya. Setiap orang berhak untuk hidup bahagia… maka berbahagialah…[MFR].

 

.

Mengakui Kesalahan Anak

sumber:https://www.dancow.co.id

Orang tua yang kerap menunjukkan perbedaan sikap di depan anak akan membuat anak kebingungan dan condong pada pihak yang membelanya, anak-anak menjadi tidak belajar dan mencari pembenaran dengan keberpihakan. Maka jangan salahkan jika kelak saat anak-anak sudah dewasa, mereka menjadi pribadi yang pengecut, memilih lari daripada menyelesaikan masalah yang mereka alami.

—-Nurul Intani

Masa kanak-kanak adalah periode emas untuk
anak melakukan eksplorasi. Di periode ini anak-anak mulai mengembangkan
kemampuan berbahasa, bersosialisasi, bertanggung jawab, dll. Maka wajar saja
jika di masa ini anak-anak melakukan trial and error. Meski begitu, hal
ini tidak menjadi pembenaran bahwa anak-anak harus dimaklumi dan dibiarkan saja
ketika melakukan kesalahan.  Berbuat
salah memang wajar dilakukan siapapun, termasuk anak-anak, tetapi sebagai orang
tua, kita tentu bisa memberikan penjelasan bahwa saat membuat kesalahan
hendaknya bertanggung jawab; bisa dengan meminta maaf atau melakukan
introspeksi agar tidak mengulangi kesalahan tersebut; bukan malah memaklumi dan
membela anak.

Anak-Anak Juga Boleh Salah

Tidak perlu membela mati-matian ketika anak melakukan
kesalahan, tidak perlu merasa ragu untuk mengatakan salah jika memang yang
dilakukan anak keliru, sebab reaksi yang ditunjukkan orang tua saat anak
melakukan kesalahan menjadi patokan anak dalam menentukan sikap. Misal saat
anak tidak sengaja merusak mainan temannya, tidak perlu malu untuk mengajari
anak agar meminta maaf, jangan justru menyalahkan orang lain karena
memperbolehkan meminjamkan mainannya. Fokus saja untuk menanamkan sikap
tanggung jawab bahwa ada konsekuensi yang harus ditanggung ketika kita
melakukan kesalahan, misal merusakkan mainan teman maka harus mengganti jangan
justru mencari kambing hitam dan acuh.

Anak-anak belajar bersikap dari apa yang
diajarkan orang tuanya. Anak-anak bukan makhluk sempurna yang tidak pernah
melakukan kesalahan, justru dari kesalahanlah mereka akan belajar. Terus
membela anak sama dengan membenarkan perilaku yang seharusnya dikoreksi,
padahal sikap membela yang berlebihan dapat merusak mental anak; anak menjadi
bebal dan acuh.

Kekeh membela anak dan membuat deretan pemakluman
saat mereka melakukan kesalahan justru akan membuat mereka merasa bebas
melakukan apapun tanpa tanggung jawab. Tidak ada orang tua yang tidak ingin
membela anaknya, tetapi membela saat anak melakukan kesalahan bukan hal yang
bisa dibenarkan. Meskipun sebagai orang tua kita ingin menjadi partner yang
baik bagi anak-anak dalam keadaan apapun, termasuk jika ada masalah, namun
Partner yang baik itu mengingatkan, bukan membenarkan apapun yang tidak
sepatutnya dilakukan.

Latih Mental Anak

Jiwa sportif tumbuh dari kesalahan yang disadari dan dipertanggungjawabkan, sedangkan mental pengecut muncul akibat kesalahan yang terus-terusan dimaklumi tanpa dibenahi. Tentu saja sebagai orang tua kita ingin memiliki anak yang memiliki pribadi terpuji, oleh sebab itu pembiasaan untuk meminta maaf, memaafkan bahkan berterima kasih untuk hal-hal yang terlihat remeh-temeh sangatlah penting.

Beberapa orang tua kadang abai dan menganggap bahwa hal-hal kecil; meminta maaf, berterima kasih adalah hal yang tidak terlalu penting dibiasakan. Padahal dari hal-hal kecil inilah anak-anak belajar membiasakan diri untuk bertanggung jawab dan menghargai orang lain. Tentu saja orang tua juga harus mencontohkan dengan melakukan hal yang sama, misal saat bermain bersama anak, tiba-tiba orang tua mendapat panggilan telpon untuk bekerja, maka jangan menyepelekan untuk meminta maaf pada anak dan memberikan pengertian agar mereka paham dan belajar memahami situasi.

