Eklektisisme Kiai Sadrach

Pada akhirnya “Kebenaran” itu laiknya mentari dan manusia hanya dapat menangkap bayangannya pada lautan, telaga, sungai atau bahkan pada nyala di sepasang matanya sendiri.

Heru Harjo Hutomo

Di Jawa tampaknya agama tak pernah hadir sebagai sebuah ganjalan untuk mencari sebuah “kebenaran.” Mulai dari Ronggawarsita yang selain mesantren dan berguru pada Kanjeng Kiai Kasan Besari juga berguru pada para penganut kapitayan (penghayat kepercayaan—red) dan spiritualis Hindu (Ajar); R.P. Natarata yang selalu mempertanyakan dan berpolemik dengan kepercayaan-kepercayaan lainnya—sampai dia menemukan jawaban atas pengarahan Sayyid Oidrus di Betawi dan seorang kiai khos di Surabaya—; dan Kiai Sadrach yang selain mesantren di Tebuireng juga pernah berkontak dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung yang akhirnya membabarkan apa yang disebut sebagai Kristen Jawa di Karangjoso, Purworejo. Semuanya ini seperti membuktikan tesis M.C. Ricklefs bahwa di Jawa agama pada dasarnya hadir lebih sebagai spiritualitas. Sejarawan yang baru saja meninggal dunia itu menamakan fenomena ini sebagai “mistik sintesis” (Polarizing Society: Islamic and Other Visions [C. 1830-1930], 2007).

Dengan segala divergensi sosok Kiai Sadrach itu, dalam kacamata saya, dia seperti seorang pemimpin sebuah tarekat. Sebagian tradisi protestan, sejauh yang saya tahu, melarang adanya ikonoklasme, tapi Kiai Sadrach justru menaruh cakra manggilingan bumi (lit. roda yang terus berputar—red) dan pasopati (senjata andalan Arjuna—red) di pucuk mustaka gerejanya yang berarsitektural laiknya sebuah masjid. Senjata cakra adalah senjata khas para titising Wisnu dan pasopati adalah lambang jumbuh-nya (keselarasan—red) Arjuna dengan Bathara Guru. Dahulu kala dalam jagat pewayangan terdapat dua lakon wayang yang dikategorikan kasepuhan: Dewa Ruci dan Ciptaning. Dan di masa lalu dua lakon wayang kasepuhan ini dipilih oleh dua gagrak (model—red) besaryang secara politik-kebudayaan merujuk ke keraton tertentu: Dewa Ruci dipilih Surakarta dan Ciptaning dipilih Ngayoyakarta—meskipun di hari ini keduanya tak lagi menjadi perdebatan.

Dalam sejarah Islam sendiri ada banyak sosok divergen dengan segala variannya, al-Hallaj yang konon terpengaruh ajaran Hindu dengan konsep hulul-nya yang dalam catatan Massignon kerap tak berbusana laiknya ulama Islam (Al-Hallaj Sang Sufi Syahid, 2001). Dia pun memiliki beberapa murid di India dan disebut sebagai “Pir” oleh masyarakat setempat yang setara dengan istilah mursyid dalam tarekat. Adapula, di nusantara, seorang Ronggawarsita yang tak hanya pernah terkenal sebagai seorang santri, tapi juga seorang yang salah satu karyanya, Wirid Hidayat Jati, menjadi kitab sakral para anak murid Ki Ageng Djoyopoernomo di Temuguruh (Perang Jawa Sebagai Tonggak Historis Islam Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Apalagi di masa kolonial Belanda, tak lazim para penduduk memiliki secarik kartu identitas yang memuat pula kolom agama di dalamnya sebagaimana sekarang, di mana divergensi pada akhirnya adalah suatu hal yang lumrah. Dalam salah satu catatannya, Abdurrahman Wahid pernah mengetengahkan tilikannya atas karakteristik orang-orang nusantara di masa silam dan menyebutnya sebagai sebentuk “eklektisisme yang produktif” (Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan, 2007).

Kiai Sadrach, tak pelak lagi, adalah salah satu sosok yang saya kira juga eklektik. Dia hadir sebagai seorang pengembara spiritual, dari seorang santri di Tegalsari dan Tebuireng hingga menjadi seorang penginjil yang secara kultural menata para pengikutnya laiknya masyarakat pedesaan: gereja yang berbentuk seperti masjid, sarung dan kualitas diri sebagaimana lazimnya orang yang dianggap sebagai sesepuh di pedesaan Jawa. Tentu dari kalangan Kristen sendiri divergensi ini bukan tanpa masalah mengingat puritanisme yang kuat dalam tradisi Protestan.     

