Pesantren Tanpa Nama

Figur Kiai Dlowi sangat khas dan unik. Beliau anti-mainstream dan anti-formalitas, hingga membuat pesantren tersebut tak bernama hingga kini. Barangkali beliau berpandangan “Apalah arti sebuah nama. Yang penting lembaga ini bisa memberi manfaat kepada santri yang ingin menuntut ilmu agama”.

—–Mukhammad Zamzami

Desa Gedangsewu Pare barangkali kurang begitu popoler di mata para santri yang ingin menimba ilmu di pesantren. Di kalangan awam, wilayah ini memang cukup familiar sebagai desa yang di salah satu sudutnya pernah ada lokalisasi. Padahal tak jauh dari eks-lokalisasi tersebut ada pondok pesantren yang eksis hingga hari ini dan diasuh oleh sosok kiai karismatis bernama Kiai Baidlowi.

Pondok Pesantren tersebut berada di jalan Teuku Umar, Desa Gedangsewu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Tidak cukup jelas kapan berdiri secara formal dan bahkan dilegalnotariskan, karena sesungguhnya Kiai Dlowi—sapaan akrab Kiai Baidlowi—sudah menerima santri sudah puluhan tahun yang lalu. Bagi beliau, tidak perlu nama untuk sebuah lembaga. Jika ada yang berminat belajar, ya tinggal datang ke pesantren ini.

Setidaknya dalam catatan saya—yang pernah nyantri dan ngaji kilatan di sana sekira tahun 2010—ada tiga nama untuk menyebut pesantren ini, antara lain: pertama, al-Asasyah. Nama ini dulunya hanya digunakan untuk pengurusan wesel dan barangkali untuk memudahkan santri mendapatkan kiriman uang dari orang tua pada alamat tertentu; kedua, al-Ishlah. Nama ini sesungguhnya diberikan oleh Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid saat beliau menjabat presiden pada tahun 2000-an dan mengunjungi pesantren tersebut dua kali; dan ketiga, Alabama. Nama ini adalah akronim dari Alfiyah, Balaghah, dan Mantiq. Karena memang pesantren ini concern pada kajian tiga “ilmu alat” ini untuk memahami kesusastraan Arab. Untuk nama terakhir—sepanjang amatan penulis—dipopulerkan salah satu putra Kiai Dlowi, Agus Yazid. Akan tetapi dari ketiga nama itu tidak ada nama yang secara resmi dipakai dan diformalkan oleh Kiai Dlowi.

Figur Kiai Dlowi sangat khas dan unik. Beliau anti-mainstream dan anti-formalitas, hingga membuat pesantren tersebut tak bernama hingga kini. Barangkali beliau berpandangan “Apalah arti sebuah nama. Yang penting lembaga ini bisa memberi manfaat kepada santri yang ingin menuntut ilmu agama”.

Tempat ngaji di pesantren ini berbentuk rumah panggung yang bertembokkan udara segar—alias langsung berbaur dengan alam yang hijau di sekitar pondok. Suara deras sungai yang berada tepat di utara pondok kerapkali terdengar di sela-sela Kiai Dlowi memberikan pelajaran kepada santri-santrinya.

Pesantren ini terbilang unik. Santrinya berkisar puluhan, yang kadang datang dan pergi setelah beberapa selesai putaran ngaji kilatan, walaupun tidak jarang ada beberapa santri yang sampai bertahun-tahun nyantri di sana. Tawaran ngajinya sangat cepat. Untuk belajar ketiga komponen penting memahami bahasa dan sastra Arab, baik Alfiyah Ibnu Mālik, Balaghah (Jawhar al-Maknūn), dan Mantiq hanya dibutuhkan waktu sekira 40 hari/satu putaran. Padahal di pesantren lain, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk menekuni ketiga bidang tersebut. Ngaji di pesantren tersebut hanya difokuskan pada ketiga bidang tersebut, tidak ada materi lain. Para santri yang masih belum cukup mengikuti ngaji satu putaran akan mengulang hingga dua, tiga, atau banyak putaran untuk sekadar memaksimalkan pendalaman ketiga disiplin ilmu tersebut.

Pesantren ini memang masuk kategori pondok kilatan, sebab dalam sehari sang kiai bisa memberi materi (ngaji) hingga empat kali. Di pondok lain penyampaian materi untuk satu disiplin ilmu kadang hanya satu kali dalam sehari. Karena itu, dalam 40 hari materi ketiga disiplin ilmu bisa tuntas dipelajari. “Kalau sudah khatam, kita ulang lagi materi ketiganya itu. Dan terus berulang lagi”, ujar beliau. Tidak ada patokan waktu bagi para santri bisa lulus. Yang merasa belum maksimal penguasaan terhadap ilmu yang ditawarkan, santri biasanya akan terus mengulang lagi. Jika sudah merasa mantap dan bisa memahami, mereka akan pamit boyong.