Orang tua di sekitar anak tentu juga harus kompak, terutama ibu dan ayah, biasanya ayah cenderung longgar menetapkan peraturan, sedangkan ibu cenderung disiplin dalam mengingatkan anak ketika tidak bertanggung jawab. Hal ini menciptakan persepsi di benak anak yang berujung pada kecenderungan untuk menghindari kedisiplinan dan tanggung jawab yang diajarkan orang tua. Akibatnya, anak mencari tempat pembelaan dari orang yang seharusnya menegur kesalahannya. Orang tua yang kerap menunjukkan perbedaan sikap di depan anak akan membuat anak kebingungan dan condong pada pihak yang membelanya, anak-anak menjadi tidak belajar dan mencari pembenaran dengan keberpihakan. Maka jangan salahkan jika kelak saat anak-anak sudah dewasa, mereka menjadi pribadi yang pengecut, memilih lari daripada menyelesaikan masalah yang mereka alami.[MFR]

Ketika Anak Banyak Bertanya

Mari fasilitasi masa tumbuh kembang anak dengan cara yang menyenangkan. Luangkan sejenak waktu untuk mendengar pertanyaan dan cerita-cerita berharga mereka agar anak-anak menjadi pribadi yang gembira dan merasa kehadirannya diterima

—– Nurul Intani

Sebagai pribadi yang unik, anak-anak kadang melakukan hal-hal yang menggelitik. Tak jarang pula mereka melakukan sesuatu yang mengusik, seperti bertanya tanpa henti, termasuk melontarkan pertanyaan kejutan yang tidak kita ketahui atau tabukan jawabannya; dari mana adek bayi berasal, misalnya. Alih-alih memberikan jawaban yang tepat atau mengakui jika tidak tahu jawabannya, beberapa orang tua justru memarahi, membentak bahkan berkata kasar kepada anak-anaknya karena dianggap cerewet, lalu meminta mereka diam. Padahal banyak bertanya adalah cara anak-anak untuk mengungkapkan rasa ingin tahunya yang besar; dan ini juga mengasah cara mereka berkomunikasi dengan orang tuanya. 

Memahami Perkembangan Anak

Anak-anak usia 2-4 tahun umumnya mengalami masa pembentukan kognitif. Mereka cenderung bertanya tentang apa dan kenapa. Apapun yang mereka lihat akan menjadi bahan pertanyaan yang kadang sudah dijawab tapi tetap ditanyakan lagi. Seringkali,  pertanyaan anak tidak membutuhkan jawaban atau penjelasan, sebab melalui pertanyaan, anak berusaha untuk melakukan kompromi sambil berharap ada perubahan jawaban yang diberikan orang tua; makan es krim memang bikin batuk, kalau makan es krimnya sedikit bagaimana?   

Sebuah penelitian tentang tumbuh kembang anak di Inggris pada 2013 menunjukkan bahwa seorang anak bisa mengajukan hingga 300 pertanyaan ke orang tuanya per hari. Dan ini adalah pertanda baik. Maka jangan emosional jika anak Anda banyak bertanya, itu tanda perkembangan anak Anda sangat baik. Mendengar pertanyaan anak memang terasa menggemaskan namun jika terlontar saat situasi tidak mengenakkan, maka bisa jadi menjengkelkan.   

Tugas orang tua adalah mengatur cara berkomunikasi dengan anak tanpa perlu jaim untuk mengakui ketika tidak tahu jawaban atas pertanyaan anak. Tidak perlu segan untuk meminta maaf pada anak atas keterbatasan yang kita miliki, sebab meminta maaf pada anak tidak akan mengurangi rasa hormat mereka pada orang tua.

Kecenderungan untuk khilaf dengan tindakan dan perkataan kasar karena merasa lelah dan bosan dengan sikap anak terkadang memang tak terelakkan, padahal tak jarang hal itu justru berakhir dengan penyesalan. Sebab kekerasan yang kita lakukan pada anak menyisakan trauma psikologis yang merusak karakter anak. Karenanya, temani anak-anak ketika mereka tumbuh, tentu dengan memahami bahwa dunia anak tak sama dengan dunia kita, para orang tua.

Kecenderungan Menjadi Toxic Parents

Toxic parents, sebagaimana dijelaskan dalam Tempo, “Tanpa Disadari Anda Bisa Jadi Toxic Parents” adalah orang tua yang tidak menghormati dan memperlakukan anaknya dengan baik sebagai individu. Mereka cenderung melakukan berbagai kekerasan pada anak, baik verbal maupun nonverbal, yang dapat membuat kondisi fisik maupun psikologis anak terganggu.