Ruang ambang yang dipijak oleh Sadrach dan para pengikutnya memang terlihat tak mudah untuk dihidupi. Di satu sisi, mereka adalah orang Jawa yang lekat dengan kejawaannya. Di sisi lain, mereka adalah penganut Protestan yang waktu itu identik dengan kolonialisme Belanda. Sementara dari sudut pandang keyakinan, mereka adalah pemeluk iman kristiani, tapi ekspresi kehidupan keseharian mereka seperti halnya masyarakat muslim pedesaan Jawa pada umumnya: bentuk arsitektural dan penyebutan gereja sebagai “mesjid” serta sarungan sebagai bentuk busana keseharian—meskipun mereka tak mempraktikkan tradisi ruwahan dan ziarah kubur laiknya masyarakat pedesaan Jawa.

Terkadang, saya berpikir, bahwa pada akhirnya “Kebenaran” itu laiknya mentari dan manusia hanya dapat menangkap bayangannya pada lautan, telaga, sungai atau bahkan pada nyala di sepasang matanya sendiri.

Disclaimer: Tulisan ini pernah terbit dengan judul “Kyai Sadrach dan Divergensi” di portal https://jurnalfaktual.id. Diterbitkan ulang di laman ini seizin penulis.  

Telusur Islam Kediri (3): Kiai Sholeh Banjarmlati Buang Kanuragan demi Pesantren

Makam Kiai Sholeh Banjarmlati

Kiai Sholeh khawatir ilmu kesaktian justru kelak akan membuat anak-cucu beliau dihinggapi rasa congkak dan takabur sehingga jauh dari rida Allah SWT.

Saiful Mujab

Tulisan ini akan mengulas sejarah singkat para wali dan ulama penyebar dakwah Islam di wilayah Kediri. Catatan ini sekaligus menyambung tulisan terdahulu dalam rubrik #TelusurIslamKediri yang tayang dalam laman resmi prodi SAA IAIN Kediri.  

Penulis sendiri sangat senang dengan inisiasi dan antusiasme keluarga besar SAA-IAIN Kediri untuk menelusuri dan mengenal lebih dekat para kekasih Allah. Ini adalah upaya kecil memuliakan mereka dengan meneladani sirah hidup mereka. Semoga kita semua senantiasa mendapat berkah dan curahan kemuliaan mereka semua, sebagaimana sabda Nabi SAW:  “Muliakanlah ulama (orang-orang yang memiliki ilmu syariat/agama dan mengamalkannya, mereka baik ucapan dan perbuatannya) karena sungguh mereka menurut Allah adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan (di kalangan malaikat).”

Sebagian besar mereka yang tinggal di wilayah Kediri Raya pasti sudah akrab dengan nama-nama para kiai masyhur yang berhasil mencetak banyak generasi ulama berpengaruh di penjuru Indonesia. Sebut saja, misalnya, Kiai Abdul Karim-Lirboyo, Kiai Dahlan (ayahanda Syekh Ikhsan) Jampes, Kiai Ma’ruf-Kedunglo, Kiai Fadil-Bathokan-Petok, Kiai Ya’kub-Lirboyo, Kiai Ibrahim-Banjarmelati, Kiai Muhammad-Bandarkidul, Kiai Mansyur-Sumberpucung Blitar dan masih banyak lagi. Tentu saja semua tokoh ini dulu pernah muda dan mengalami masa-masa penggemblengan diri di bawah arahan guru yang mumpuni.

Kiai Sholeh-Banjarmelati adalah satu figur sentral di balik nama harum para kiai besar di atas. Kiai Sholeh sendiri merupakan salah satu pendiri pesantren tertua di Kota Kediri. Beliau masih keturunan dari Syekh Abdul Mursyad-Setonolandean (Tokoh auliya’ awal penyebar dakwah Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya).

M. Solahudin, dalam tulisannya Napak Tilas Masyayyikh: Biografi 15 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura, menjelaskan bahwa Kiai Sholeh terkenal sangat alim dan wira’i (berhati-hati dari dosa kecil) di masanya. Beliau hidup sekurun dengan Syaikhona Kholil-Bangkalan dan Syekh Nawawi-Banten; beliau juga sangat akrab dengan Hadratush Syekh K.H. Hasyim Asy’ary-Tebuireng.

