

“Jika Tuhan Maha Baik, dari manakah datangnya kejahatan–si deus bonus, unde malum.”
Plotinus (204-270 SM)
Plotinus (204-270 SM), dalam sebuah statemennya, pernah mengatakan, “Jika Tuhan Maha Baik, dari manakah datangnya kejahatan – si deus bonus, unde malum.” Dialah tokoh yang berupaya memadukan ajaran Plato dan Aristoteles dan melahirkan aliran baru dalam filsafat Neo-Platonisme. Dia sangat yakin bahwa Tuhan itu Maha Baik. Namun, suatu pertanyaan yang sangat mengganjal baginya ialah mengapa di dunia ini terlalu banyak terjadi kejahatan, baik yang berasal dari alam (natural evil) maupun kejahatan yang bersumber dari perilaku manusia, moral evil. Kejahatan, secara umum didefinisikan sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian dan penderitaan. Maka, setiap saat kita akan dihadapkan pada bermacam-macam kejahatan. Kembali pada pertanyaan Plotinus di atas, jika Tuhan Maha Baik, dari manakah datangnya kejahatan? Apakah Tuhan yang Maha Baik menciptakan kejahatan? Atau, pertanyaan lebih mendasar lagi, mengapa kejahatan harus ada dalam kehidupan ini jika memang Tuhan itu ada.
Namun, tokoh filsafat Yunani sebelum Plotinus, Epicurus (341-270 SM) sudah lebih dahulu mengemukakan pendapatnya tentang adanya kejahatan ini. Filsuf ini menegaskan bahwa Tuhan bisa saja menghilangkan kejahatan ini, namun Dia tidak mampu; atau sebetulnya Dia mampu tetapi tidak menghendakinya. Maka, jika Dia mampu dan berkehendak, mengapa kejahatan dibiarkan terus terjadi. Jika Tuhan adalah Maha Kuasa dan kekuasaan-Nya tiada terbatas, maka akan disimpulkan bahwa Tuhan tidak benar-benar Maha Baik. Begitulah kesimpulan Epicurus dari perenungannya tentang realitas kejahatan dan keharusan meyakini adanya Tuhan yang Maha Baik.
Itulah sebagian wacana yang berkembang di era Yunani Kuno tentang problem kejahatan ini dan kaitannya dengan keberadaan Tuhan. Maka, kaum ateis pun menjadikan problem kejahatan ini sebagai salah satu alasan untuk menolak keyakinan akan adanya Tuhan, arguments against the belief in God’s existence. Orang bisa menilai sendiri bahwa sejak era itu spekulasi tentang problem kejahatan sudah begitu kompleks. Maka, orang tidak perlu terlalu heran jika hari-hari ini, ketika seluruh dunia dilanda pandemi Covid-19 yang sangat mencekam, spekulasi tentang Tuhan muncul lagi dengan begitu ramainya. Wacana terkait dengan itu berkembang bisa sangat liar dan ekstrim, dengan menyebutkan Tuhan kalah oleh pandemi Covid-19. Namun, pemahaman seperti ini hanya muncul dari pemikiran orang yang tidak bertuhan, atau hanya dikemukakan oleh kelompok agnostik. Orang yang beriman tentu akan menolak semua pemikiran tersebut.
Islam, seperti halnya agama-agama monoteis yang lain, menganggap adanya kejahatan di dunia ini sebagai suatu problem yang amat rumit untuk diatasi, sehingga memunculkan pelbagai perdebatan yang tiada habisnya sepanjang masa. Problem itu menjadi lebih kompleks ketika dikaitkan dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah dzat yang Maha Baik dan Maha Adil. Seorang ahli kalam di masa klasik, al-Qâdî ‘Abd al-Jabbâr al-Hamadhanî (w. 1025), menjelaskan bahwa kajian tentang adanya kejahatan ini tidak bisa lepas dari wacana teologis terkait dengan kemaha-adilan Tuhan. Oleh karenanya, pembahasan mengenai hal ini harus menggunakan frame pendekatan theodicy. Istilah ini memang baru muncul pada awal abad ke-18, seperti dirumuskan oleh Gottfried Leibniz, seorang filsuf Jerman. Pada dasarnya, dengan istilah ini dirumuskan bahwa adanya kejahatan di dunia ini tidak akan mengurangi makna kemaha-adilan dan kemahabaikan Tuhan. Selanjutnya, menurut Richard Swinburne, hampir seluruh orang beragama memerlukan teodisi, untuk memberikan penjelasan yang rasional tentang adanya kejahatan di dunia ini dengan meyakini kemaha-baikan Tuhan. Lebih jelas lagi, Max Weber menegaskan bahwa teodisi adalah persoalan sosial, sehingga kajiannya tidak bisa lepas dari “problem pemaknaan (problem of meaning)”. Ketika kehidupan umat manusia berkembang semakin kompleks dan rasional maka berkembanglah kebutuhan untuk bisa menjelaskan (baca: memberi makna) mengapa orang baik bisa mengalami penderitaan, sementara orang jahat tampak hidup sejahtera. Menurut Weber, inilah arti penting dari peran agama dalam meneguhkan adanya tatanan dunia yang tertib bagi kehidupan di dalamnya.