Toxic parents juga enggan berkompromi dan meminta maaf pada anaknya. Mereka cenderung otoriter dan mementingkan asas kepatuhan dengan mengesampingan sikap kritis anak. Hal ini seringkali dilakukan oleh orang tua yang memiliki gangguan mental atau memiliki trauma di masa kecil akibat pengasuhan yang buruk. Mereka melukai anaknya dengan cara yang sama seperti yang dialaminya dulu, bisa karena keterbatasan figur pengasuhan atau kurangnya pengetahuan.

Orang tua toxic kerap berdalih apa yang dilakukannya semata-mata karena kasih sayang, tetapi pola asuh yang toxic tetap saja tak baik untuk dilakukan. Pola ini terus saja diulang sehingga membuat anak yang awalnya kritis menjadi takut untuk bertanya dan akhirnya tumbuh menjadi anak yang minder. Anak yang harusnya terfasilitasi saat ada di fase ingin tahu malah jadi menutup diri karena merasa keingintahuannya dibatasi dan dianggap sebagai perbuatan yang mengganggu. Anak yang harusnya pemberani dan periang justru menjadi pemalu dan introver.

Mari fasilitasi masa tumbuh kembang anak dengan cara yang menyenangkan. Luangkan sejenak waktu untuk mendengar pertanyaan dan cerita-cerita berharga mereka agar anak-anak menjadi pribadi yang gembira dan merasa kehadirannya diterima.[MFR]

Mengasuh Bersama Ayah

Tugas yang hanya bisa diemban oleh ibu seorang diri hanyalah melahirkan, sementara pengasuhan harus dilakukan bersama pasangan. Lebih berimbang dan memiliki dampak yang lebih signifikan.

——Nurul Intani

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengasuh adalah menjaga, merawat dan mendidik anak. Karenanya, mengasuh tak sama dengan membesarkan anak. Mengasuh dapat diartikan menemani anak bertumbuh dan berkembang; tak hanya anak yang dituntut untuk bertumbuh dan berkembang, tetapi juga orangtua.

Norma yang berlaku di sebagian besar masyarakat kita masih memandang tugas pengasuhan secara timpang, di mana hanya ibu yang dibebani dengan tugas ini, sementara ayah tak memiliki banyak ‘kepentingan’ untuk urusan pengasuhan. Ayah dipandang lebih wajib untuk mencari nafkah dan memimpin keluarga. Hal ini tentu berpengaruh pada sedikitnya peran ayah dalam proses pengasuhan.

Padahal mengasuh adalah tugas orangtua; ayah dan ibu. Anak yang dibesarkan dalam pola pengasuhan timpang cenderung tidak dapat berkembang secara maksimal. Ada banyak penelitian soal ini, terutama yang memberikan titik tekan khusus pada ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan. Pada 2014, Sara McLanahan bersama tim melakukan penelitian dengan tema “The Causal Effects of Father Absence”. Hasilnya cukup mencengangkan, ketidakhadiran ayah dalam proses pengasuhan berimbas negatif terhadap perkembangan anak.

Anak-anak yang tumbuh tanpa sosok ayah disebut tak memiliki kemampuan sosial-emosional yang baik. Hal ini berimbas langsung pada kesehatan mental, kepercayaan diri, pencapaian di bidang pendidikan, pembentukan karakter, kesulitan dalam membangun hubungan keluarga dan akhirnya, kendala dalam menentukan karir atau mendapat pekerjaan saat dewasa kelak.

Tujuh tahun sebelumnya, tepatnya pada 2007, University of Guelph di Kanada sudah melakukan penelitian dengan tema besar “The Effects of Father Involvement: An Updated Research Summary of the Evidence”. Hasil dari penelitian ini menegaskan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memainkan peran yang sangat signifikan terhadap perkembangan anak, baik secara sosial, emosi, fisik maupun kognitif.

Penelitian itu juga memaparkan bahwa anak yang turut diasuh oleh ayahnya sejak dini memiliki kemampuan kognitif lebih baik ketika memasuki usia enam bulan hingga satu tahun. Selain itu, mereka juga memiliki nilai IQ yang lebih tinggi ketika menginjak usia tiga tahun serta berkembang menjadi anak dan individu yang mampu memecahkan permasalahan dengan lebih baik.

Karenanya, keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak seharusnya bukan lagi menjadi pilihan, melainkan kewajiban. Ayah tentu tak harus hadir 24 jam sehari dalam kehidupan sang anak –terutama karena ayah harus pula bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga— tetapi peran aktif ayah dalam menemani tumbuh kembang anak tak boleh lagi dipandang sebelah mata. 

Berikan Kepercayaan pada Ayah

Umumnya, banyak ibu yang berharap agar pasangannya terlibat dalam pengasuhan anak, meski tak sedikit dari mereka yang enggan memberikan kekuasaan penuh pada pola pengasuhan yang diterapkan ayah. Muncul banyak kekhawatiran atau bahkan ketakutan terhadap pola asuh yang diterapkan ayah. Hal ini lantaran ayah lebih memberi kebebasan terhadap anak.