Kealiman dan semangat syiar Islam pada diri Kiai Sholeh diwarisi dari para leluhurnya, yang juga terkenal gigih dan istikamah memegang ‘dakwah Islam’ sebagai prinsip hidup. Silsilah Kiai Sholeh sendiri bermula dari Nyai Rofi’ah binti Nyai Musyarofah binti Kiai Zainal Abidin bin Mbah Ali Ma’lum bin Mbah Anbiya’ bin Mbah Abdurrahman bin Kiai Anom Besari-Caruban bin Syekh Abdullah Mursyad-Setonolandean.

Kiai Sholeh, selain terkenal dengan kealiman syari’at-nya, juga sangat disegani oleh masyarakat karena kehebatan kanuragannya. Yang demikian tidak mengherankan kalau kita menilik leluhur beliau: Syekh Abdul Mursyad. Selain dikenal sebagai pendiri padepokan yang mengkaji ilmu syariat Islam, Syekh Mursyad juga adalah ulama yang disegani para lawannya karena kesaktiannya yang mandraguna. Ilmu kanuragan memang pada saat itu telah menjadi media penting dakwah Islam ditengah banyaknya tantangan dari para tokoh-tokoh yang menolak penyebaran agama Islam.

Namun demikian, Kiai Sholeh dalam perjalanan hidupnya memutuskan agar para keturunan beliau tidak lagi menjadi orang sakti atau menguasai ilmu kanuragan. Kiai Sholeh khawatir ilmu kesaktian justru kelak akan membuat anak-cucu beliau dihinggapi rasa congkak dan takabur sehingga jauh dari rida Allah SWT. Menurut cerita tutur lisan yang penulis dapat ketika berziarah di makam beliau di Banjarmelati, Kiai Sholeh konon melarung seluruh pusaka dan benda-benda keramat yang beliau warisi dari leluhurnya di Sungai Brantas – Kediri. Kiai Sholeh kemudian mendidik putra dan putrinya menjadi generasi yang khusus mempelajari ilmu syariat dan tasawuf. Ketekunan dan kegigihan Kiai Sholeh membuahkan hasil; terbukti putra-putrinya kelak menjadi para figur penting di balik berdirinya pesantren-pesantren terkemuka penyebar khazanah keilmuan Islam.

Kiai Sholeh dikarunia 11 orang anak. Mereka adalah: 1. Nyai Hasanah, menikah dengan Kiai Ma’roef-Kedunglo; 2. Nyai Anjar, menikah dengan Kiai Fadhil-Bathokan-Petok; 3. Nyai Artimah, menikah dengan Kiai Muhammad Dahlan-Jampes; 4. Kiai Muhammad-Bandarkidul; 5. Nyai Nafisah, menikah dengan Kiai Mansyur-Kalipucung-Blitar; 6. Nyai Dlomroh atau Nyai Khadijah, diperistri oleh Kyai Abdul Karim-Lirboyo; 7. Kiai Rofii (wafat di Makkah); 8. Kiai Ya’kub-Lirboyo; 9. Kyai Asyari-Sumbercangkring-Gurah; 10. Kiai Abdul Haji-Banjarmelati; dan 11. Kiai Ibrahim-Banjarmelati.

Perlu diketahui bahwa kesebelas putra-putri Kiai Sholeh Banjarmelati tersebut adalah para muasis atau perintis sejumlah pesantren terkemuka di Kediri dan sekitarnya. Keberhasilan Kiai Sholeh dalam mendidik mereka merupakan pencapaian yang agung baik sebagai orang tua sekaligus ulama. Anugerah keturunan yang sangat baik (zurriyatan thayyiban) adalah perlambang kedudukan mulia beliau di sisi Allah SWT.

Semoga kita semua mendapat keberkahan dari sinar karamah beliau melalui wasilah mengenal dan mencintai beliau, Kiai Sholeh-Banjarmelati. [MFR]

Telusur Islam Kediri (2): Jejak Dakwah Syekh Abdul Mursyad Setonolandean

Para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Ulama dan para auliya’ memiliki peranan yang sangat signifikan dalam proses dakwah Islam di berbagai wilayah, termasuk sudut-sudut daerah di tanah Jawa. Peran para wali dan ulama seperti tokoh Walisongo beserta keturunan dan santri-santrinya telah memegang kendali yang sangat vital dalam laju tumbuh dakwah Islam di tanah Jawa. Begitu penting peran ulama dan para wali, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Para ulama adalah pewaris para Nabi terdahulu”.