Santri di sana rata-rata memang sudah cukup senior walaupun beberapa di antaranya juga ada yang tamatan Sekolah Dasar. Tidak ada ketentuan di pesantren tersebut bahwa santri yang mengaji harus mukim di sana, karena beberapa santri yang ikut mengaji, ada yang nyantri di pesantren lain atau mereka yang nyambi kursus bahasa Inggris di Tulungrejo Pare. Jarak Tulungrejo Pare dengan Gedangsewu Pare memang tidak jauh sekira 6 sampai 7 kilometer.

Kesederhanaan memang tampak pada figur Kiai Dlowi dan model pesantrennya. Kalau diamati sekilas, tidak ada fasilitas kamar mandi berdinding tembok yang dimanfaatkan oleh santri. Kiai Dlowi dan santri justru lebih sering menggunakan sungai dan kolam untuk aktivitas pemenuhan hajat di belakang. Walaupun di pesantren ada kamar mandi bertembok yang dibangun oleh salah satu wali santri tanpa sepengetahuan Kiai Dlowi saat beliau menunaikan ibadah haji, tetapi beliau–bersama santrinya–lebih memilih menyatu dengan alam bebas di sungai untuk memenuhi kebutuhan hajat, baik mandi ataupun yang lainnya. Sungguh, sebuah pemandangan unik yang “memutus” sekat relasi formal kiai-santri.

Di mata para santri, beliau dikenal sangat dekat dengan seluruh santrinya. Makan bersama dengan santri dalam satu nampan pun sering dilakukan. Beliau yang gemar memancing ini kalau mendapatkan ikan, hasil pancingannya pasti akan dimakan rame-rame. Makan di nampan besar bersama sangat sering terlihat oleh kami yang nyantri pada saat itu. Relasi hierarkis kiai-santri seolah-olah tidak ada sama sekali.

Tak jarang Kiai Dlowi dicurhati terkait segala ihwal problematika yang dihadapi santrinya. Apa yang dipikirkan santri bisa langsung dicurahkan kepada kiai, kapanpun. Kiai pun selalu antusias dan sering memberi pandangan-pandangan bijak pada santrinya. Seringkali ijazah doa diberikannya jika ada problem pelik yang dihadapi mereka. Pun dalam proses pembelajaran, jika ada isykāl pada satu pembahasan tertentu, pasti akan dibahas tuntas oleh beliau, baik pada saat momen pembelajaran atau di luar jam ngaji.

Jangan membayangkan bahwa ada aturan ketat yang mengikat santri yang mukim di pesantren tersebut, karena pesantren ini dibangun atas kesadaran dan kedewasaan santrinya. Saat mengaji, ya mengaji. Saat santai, ya santai. Santri akan malu jika tidak kelihatan mengaji atau memilih tidur, karena jumlah santri yang hanya puluhan saja. Kiai cukup mudah memantau apapun yang dilakukan para santrinya.

Salah satu yang khas di pesantren ini adalah kentongan. Setiap ada hal, mulai dari pengumuman hingga waktunya makan bersama maupun mengaji, kentongan selalu ditabuh. Tujuannya untuk memanggil para santri yang berada di rumah-rumah panggung/angkringan untuk turun atau berkumpul di aula panggung. Pun kalau ada santri atau tamu yang membawa makanan—atau haytsu dalam istilah santri Kedirian–kentongan pun langsung ditabuh. Maknanya, saatnya menikmati makanan bersama-sama.

Al-Fātihah untuk Kiai Baidlowi, semoga beliau selalu dianugerahi kesehatan agar dapat selalu membimbing para santrinya.

Catatan: esai ini terbit pertama kali di https://arrahim.id/mz/ulama-nusantara-kh-baidlowi-dari-gedangsewu-mendirikan-pesantren-tanpa-nama-dan-menghapus-sekat-relasi-kiai-santri/.

Telusur Islam Kediri (5): Kiai Nawawi dan Pohon Beringin Angker

Berbekal amalan shalawat, Kiai Nawawi dan para santri berhasil menebang pohon beringin angker, membuat para jin penunggu “Alas Simpenan” lari ketakutan karena kehadiran ribuan malaikat yang mengiringi kehadiran mereka. Nama masjid dan pesantren yang dirintis oleh Kiai Nawawi kemudian dinamai “Ringinagung”, “Pohon Beringin Besar”.

——- Saiful Mujab

Kiai Nawawi adalah pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Ringinagung. Beliau dikenal sebagai kiai kharismatik, alim, dan ‘keramat. Kiai Nawawi berasal dari Kota Solo, Jawa Tengah –sebuah kota yang masyhur dengan sebutan “the Spirit of Java”. Sebuah sumber mengatakan, Kiai Nawawi memiliki darah priyayi dan ningrat. Beliau punya nama kecil “Raden Sepukuh”, putra Raden Bustaman, seorang penghulu di Keraton Surakarta.