Saat anak bermain lompat-lompatan misalnya, ayah akan cenderung membiarkan anak untuk bereksplorasi, termasuk untuk menerima resiko; jatuh atau pakaian menjadi kotor. Maka tak jarang, anak yang bermain bersama ayah cenderung lebih mudah mengalami luka fisik atau pulang dengan pakaian yang tak lagi bersih.

Hal inilah yang mendorong banyak ibu untuk tak memberikan kepercayaan terhadap ayah untuk ikut mengasuh anak, padahal justru dengan pola asuh yang berbeda ini, anak menjadi lebih mandiri dan berani mencoba hal-hal baru.

Menurut psikolog Rini Hildayani MSi, ada beragam manfaat positif yang dapat dipetik ketika anak dekat dengan ayahnya. Berikut manfaat kedekatan ayah dengan anak beserta penjelasan singkatnya masing-masing:

1. Menjadi Pribadi yang Baik

Kedekatan ayah dan anak dapat membangun kelekatan emosi di antara keduanya. Anak lelaki akan meniru peran ayah dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis dan cara mengasuh anak-anak mereka kelak. Pada anak perempuan, kedekatan dengan ayah menjadi referensi dalam mencari sosok pendamping di masa depan. Kedekatan ayah dan anak juga membuat anak tumbuh lebih mandiri, berani, tangkas, dan luwes.

2. Mengembangkan Soft-skill Anak

Kedekatan ayah juga berperan besar dalam aspek kognisi, motorik, dan keterampilan bersosialisasi. Dari aspek kognisi, ayah dapat melatih daya nalar, daya ingat, wawasan, daya tangkap, dan kemampuan memecahkan persoalan. Ayah berperan dalam melatih cara berteman yang baik dan beradaptasi. Ayah juga dapat melatih anak untuk mematangkan emosinya.

3. Meningkatkan Hubungan Emosional

Anak yang dekat dengan ayahnya akan belajar untuk menghargai dirinya dan orang lain dari bentuk perhatian ayah kepada anaknya. Usahakan ayah selalu menciptakan waktu khusus untuk anak-anaknya.

4. Peran Ayah Penting untuk Masa Depan Anak

Dengan memberikan yang terbaik bagi anak-anak, waktu yang cukup dan berkualitas, kelak anak pun akan memberikan hal yang sama bagi ayah di kemudian hari.

Karenanya, para ibu seharusnya tak perlu terlalu khawatir terhadap pola asuh anak. Sama seperti ibu, ayah juga pasti menyayangi anak-anak mereka, meski kerapkali ditunjukkan dengan cara yang berbeda. Luangkan lebih banyak waktu untuk berdiskusi tentang pola asuh terbaik untuk anak bersama ayah lalu beri ayah kepercayaan dan dorongan untuk turut menemani anak bertumbuh dan berkembang.

Berbagi Peran

Berbagi waktu untuk terlibat dalam mengasuh anak tidak selalu berarti meluangkan separuh waktu bersama anak, untuk ayah yang sangat sibuk hal tersebut tentu bukan perkara mudah. Ayah bisa saja melakukan hal-hal sepele yang sebenarnya bisa membantu meningkatkan kedekatan dengan anak. Misalnya dengan meminta ayah untuk mengganti popok, membacakan buku sebelum tidur, sesekali memandikan, makan bersama dan melakukan aktivitas-aktivitas kecil yang tidak terlalu menyita banyak waktu.

Hal-hal kecil yang dilakukan berulang-ulang akan memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan hal-hal besar yang dilakukan jarang-jarang. Anak pun akan tahu bahwa ayah mereka selalu hadir. Dengan begitu, ikatan antara ayah dan anak akan semakin kuat dengan sendirinya. Selain itu, berbagi peran juga menjadi sarana komunikasi yang baik antara orangtua.

Pembagian peran antara ayah dan ibu di tiap keluarga tentu berbeda-beda, tak semua keluarga memiliki ayah yang bisa pulang setiap hari, tuntutan pekerjaan setiap ayah tentu tak ada yang sama.

Karenanya bisa jadi, anak akan tetap menghabiskan lebih banyak waktu dengan ibu. Dalam kondisi seperti ini, maka ayah harus diberi waktu-waktu tertentu untuk lebih dekat dengan anak.