Di tanah Kediri, tepatnya di Komplek Pemakaman Setonolandean, kurang lebih 5 KM dari desa Mrican-Kota Madya Kediri-Jawa Timur, terdapat makam waliyullah dan penyebar Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya: Syekh Abdul Mursyad. Beliau, menurut keterangan dari silsilah yang diterbitkan oleh Yayasan Kemanusiaan pimpinan Abu Mansur, dari garis ayah masih memiliki garis keturunan dengan Raden Patah-Demak. Beliau juga adalah salah satu dari putera Pangeran Demang II-Ngadiluwih. Kakeknya dikenal sebagai Pangeran Jalu alias Pangeran Demang I Setonogedong.

Kalau dirunut ke atas, silsislah Syekh Mursyad, menurut versi ini, adalah buyut dari Raden Panembahan Wirasmoro-Setonogedong, putera Sunan Prawoto, putera Sultan Trenggana, putera Raden Patah-Demak. Tanggal pasti masa hidupnya belum bisa diketahui secara meyakinkan, namun kemungkinan besar pada masa antara Demak akhir atau abad ke XV- XVI.

Versi lain mengenai garis keturunan Syekh Mursyad menjelaskan bahwa silsilah beliau berujung bukan kepada keturunan Kerajaan Demak, tetapi pada kerajaan Mataram Islam. Berdasarkan tulisan KH. Busrol Karim A Mughni (2012), Syekh Mursyad adalah keturunan dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dua versi yang berbeda mengenai silsilah Syekh Abdul Mursyad tersebut disebabkan memang minimnya sumber tertulis dan bukti fisik guna melacak kepastian garis keturunan dari beliau. Tetapi secara garis besar, kemungkinan silsilah dari Syekh Abdul Mursyad dapat disimpulkan pada dua versi tersebut. Guna memastikan kepastian kebenaran dari salah-satunya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut.

Selain silsilah, ada hal yang menarik yang berkaitan dengan makam Syekh Mursyad, berdasarkan tulisan dari Sigit Widiatmoko dan Alfian Fahmi, “Islamisasi di Kediri: Tokoh dan Strategi Islamisasi.”  Makam beliau sebelumnya berada di kawasan pabrik gula Merican. Artinya, makam Syekh Mursyad yang berada di Setonolandean merupakan hasil pemindahan dari lokasi pabrik gula Merican.

Bahkan hingga sekarang, pada bekas makam yang terletak di bawah cerobong asap pabrik gula tersebut masih tersisa sebuah bangunan kecil yang masih dijaga keberadaanya hingga kini; bangunan kecil ini sekaligus sebagai tanda bekas lokasi makam Syekh Abdul Mursyad yang pertama. Pemindahan makam Syekh Mursyad tersebut dipicu adanya proyek pembangunan oleh kanal pabrik gula Merican pada sekitar tahun 1900-an.

Dalam hal strategi dakwah Islam, Syekh Abdul Mursyad menggunakan dua jalur, yakni jalur pendidikan dan jalur kesenian. Jalur pendidikan di sini diartikan bahwa semasa hidup Syekh Mursyad pernah merintis dan mendirikan sebuah perguruan atau padepokan untuk mengajarkan ilmu agama dan ilmu kanuragan. Berawal dari padepokan tersebut, muncullah tokoh-tokoh kunci penyebar agama Islam di berbagai wilayah tanah Jawa yang muncul dari proses pendidikan Islam yang beliau rintis.

Sebagian tokoh tersebut adalah para murid dan keturunan beliau yang telah terbukti banyak menjadi muassis pesantren dan tokoh penting syiar Islam, seperti Ki Anom Besari (Caruban-Madiun), Kyai Hasan Besari (Ponorogo), Kyai Abdul Rahman, Kyai Nur Syaiq, Kyai Sholeh (Banjarmelati-Kediri), Syech Basyaruddin (Tulungagung), dll. Perlu dicatat, para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Jalur kedua dari dakwah Syekh Abdul Mursyad adalah metode kesenian; Syekh Abdul Mursyad diyakini sebagai pelopor tumbuhnya kesenian jemblung—seni bercerita dan mendongeng—yang zaman dulu sangat lekat dengan kebudayaan lokal Kediri dan sekitarnya. Syekh Mursyad memodifikasi kesenian ini sedemikian rupa, terutama dalam hal cerita dan lakonnya. Kesenian jemblung ini juga digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat Kediri agar tertarik masuk agama Islam dengan suka gembira dan tanpa paksaan. Strategi Syekh Mursyad dalam memanfaatkan kesenian jemblung adalah strategi yang umum dipakai terutama oleh Walisongo, seperti Sunan Bonang dengan kesenian Bonang-nya dan Sunan Kalijaga dengan kesenian wayangnya.