Sumber kedua melansir, Kiai Nawawi adalah putra Raden Suryani, Bupati dari Kota Pati, Jawa Tengah. Nawawi kecil lahir pada awal abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1810 M. Menurut sumber ini, Kiai Nawawi konon juga pernah menjabat sebagai penghulu di Keraton Surakarta. Penulis belum bisa memastikan sumber mana paling sahih tentang silsilah Kiai Nawawi ini, mengingat minimnya literatur tentang beliau.

Berdasarkan lacakan penulis, sumber ketiga menyebutkan bahwa Kiai Nawawi adalah bekas prajurit Pangeran Diponegoro. Beliau melarikan diri setelah junjungannya itu ditangkap dan diasingkan ke Makassar oleh Belanda melalui sebuah perundingan ‘licik’. Berkaitan dengan cerita tutur ini, sejarah memang mencatat bahwa tidak sedikit pesantren di Jawa merupakan rintisan para prajurit Diponegoro paskaperang terdahsyat dalam sejarah Jawa.

M. Sholahudin, dalam bukunya Napak Tilas para Masayyikh (2017), mengurai bahwa pada tahun 1835, Kiai Nawawi memulai “rihlah ilmiah”-nya dengan belajar ke pesantren Siwalan di Panji, Sidoarjo. Di sana, Nawawi muda dikenal sebagai santri yang tekun dan cemerlang. Selain itu, beliau sangat akrab dengan kitab kuning. Saking ngelontok-nya pemahaman beliau mengenai banyak sekali kitab muktabar di pesantren, teman-teman Kiai Nawawi remaja menjuluki beliau dengan “sang Nawawi” – yang tak lain adalah nama dari seorang tokoh ulama terkemuka tanah air yang terkenal hingga pentas internasional karena karya-karyanya: Imam Nawawi al-Bantani, sang pengarang kitab Majmû, Nashâihul Ibâd, dan Arbaîn Nawâwî.

Jadi, nama “Nawawi” yang disandang oleh perintis Pondok Ringinagung ini adalah julukan dari teman-temannya sewaktu masih mesantren di Siwalan Panji. Syahdan beliau tinggal di pesantren hingga usia lanjut dan sudah menikah, sehingga tidak heran beliau sering dipanggil “santri sepuh” oleh para santri yang lain. Kealiman beliau membahana hingga wilayah Bangil (sekarang Pasuruan). Singkat cerita, seorang wedono (pejabat pemerintah) dari Bangil mencari Nawawi muda untuk dijadikan menantu. Beliau kemudian menikah dengan putri wedono tersebut, Dewi landep.

Di tahun ke-2 pernikahan beliau, Kiai Nawawi memantapkan diri untuk hidup mandiri dan meninggalkan Bangil, kota sang mertua. Bersama sang istri, beliau hijrah ke Desa Jajar. Tak selang lama, beliau berpindah lagi ke Desa Keling (pojok utara-timur Kabupaten Kediri). Di tempat inilah, Kiai Nawawi mendapatkan petunjuk dalam istikharahnya untuk merintis sebuah pesantren yang kelak dikenal dengan Pesantren Ringinagung.

Ada kisah menarik di balik berdirinya pesantren ini. Dahulu, menurut cerita dzurriyah Ringinagung, pondok ini dulunya adalah “Alas Simpenan”, sebuah hutan belantara yang sangat angker karena dihuni banyak memedi. Konon, tidak seorang pun warga desa berani melintasi hutan angker tersebut. Keanehan lain dari “Alas Simpenan” adalah kayu-kayu yang ada di wilayah hutan tersebut tidak bisa dibakar walaupun sudah mengering. Peristiwa mistis juga kerap dialami warga ketika berada di sekitar hutan.  

Alkisah, di “Alas Simpenan” terdapat sebuah pohon beringin besar yang menjadi rumah dari makhluk-makhluk penunggu daerah angker tersebut. Pohon tersebut tidak bisa ditebang dan penuh kisah mistis yang misterius. Anehnya, justru di tempat ini Kiai Nawawi ingin membangun masjid dan pesantren. Para santri dan jamaah Kiai Nawawi kemudian memberanikan diri untuk menebang pohon beringin besar itu dengan bekal amalan dari sang Kiai. Menurut satu cerita, Kiai Nawawi memeroleh ‘futuh’ ‘pencerahan’ dalam munajatnya kepada Allah Swt. Beliau diminta banyak membaca shalawat “allâhumma sholli ‘alâ Muhammadin wa sallim” sebelum membabat pohon angker tersebut.