Saat ayah tak lagi sibuk kerja, pastikan ia menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak. Pastikan pula anak mengerti soal kondisi ini, sehingga anak tak merasa dinomorduakan. Hal ini berlaku pula untuk ayah dan ibu yang sudah tak lagi hidup bersama (bercerai); sisihkan waktu-waktu tertentu yang disepakati untuk tetap mengambil peran dalam pengasuhan anak. anak-anak harus tahu dan merasakan bahwa dalam kondisi apapun, mereka tetap disayangi dan diutamakan.

Tugas yang hanya bisa diemban oleh ibu seorang diri hanyalah melahirkan, sementara pengasuhan harus dilakukan bersama pasangan. Lebih berimbang dan memiliki dampak yang lebih signifikan.[MFR]

Bahagia Tanpa Rasa Bersalah

Mari menjaga kewarasan untuk menciptakan suasana yang bahagia agar suami dan anak-anak juga merasa bahagia karena diasuh dengan bahagia

—— Nurul Intani

Sebagai ibu, istri, menantu, manajer keuangan, pekerja rumahan maupun kantoran, perempuan pun tentu ingin bahagia; menjalani hari dengan senang, enjoy dan tanpa beban. Mengutip Aristoteles (dalam Adler, 2003), happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Secara umum, bahagia adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens.

Bukankah ibu yang bahagia akan membesarkan anak-anak dengan bahagia? Ibu yang bahagia akan menyebarkan energi positif dalam mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, ibu yang tertekan, lelah, kurang piknik, akan menciptakan suasana yang negatif, bahkan tak jarang pengasuhan akan diliputi dengan kemarahan; semua yang dilihat seolah salah dan rasanya hanya ingin uring-uringan saja.

Jelas hal tersebut menjadi tak baik untuk proses mendidik anak-anak. Untuk itu, ibu butuh cara untuk mencapai bahagia. Beberapa di antaranya adalah dengan tak terlalu menyibukkan diri dengan hal-hal yang membuat beban makin menggunung. Abaikan saja perasaan-perasaan yang membuat hati dan pikiran gelisah, sebab dimungkiri atau tidak, terkadang kita sendiri yang menjadikan hal ringan seolah berat, yang mudah seolah rumit. Tidak perlu memikirkan sesuatu yang tidak perlu dipikirkan, menuruti kata orang tidak akan ada habisnya.

Terima Kenyataan

Perubahan status dari lajang lalu menikah dan menjadi ibu terkadang membuat banyak perempuan jetlag, pada kondisi tertentu (sedang sensitif) kita tak sadar menyalahkan kondisi yang berbeda 180 derajat. Dari yang dulu bebas pergi ke mana-mana sendiri, sekarang ke mana-kemana diglendoti anak. Dulu mandi bisa berjam-jam, sekarang boro-boro, bisa mandi aja syukur, he.he. Mencari sela waktu untuk menikmati makan saja sudah sulit.

Merutuki keadaan bukanlah solusi untuk menjadikan hidup kita makin ringan, hidup harus tetap jalan. Caranya? ya terima kenyataan dan mulai membuat strategi dan rancangan baru yang bisa dilakukan dengan kondisi yang sekarang. Jika tetap ingin menjadi ibu pekerja, konsultasikan dengan suami dan sampaikan segala konsekuensinya lalu cari solusi bersama. Begitupun ketika kita memilih menjadi full day mom. Keduanya sama-sama pilihan yang tidak mudah, tapi ketika dikomunikasikan dengan baik, maka kita bisa menemukan win-win solution atas pilihan sulit tersebut.

Terkadang yang rumit adalah pikiran kita sendiri; kita terlalu sibuk memikirkan kata orang. Saat memutuskan tetap bekerja, kita sibuk memikirkan orang-orang yang akan menganggap kita perempuan egois karena hanya mengejar karier, mengesampingkan anak-anak dan suami. Begitupun ketika memutuskan menjadi full day mom, kita dihadapkan dengan identitas diri yang dipandang ‘hanya’, padahal jam kerjanya 24 jam, tanggungannya nggak kira-kira.

Kompak Bersama Pasangan

Ibu yang bahagia biasanya didukung oleh pasangan yang bisa memahami dan mau berbagi. Ketika ayah dan ibu bisa berbagi peran dan menjalankan roda pengasuhan bersama-bersama, pekerjaan ibu akan terasa jauh lebih ringan. Namun masih banyak orang yang tak beranggapan demikian. Secara normatif, masyarakat Indonesia masih menganut pemikiran bahwa tugas ayah adalah mencari nafkah dan ibu mengasuh serta mengurus rumah.