Demikianlah kehalusan dan kegigihan dakwah yang dilakukan oleh seorang tokoh penyebar Islam di wilayah Kediri, yaitu Syekh Abdul Mursyad. Kegigihan beliau membuahkan harum semerbak ajaran Islam yang mengakar kuat dan  tersebar di berbagai plosok wilayah Kediri dan daerah-daerah lain sekitarnya. Untuk mengenang jasa dan perjuangan beliau di dalam merintis dakwah Islam, penulis mengajak para pembaca yang budiman guna menghadiahkan fatihah kepada beliau, lahul fâ-Tihah. Wallâhu a’lam.[MFR]

Didi Kempot dalam Perjuangan Melawan Stereotip Gender

Muhamad Fauzi Zakaria*

Sumber Gambar: http://beritatrans.com


Laki-laki kerap diasosiasikan sebagai pribadi kuat, pengayom bagi perempuan, pantang menangis, tegas, dan seorang pemimpin. Inilah dimensi yang berhasil disentil oleh Didi Kempot dalam lagu-lagu patah hati, seperti Sri Minggat, Bojo Anyar, Kalung Emas, Sewu Kutho. Lagu-lagu ini syarat dengan pesan bahwa laki-laki juga lemah, bisa menangis, merindu, gundah, terpuruk saat menghadapi duka ditinggal kekasih.

Tanggal 5 Mei 2020 mungkin menjadi tanggal yang akan terus dikenang oleh Sobat Ambyar (sebutan untuk penggemar Didi Kempot) di seluruh dunia. Pasalnya tepat pada tanggal tersebut, penyanyi yang terkenal dengan tembang Cidro-nya ini menghembuskan nafas terakhir Di RS. Kasih Ibu, Solo Jawa Tengah pada usia 53 tahun.

Didi Kempot, yang bernama asli Dionisius Prasetyo, merupakan penyanyi kelahiran Solo, 12 Desember 1966. Dia memulai debutnya sebagai penyanyi bergenre campursari modern pada era dekade tahun 1980-an. Bersama kawan-kawannya di Kelompok Pengamen Trotoar (KEMPOT), ia mengawali karir gemilangnya dari aktivitas mengamen di terminal-terminal. Mulai dari kota Solo, Jogja, hingga Jakarta pernah dia jajaki untuk menyalurkan hasratnya di bidang seni tarik suara tersebut.

Era 1980 dan 1990-an yang disesaki oleh musisi pop berbahasa Indonesia seperti Broery Pesolima, Crisye, Tomi J Pisa, Franky Sahilatua, Faris RM, dan banyak masih lagi tidak lantas membuat sosok Didi Kempot kepincut untuk sama-sama bergelut dalam euforia musik pop yang saat itu sedang hits. Alih-alih menjadi musisi pop, Didi Kempot justru memilih jalur campursari berbahasa Jawa sebagai jalur kariernya. Perjuangan Didi Kempot dalam blantika musik Indonesia terbukti menuai hasil saat lagunya berjudul Cidro berhasil membawanya ke Suriname pada tahun 1993. Kesuksesan tersebut terus disusul dengan meledaknya balada Stasiun Balapan (1999), bahkan dia juga pernah membuat video klip Layang Kangen di Rotterdam Belanda. Total lebih dari 800 judul lagu pernah ia tulis dengan nuansa patah hati sehingga di masa puncaknya yang kesekian (2019) dia mendapat julukan The God Father of Broken Heart.

Lagu-lagu Didi Kempot diyakini ampuh sebagai ruang kontemplasi diri saat diterpa sendu putus dari kekasih. Saking sendunya, Agus Mulyadi dalam tulisannya “Selamat Jalan, Didi Kempot, Bapak Patah Hati Kami” di Mojok.co menulis “Hanya lewat lagu Didi Kempot-lah, seseorang bisa patah hati, tanpa perlu jatuh cinta.” Sebuah idiom singkat itulah yang kemudian membawa saya kepada ketertarikan mengaitkan lagu-lagu patah hati yang fenomenal dari tokoh maestro Didi Kempot kepada isu kesetaraan gender yang akhir-akhir ini ramai didengungkan dan dikaji dalam banyak kesempatan diskusi daring, terlebih pasca Hari Kartini, tanggal 21 April kemarin.