Untuk itu, harus ada penjelasan tentang dua tujuan teodisi, yaitu untuk menjelaskan mengapa orang baik malah banyak menderita; nasibnya menjadi kurang beruntung; sementara orang-orang jahat malah tampak makmur dan sejahtera hidupnya. Weber merumuskannya dalam dua istilah kunci, yaitu theodicy of suffering dan theodicy of good fortune. Orang baik memang tidak selalu baik dan beruntung nasibnya. Mengapa? Weber menjelaskan bahwa dengan teodisi maka persoalan itu dapat diatasi ketika orang baik itu mampu mengangkat dirinya (transcend) di atas realitas penderitaan itu dengan menemukan makna keteguhan keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Baik; bahwa penderitaan yang dialaminya bukan suatu hal yang sia-sia, tanpa tujuan.
Hal serupa sebetulnya sudah disampaikan oleh Immanuel Kant (w. 1804) yang menyebutkan bahwa memang dunia ini tidak bisa menyelesaikan semua persoalan yang dihadapi umat manusia. Pasti ada masa di balik kehidupan duniawi ini di mana manusia akan memeroleh keadilannya. Dunia ini tidak mampu memberi penyelesaian atas semua problem yang dialami umat manusia. Maka, di sana pasti ada Tuhan yang Maha Kuasa, yang akan memberi keadilan atas semua tindakan manusia. Secara tegas hal itu ia rumuskan dalam konsep moral argument untuk mendukung keyakinan akan adanya Tuhan.
Sementara itu, dalam uraiannya tentang theodicy of good fortune, Weber menegaskan bahwa pada dasarnya setiap orang dituntut untuk bisa memberikan penegasan atau justifikasi bagaimana suatu kesuksesan atau keberuntungan dia peroleh dalam hidupnya. Orang tidak akan merasa puas jika suatu prestasi dia peroleh tanpa suatu proses yang bisa dipertanggung-jawabkan. Jika suatu prestasi atau keberuntungan dia peroleh dengan cara yang curang, misalnya, maka dia pantas untuk menyesal dan menyadari bahwa prestasi dan keberuntungannya adalah suatu hal yang sia-sia dan tidak memiliki makna dalam hidupnya. Ini juga tidak bisa dipisahkan dari pandangan Weber tentang the sociology of meaning yang menjadi salah satu ajaran pokoknya. Sejalan dengan pandangan di atas, sosiolog Peter L. Berger menegaskan bahwa agama merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk membangun tatanan dunia (world order) yang memungkinkan umat manusia bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik. Pada hakikatnya, manusia tidak bisa menerima adanya kehidupan di dunia yang tanpa makna (meaningless). Maka, teodisi memberikan landasan atas pemahaman bahwa kosmos tetap memiliki makna dan tatanan yang harus dijaga, meskipun terdapat kenyataan yang sebaliknya. Teodisi mengarahkan manusia untuk mampu mentransendesikan dirinya dengan meneguhkan keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Baik.
Wabah Covid-19 masih terus menggejala, tanpa diketahui secara pasti kapan akan berlalu. Penderitaan, baik secara fisik, bahkan kematian, serta dampak ekonominya sudah sangat luar biasa dirasakan oleh hampir seluruh umat manusia di muka bumi. Solusi atas semua problem itu pun belum tampak nyata hingga saat ini. Apakah manusia akan menyalahkan Tuhan? Hanya iman yang akan memberikan keselamatan dalam arti sebenarnya.
Dalam kondisi seburuk apapun, menurut ajaran Nabi Muhammad Saw., ketika seseorang masih punya iman, dia akan memeroleh keselamatan, mungkin bukan untuk saat ini. Alasannya, eksistensi manusia tidak akan berakhir hanya dengan kematian belaka. Setelah kematian itu masih ada pertanggung-jawaban atas apa yang ia lakukan di dunia ini. Perbuatan baik akan mendapatkan balasan kebaikan, jahat akan mendatangkan penderitaan yang lebih abadi. Penderitaan yang dialami manusia dalam hidupnya, sejauh didasari keyakinan bahwa Tuhan itu Maha Baik, dia akan mendapatkan kompensasi atas keyakinannya itu. Tuhan Yang Maha Baik tidak akan membiarkan makhluk manusia ciptaan-Nya musnah sia-sia.[MFR]

Guru Besar IAIN Kediri dalam bidang Filsafat Agama; Alumni McGill University; Penulis Modern trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia (Brill, 2001); Beliau saat ini juga mengajar di Prodi SAA IAIN Kediri