Padahal tugas pengasuhan bisa dilakukan bersama, begitupun urusan rumah, kalaupun kita merasa terbebani, kita bisa mencari asisten rumah tangga untuk meringankan tugas domestik. Tak jarang juga yang memilih membiarkan saja pekerjaan rumah menumpuk dan membereskannya lagi nanti saat mood sudah kembali, dan suami pun mengerti serta tak memaksakan rumah selalu rapi.

Tidak ada yang salah ketika anak-anak bermain dan terjatuh saat berlarian, makan tak beraturan, berhamburan dan mengotori lantai; di usia tertentu anak-anak memang belum cukup memiliki kematangan kemandirian, jadi kita sebagai orang tua harus mengerti, butuh waktu dan proses untuk belajar sampai bisa makan dengan rapi atau anak tak kunjung tidur karena memang belum mengantuk. Namun ini bisa menjadi salah ketika kondisi ibu sedang stres, jenuh dan lelah, anak-anak menjadi nampak salah sehingga memicu rasa marah.

Tak dimungkiri, anak-anak dekat dengan ibu di segala kondisi, baik saat ibu dalam kondisi senang ataupun garang. Kondisi mereka yang lemah dan masih sangat polos sering menjadi tempat pelampiasan meskipun berujung penyesalan. Belum lagi ketika ibu merasa pasangannya kurang bisa mengerti dan enggan berbagi, lagi-lagi anak yang menanggung kegundahan ibu. Bukankah tak ada yang berharap demikian?

Tugas berat ibu sebenarnya adalah mengatur kondisi diri dan mengasuh ‘bayi paling besar’ (bapaknya anak-anak) dengan super sabar. Ketika bersama suami kita sudah bisa saling mengerti, insyaallah keluhan soal berbagi tak akan ada lagi.

Menjaga Kewarasan

Pekerjaan rumah memang tidak ada habisnya, apalagi saat usia anak masih aktif-aktifnya; lagi senang-senangnya lari-larian, main dan makan berantakan, sering tantrum, bertanya ini-itu, dll. Seorang ibu butuh energi lebih untuk tetap menjaga kewarasan, untuk itu me-time sangat diperlukan. Dalam “Me-time, jangan dilewatkan (kompas.com 18-3-2009) dijelaskan bahwa me-time adalah waktu untuk diri sendiri tanpa kehadiran orang lain, sehingga kita bisa beraktivitas sendirian (atau bahkan tidak melakukan apa-apa).

Jenis aktivitasnya bisa sangat beragam, tergantung mana yang membuat seseorang merasa nyaman ataupun senang. Mengingat aktivitas ibu yang super padat, mencari waktu untuk me-time rasanya terlihat tidak mungkin. Bahkan kalaupun mungkin, akan muncul rasa bersalah dalam proses me-time.

Me-time tidak selalu harus dilakukan dengan pergi ke luar, jalan-jalan dan meninggalkan anak-anak dan suami selama beberapa hari atau jam. Me-time tidak melulu dengan belanja-belanja di mall, atau melakukan treatment di salon. Kita bisa melakukan me-time dengan lebih sederhana namun tujuannya terlaksana. Misalnya: bagi saya berlama-lama mandi sore saat anak-anak menikmati bermain bersama ayahnya adalah me-time, apalagi bisa dengan tenang membersihkan lantai dan tembok di kamar mandi tanpa teriakan dan gangguan.

Nampak sederhana tapi saat keluar dari kamar mandi pikiran sudah lebih ringan dan tidak meninggalkan rasa bersalah kepada siapapun. Ibu senang, suami dan anak-anak pun senang karena bisa menikmati waktu bermain bersama sambil meningkatkan bounding. Kita bisa memilih me-time yang tidak menyisakan rasa bersalah setelahnya, bersalah karena dompet terkuras misalnya, atau bersalah karena meninggalkan suami dan anak terlalu lama. Jadi, mari menjaga kewarasan untuk menciptakan suasana yang bahagia agar suami dan anak-anak juga merasa bahagia karena diasuh dengan bahagia.[MFR]

Ibu Bukanlah Ratu

Mengenal manusia sebagai dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.

—–Fitri Handayani

Hari ini, untuk ke sekian kalinya, Fitri terlibat konflik dengan ibunya. Ini adalah konflik panjang yang pasti akan menguras banyak tenaga jika harus diceritakan detailnya. Ibu dan anak ini sudah terlalu sering bertengkar; ada saja yang menjadi bahan bakarnya. Tiap kali pertengkaran terjadi, sang ibu selalu menimpakan kesalahan pada Fitri. Ibu juga tampak mudah saja menimpakan kesalahan pada adik-adik Fitri; dalam segala kondisi, ibu tak pernah salah; selalu anak-anaknya.