Mansour Fakih dalam bukunya, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2013), mengungkap masih banyaknya ketimpangan berbasis gender. Ketimpangan yang terjadi dipicu oleh kultur budaya patriarki yang terlanjur mengakar hingga sulit dibedakan antara seks dan gender. Seks dapat dipahami sebagai jenis kelamin bawaan yang bersifat biologis: Seks umumnya dibagi dalam dua kategori: laki-laki dan perempuan; laki-laki dengan penis, jakun, serta memproduksi sperma, sedangkan perempuan dengan sel telur, rahim, vagina, serta payudara. Seks berbeda dari gender. Secara singkat, gender dapat dipahami sebagai konstruksi sosial hasil internalisasi dan eksternaliasi dari suatu objek yang dalam konteks ini adalah peran laki-laki dan perempuan.


“Perempuan hanya diberi peran domestik seperti mengurus rumah tangga dan merawat anak, atau dalam istilah lain perempuan hanya diberi ruang “kasur, dapur, sumur” saja. Di sisi lain, laki-laki memiliki ruang yang lebih bebas untuk berkehendak. Parahnya, konstruksi ini telah dianggap sebagai kodrat ilahi yang tak bisa diganggu-gugat.”

Dalam kondisi masyarakat patriarki, laki-laki adalah seorang yang maskulin sehingga memiliki peran lebih daripada perempuan yang feminin. Hasilnya, konstruksi patriarkis yang dibangun puluhan hingga ratusan tahun menjadikan pembagian peran yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya diberi peran domestik seperti mengurus rumah tangga dan merawat anak, atau dalam istilah lain perempuan hanya diberi ruang “kasur, dapur, sumur” saja. Di sisi lain, laki-laki memiliki ruang yang lebih bebas untuk berkehendak. Parahnya, konstruksi ini telah dianggap sebagai kodrat ilahi yang tak bisa diganggu-gugat.

Masyarakat seolah membentuk hierarki imajiner dengan laki-laki pada puncak teratas dan teragung, sementara perempuan makhluk kelas kedua. Jika dalam berbagai artikel tentang kesetaran gender perempuan dipandang sebagai korban yang dirugikan, maka saya mencoba melihat dampak konstruksi patriarki atas laki-laki.

Laki-laki kerap diasosiasikan sebagai pribadi kuat, pengayom bagi perempuan, pantang menangis, tegas, dan seorang pemimpin. Inilah dimensi yang berhasil disentil oleh Didi Kempot dalam lagu-lagu patah hati, seperti Sri Minggat, Bojo Anyar, Kalung Emas, Sewu Kutho. Lagu-lagu ini syarat dengan pesan bahwa laki-laki juga lemah, bisa menangis, merindu, gundah, terpuruk saat menghadapi duka ditinggal kekasih.

Walaupun tidak secara signifikan, Didi Kempot menurut saya telah mencoba mengikis standard moralitas patriarki yang kaku. Tidak semua laki-laki harus selalu kuat dan tidak semua perempuan itu lemah. Ruang-ruang gender yang seyogyanya bisa menjembatani kepentingan laki-laki dan perempuan secara simultan, setara, dan saling mengisi harusnya dapat memberi kebebasan tanpa bayang-bayang stigma negatif yang menghantui setiap saat. Laki-laki yang menangis dan perempuan yang memimpin rapat direksi bukanlah aib yang perlu mendapat stigma negatif. Kesetaraan gender menawarkan kemerdekaan bagi peran perempuan dan laki-laki secara setara agar keduanya bisa hidup berdampingan saling melengkapi.

Selamat jalan Maestro. Walaupun Kami Ambyar, Doa Kami Tetap Sumebyar.

Muhamad Fauzi Zakaria* adalah mahasiswa SAA-2017 IAIN Kediri

KH. Imam Basyari, Guru Besar Pertama IAIN Kediri: Kesaksian Seorang Murid

Mohamad Zaenal Arifin*

Foto penulis saat ujian skripsi bersama Prof. KH. Imam Basyari (koleksi pribadi)

“Tulisan ini hanyalah sekelumit ikhtiar untuk merangkai kepingan sejarah IAIN Kediri yang sampai saat ini masih berserakan di mana-mana. Tujuannya jelas bukan untuk men-glorifikasi tokoh-tokoh tertentu, tapi sebagai pembelajaran bagi generasi muda di kampus ini.”

Keberadaan IAIN Kediri menyimpan sejarah panjang yang sayang kalau hanya disimpan dalam bentuk tradisi lisan. Dokumentasi kesejarahan IAIN Kediri dalam bentuk tulisan bisa menjadi rekaman berharga yang bisa terus diputar dan dibisikkan ke telinga para generasi muda IAIN Kediri. Sejarah bisa menjadi sarana membangun ikatan batin dengan para pendiri dan tokoh pelatak dasar keilmuan IAIN Kediri. “Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta,” begitu kata Kuntowijoyo. Tulisan ini hanyalah sekelumit ikhtiar untuk merangkai kepingan sejarah IAIN Kediri yang sampai saat ini masih berserakan di mana-mana. Tujuannya jelas bukan untuk men-glorifikasi tokoh-tokoh tertentu, tapi sebagai pembelajaran bagi generasi muda di kampus ini.


KH. Imam Basyari adalah sosok yang kritis, terlihat dari kesenangan beliau yang selalu mengajak diskusi apabila bertemu sesama kolega/dosen terkait beberapa hal. Selain itu beliau juga sering memberikan kritik berupa catatan pinggir-semacam syarah-apabila ada pendapat yang menurut beliau kurang pas.

Di antara banyak kepingan sejarah IAIN Kediri, sosok Prof. KH. Imam Basyari sangat pantas untuk diulas. Selain sebagai Guru Besar Bahasa Arab STAIN Kediri, beliau punya kontribusi besar dalam melahirkan alumni-alumni yang nantinya mengabdikan diri di kampus yang sama. Selain kiprahnya di STAIN Kediri dulu, beliau juga termasuk tokoh pengusul bagi berdirinya Universitas Islam Tribakti (UIT) Lirboyo yang selanjutrnya bertransformasi menjadi Institut Agama Islam (IAI) Tribakti Lirboyo (Ali Anwar, 2002: 74). Beliau juga sosok penting bagi lahirnya Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal di Wonodadi Blitar.

Secara akademik, KH. Imam Basyari sangat lekat dengan dua karyanya yang hingga kini terus menjadi rujukan dalam pembelajaran Bahasa Arab. Pertama adalah Kamus Lengkap Ulil Albab: Indonesia-Arab (CV Karya Utama, 1987). Kamus ini sangat berguna bagi mereka yang menulis dalam bahasa Arab. Karya kedua adalah Al-Qur’an al-Kariim: Wa Tarjamatu Ma’anihi ila al-Lughah al-Indonesiyyah al-Nafiisah. Karya ini adalah disertasi beliau untuk memeroleh gelar Guru Besar Sastra Arab di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Uniknya, disertasi berupa tafsir al-Qur’an ini beliau tulis tangan dalam khat Arab yang begitu indah, cermin dari kesabaran dan keuletan beliau sebagai seorang akademisi.

Dua Karya Utama KH. Imam Basyari

Saya sendiri menututi masa-masa beliau mengajar di STAIN Kediri. Komunikasi intensif saya dengan beliau terjadi antara tahun 1995-1998, sewaktu saya menjadi mahasiswa dan sekaligus sebagai mahasiswa bimbingan skripsi beliau di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri. KH. Imam Basyari yang saya kenal adalah sosok dosen sekaligus pembimbing skripsi yang sederhana, disiplin, semangat, dan kritis. Kesederhanaan beliau dapat dilihat dalam penampilan sehari-hari pada saat datang ke kampus menaiki hijet hijau yang kondisinya tidak cukup bagus, namun ada yang istimewa yaitu di dalam kendaraan beliau dipenuhi banyak buku dan kitab layaknya perpustakaan berjalan.

Kedisiplinan beliau tampak pada saat mengajar di kampus, beliau berupaya datang tepat waktu sesuai jadwal kuliah, bahkan ketika mahasiswa belum ada, beliau tidak segan untuk mencari dan bertanya tentang keberadaan mahasiswa-mahasiswa tersebut. Meskipun usia beliau sudah lanjut, tetap semangat dalam hal belajar, membaca, sekaligus kritis. Kesan ini juga saya tangkap langsung saat mengunjungi kediaman beliau di sebelah barat perempatan Mrican, sebelah utara jalan utama Kediri-Nganjuk. Saya begitu tersanjung diberi kesempatan untuk masuk ke kamar beliau yang penuh dengan buku dan kitab. Inilah cermin tingginya kecintaan beliau kepada ilmu, disamping beberapa karya yang telah dihasilkan dengan tulisan tangan beliau sendiri.