Meski begitu, kisah nyata ini tak hendak membahas cerita tentang konfliknya, tetapi justru ingin mendalami dinamika relasi anak yang sudah dewasa dengan orangtuanya. Jatuh-bangun dan pahit-manis dinamika hubungan orangtua—anak adalah masalah universal yang harus dihadapi oleh semua orang. Suka atau tak suka. Cepat ataupun lambat. Setidaknya, tulisan ini adalah analisis dari sudut pandang atas keadaan yang dialami oleh Fitri.

Pola asuh kebanyakan orangtua seringkali hanya meneruskan warisan nilai-nilai dari orangtua mereka sebelumnya. Padahal belum tentu pola asuh itu adalah pola terbaik untuk tumbuh kembang anaknya, yang masing-masingnya unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sayangnya, pola asuh ala “warisan” itu berlangsung dari generasi ke generasi. Termasuk pada kita saat kebagian giliran menjadi orangtua.

Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut meninggalkan trauma. Belitan trauma akibat pola asuh masa kecil bisa mencengkeram seseorang meski usianya sudah lanjut. Tak pernah benar-benar selesai. Mungkin itu pula yang terjadi pada ibu Fitri. Sejak kecil, Fitri adalah tipe anak yang frontal, lebih suka speak up daripada memendam rasa; sangat vokal menyuarakan kehendak. Hal ini tentu bertentangan dengan pola asuh orangtuanya yang diktator, yang memaksa anak untuk menurut meski tak rela.

Tak jarang, deraan siksa fisik dialamatkan ke tubuh Fitri dan adik-adiknya jika mereka dianggap bersalah. Apa saja yang sedang nampak di pandangan, bisa rotan kemoceng, gayung, selang, semua sudah pernah kami rasakan sakit dan perihnya. Fitri menginginkan dialog, orangtuanya inginnya menekan. Maka begitu Fitri merasa menemukan seseorang yang dia rasa bisa memerdekakannya, dia tak ragu untuk memutuskan menikah di usia muda, 22 tahun. “Lari” dari kungkungan orang tua.

Hidup rumah tangga Fitri tak pernah mudah, tapi dia merdeka. Fitri merasa benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri, berkompromi dalam banyak hal, meski kadang tak memungkiri banyak pertengkaran.  Fitri dan suami adalah pribadi yang sama-sama kuat. Tapi Fitri bebas, tak lagi merasa tertekan.  Di rumah tangganya itu, Fitri bisa berdiskusi apa saja, bertengkar tentang apa saja tanpa merasa terintimidasi karena apapun yang terjadi, Fitri merasa tetap dimanusiakan.

Aspek lainnya lagi adalah kejujuran yang utuh dan lengkap dalam relasi orangtua dan anak. Seringkali, karena takut sekali dicap sebagai anak durhaka, tekanan normatif dari lingkungan, dsb, kita, para anak, memilih untuk tidak terbuka seratus persen pada orangtua. Akibatnya, sebagai anak kita tetap tidak bisa menunjukkan otentisitas sebagai individu, dan orangtua pun terus ‘terperangkap’ dalam ilusi bahwa anaknya, mau berapa pun usianya sekarang, bahkan ketika uban sudah mulai menghiasi kepalanya, tetaplah Gendhuk dan Thole yang harus terus menerus dikendalikan, dipaksa menuruti kehendak dan terus menerus diawasi.

Padahal ketika anaknya punya masalah berat, orang tua cenderung abai; tak mengulurkan tangan, tak memberi solusi untuk membantu kesulitan, malah memberi masalah baru. Padahal jika tak bisa membantu, orang tua cukup diam dan mendoakan saja, itu lebih dari cukup. Fitri, sebagaimana juga banyak anak lainnya, pasti tak ingin orangtuanya terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Terlebih tentang keputusan-keputusan yang sifatnya besar dan pribadi.

Pagi tadi, usai pertengkaran hebat itu, Fitri menyadari; relasi hubungannya dengan ibu mengalami pergeseran; perubahan peran “anak” dan peran “orang tua” menuju individu-individu yang real, sejajar, dan apa adanya.

Kita jarang atau bahkan tak pernah mengenal orangtua kita sebagai manusia per se. Tentang sosok ibu sebagai manusia biasa, yang terikat embel-embel sebagai sosok yang mengandung kita, menyusui kita, melindungi kita, dsb. Sebaliknya, orangtua kita pun jarang, bahkan mungkin tak pernah, mengenal anak-anaknya sebagai manusia saja, bukan properti yang menyejukkan mata, sosok yang saleh/saleha, yang berguna bagi nusa dan bangsa, dst. Semua predikat tadi memang terdengar luhur dan mulia, tapi juga membius, melenakan dan membebani jika kita terus terjebak di dalamnya.

“Saya ini anak yang besar di luar rumah,” begitu kata Fitri tiap kali dia berusaha menguatkan dirinya sendiri. Nyatanya memang begitu. Sebagai anak yang dikenal paling cuek di antara tiga bersaudara, Fitri memang menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Segala macam kegiatan di luar rumah dia ikuti. Mulai dari menjadi bagian dari remaja masjid, kelompok ilmiah remaja, pencak silat, menari, OSIS, bermusik dan nyanyi, dkk. Fitri serius menekuni hampir semua kegiatan yang dia ikuti, utamanya menyanyi, hingga seringkali dia punya uang sendiri atas hasil menyanyi di berbagai kesempatan.

Semua itu dia lakukan untuk mengambil jarak dengan orangtua. Fitri merasa nyaman berada di luar rumah, jauh dari orang tuanya. Di luar rumah, Fitri mendapatkan apresiasi atas prestasi dan pencapaian yang ia peroleh. Sementara di rumah, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali orang tuanya memuji. Fitri justru akrab dengan berbagai cercaan dan kata-kata kasar karena dianggap tak cukup membuat bangga orangtua. Di rumah, Fitri dianggap pemalas sebab tak menyapu rumah, tak cuci piring, dst.

Selama bertahun-tahun, banyak jawaban dan alasan yang sudah ia renungi. Namun hari ini, renungan itu kian menggenap. Fitri sepertinya sadar, konflik yang seringkali pecah dengan sang ibu semata-mata terjadi karena ia belum mengenal ibunya (bapaknya sudah lama wafat) sebagai manusia —titik. Dan yang paling menyakitkan adalah, setiap kali Fitri ingin mengenal sang ibu, dia selalu terbentur dengan tembok tebal yang diciptakan oleh aneka peran yang dimainkan ibu dalam hidupnya. Ditambah lagi dengan tameng dari posisi Fitri sebagai anaknya.

Selama Fitri hidup, dia hanya mengenal perempuan yang telah melahirkannya itu sebagai ibu. Fitri tidak kenal perempuan itu sebagai sosok dengan nama lain. Dan sebaliknya, Fitri pun merindu dan meradang untuk ia kenali sebagai manusia—saja. Bukan semata sebagai anak sulungnya yang hobi menulis dan menyanyi. Fitri ingin dilihat ibu dengan apresiasi atas segala tingkah-polahnya yang juga sudah bertransisi menjadi perempuan dewasa, lengkap dengan segala konflik, jatuh bangun dengan trial and error dan pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut. Dalam empat puluh enam tahun mereka berinteraksi, keduanya belum sempat menanggalkan topeng-topeng sebagai ibu dan anak, saling bergandeng tangan, berpelukan atau sekadar mengerti satu sama lain sebagai dua individu yang otentik, yang sejajar, yang real. Mereka belum bertransisi dari ibu dan anak menjadi manusia dan manusia, dengan segala kurang dan lebihnya.

Usai perenungan ini, Fitri meneguhkan tekad dalam diri, persembahan terbaik yang kelak bisa dia berikan bagi anaknya dan manusia di sekelilingnya adalah dikenali sebagai manusia. Mungkin tak selamanya berujung indah, tapi mengakui otentisitas antarjiwa sebagai manusia adalah satu-satunya jembatan antarhati yang tulus dan jujur. Hanya dengan demikian kita benar-benar tahu rasanya “dihargai”. Dan sungguh, itu adalah pengalaman yang nyaris punah, yang dia sendiri hingga kini masih berjuang mendapatkannya dari sang ibu.

Selama ibu dan anak masih bersembunyi dan terperangkap dalam topeng-topeng peran, selama itu pulalah interaksi yang terjadi hanya sebatas kewajiban dan tampak indah di permukaan. Hanya terjadi karena kondisi mengharuskan demikian. Seiring berjalannya waktu, bisa saja merasakan cinta, kedamaian, keindahan, dan perasaan positif lainnya. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu semua.

Fitri, dan barangkali kita semua, tak tahu apakah hingga maut menjemput nanti, dia dan ibu masih memiliki kesempatan untuk dapat menanggalkan tembok-tembok peran dan bertransisi menjadi manusia saja, tanpa tembok-tembok itu lagi. Sungguh dia tak tahu sebab untuk ini, diperlukan kemauan dan usaha dari kedua belah pihak. Sementara ibu selalu menganggapnya dan adik-adiknya adalah anak-anak yang tak tahu diri. Ibu sanggup dan punya segudang koleksi cercaan untuk merendahkan mereka hingga ke titik nadir kemanusiaan jika mereka berselisih pendapat.

Mengenal manusia sebagai dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.[MFR]