KH. Imam Basyari adalah sosok yang kritis, terlihat dari kesenangan beliau yang selalu mengajak diskusi apabila bertemu sesama kolega/dosen terkait beberapa hal. Selain itu beliau juga sering memberikan kritik berupa catatan pinggir-semacam syarah-apabila ada pendapat yang menurut beliau kurang pas. Beliau juga sosok dosen yang dapat dijadikan sebagai tauladan dalam memberikan motivasi bagi mahasiswa dan dosen-dosen yang lain. Semoga ilmu, hasil karya beliau dapat memberikan manfaat untuk khalayak. Semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah Swt. dan ditempatkan di surga-Nya. Aamin.

Dr. Mohamad Zaenal Arifin adalah Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Kediri.

Dr. Irmawan Jauhari [Alumni-SAA2008]: Sosok Akademisi-cum-Novelis

Dr. Moh. Irmawan Jauhari adalah alumni Jurusan Ushuluddin Prodi Perbandingan Agama (sekarang SAA) IAIN Kediri yang wisuda pada tahun 2008. Paska lulus, ia banting stir (tidak linier) melanjutkan studi S2 pada bidang Manajemen Pendidikan Islam di IAIN Tulungagung dan diwisuda pada tahun 2011. Dr. Irmawan gemar ngalap berkah pada beberapa tokoh yang tersebar di beberapa daerah, ziarah, serta kontemplasi pada tempat-tempat yang memiliki basis sejarah dan mitos yang kuat.

Ia juga aktif dalam pemberdayaan pemuda dan masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IAIN Kediri dan IAIN Tulungagung, ia terlibat dalam kegiatan pemberdayaan pemuda desa di tempat kelahiran-nya dalam wadah karang taruna. Kisruh politik desa mengakibatkan segala bangunan dan organisasi yang pernah dibangunnya runtuh. Tapi kondisi ini tidak menghalangi dirinya untuk terus berkiprah di dunia akademik maupun sosial kemasyarakatan.

Pada tahun 2014, ia mengabdi sebagai dosen tetap pada STAI-Ma’arif, Kendal Ngawi. Ia melakukan pendampingan pada mahasiswa dalam bentuk penguatan literasi dan diskusi serta pemberdayaan masyarakat dalam bentuk KKN Tematik yang berkelanjutan pada tahun 2016.

Pada tahun 2016, ia berhasil memeroleh beasiswa doktoral dari Kementerian Agama dengan konsentrasi PAI Multikultural di UNISMA Malang. Ia meraih gelar doktoral pada akhir tahun 2019 dan diwisuda dengan predikat cumlaude pada bulan Februari 2020.

Pada tahun 2016, Dr. Irmawan membangun jejaring mahasiswa Sastra Jawa Timur untuk diarahkan menjadi buku, akan tetapi ide ini hanya sampai pada diskusi naskah. Ia juga tergabung dalam FKDP Kopertais 4 yang merupakan wadah dosen PTKIS yang fokus pada penelitian dan pemberdayaan. Pada beberapa kesempatan, ia menjadi fasilitator di sejumlah forum. Disela fokus pada studinya, ia kerap mengajak mahasiswa melakukan perjalanan ke beberapa tempat untuk berbagai kepentingan, antara lain penelitian sejarah yang akan digunakan untuk menulis buku.

Setelah menikah pada tahun 2018, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sambil menyelesaikan disertasi dan menyusun naskah. Beberapa karya yang terbit antara lain: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (kontributor dan editor naskah, Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (kontributor naskah, LKiS, 2018); Tanah Pejuang (Novel, DivaPress, tunggu cetak); Pada Sebuah Episode (Novel, Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019); dan beberapa artikel dan opini yang bisa dilacak dalam pencarian daring.

Dr. Irmawan saat ini tengah menuntaskan beberapa naskah fiksi, melakukan kegiatan literasi pada mahasiswa yang diorientasikan menjadi sebuah buku, dan sesekali menjadi pengajar pada beberapa PTKIS. Untuk koresponden, ia bisa dihubungi melalui email: irmawanj@gmail.com. (MFR)