Berbekal amalan ini, para santri berhasil menebang pohon angker tersebut. Konon, para jin penunggu “Alas Simpenan” lari ketakutan karena kehadiran Kiai Nawawi dan para santrinya diiringi oleh ribuan malaikat. Selanjutnya pohon beringin tersebut digunakan sebagai kayu untuk bahan bangunan masjid pertama di wilayah Keling. Nama masjid dan pesantren yang dirintis oleh Kiai Nawawi tersebut kemudian dinamai “Ringinagung”, yang artinya “Pohon Beringin Besar”.

Shalawat Kiai Nawawi tersebut, sampai sekarang menjadi amaliah rutin di kalangan keturunan Kiai Nawawi dan juga para santrinya. Para santri Ringinagung membaca shalawat ini setiap bakda salat, khususnya salat magrib dan setiap malam Jumat. Bagi dzurriyah Ringinagung, shalawat tersebut adalah “mustika” penting Kiai Nawawi dalam membangun dan merintis pesantren, sehingga perlu dilanggengkan oleh para santri dan keturunan beliau agar keberkahan dari Allah dan Rasulullah terus mengalir.

Selain terkenal dengan kealiman dan karamah-nya, Kiai Nawawi juga memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi. Beliau sering sekali membantu para santri yang kesulitan bekal makan. Bahkan, setiap Kiai Nawawi punya rizki, beliau membagikan separuhnya untuk para santri yang kesusahan di pondok. Tak hanya itu, menurut sebuah cerita tutur, Kiai Nawawi di awal-awal membangun pesantren, pernah melakukan puasa lima tahun berturut-turut; tiga tahun diniatkan untuk diri sendiri, dan dua tahun untuk kemanfaatan ilmu para santri. Selama menjalani puasa lima tahun tersebut, Kiai Nawawi hanya berbuka dengan 1-2 potong singkong rebus, dan minum secangkir air yang diseduh dengan daun kopi.

Pada akhirnya, langit mendung di atas Pesantren Ringinagung bergelayut; mentisyaratkan kesedihan akan kepulangan Kiai kharismatik yang penuh kesederhanaan ini. Mbah atau Kiai Nawawi ‘kapundut’ kehadirat Allah SWT pada tahun 1910 M. Beliau dimakamkan tepat di sebelah barat Masjid Ringinagung. Semoga Allah SWT selalu merahmati beliau, dan kita semua mendapat keberkahannya. Lahu al-Fâtihah!

Telusur Islam Kediri (4): Syekh Ihsan-Jampes, Kiai Nyentrik yang Mendunia


Dari berkah tawasul dan riyadhah ini, Allah SWT menganugerahkan hidayah dan mengubah pribadi si Ihsan kecil menjadi sosok cerdas, alim, wira’i (menjauhi dosa-dosa kecil), dan penuh hikmah sebagaimana terpancar dari ucapan dan karya-karya beliau.

Saiful Mujab

Syekh Ihsan bin Dahlan Jampes adalah sosok ulama di Kediri yang karya-karyanya telah mendunia. Kebesaran nama beliau merambah kancah internasional, sampai-sampai Raja Farouk, penguasa Mesir kala itu, sekitar 1934 pernah mengirim utusan khusus ke Dusun Jampes; tujuannya meminta Syekh Ihsan-Jampes berkenan mengajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Syekh Ihsan-Jampes menolak tawaran ini dengan halus.

Karya-karya beliau banyak dibaca dan jadi rujukan di kalangan ulama dunia. Santri mana yang tidak mengenal kitab Sirâj al-Tâlibîn; sebuah kitab tasawuf yang ditulis oleh beliau dan pasti menghiasi daftar kitab-kitab yang dibaca dan dikaji di pesantren-pesantren. Hebatnya lagi kitab ini pernah menjadi menu wajib dalam proses pembelajaran di Universitas Al-Azhar, Mesir. Melalui kitab ini, Syekh Ihsan-Jampes memberi penjelasan ‘syarah’ terhadap kitab Minhaj al-Abidîn karya Imâm al-Ghazâlî.

Syekh Ihsan-Jampes juga melahirkan banyak karya lain, di antaranya adalah Tashrîh al-Ibârat, penjabaran dari kitab Natîjah al-Mîqât karangan KH Ahmad Dahlan; Manâhij al-Amdâd, penjabaran dari kitab Irsyâd al-Ibâd ilâ Sabîli al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India; dan Irsyâd al-Ikhwân fî Syurbat al-Qahwah wa al-Dukhân. Karya yang terakhir ini bacaan wajib bagi mereka yang suka ngudut dan ngopi tapi ingin alim dan wara’ ala Syekh Ihsan-Jampes.      

Syekh Ihsan-Jampes adalah putra pertama dari Kiai Dahlan (Pengasuh Pesantren Jampes). Nama kecil beliau adalah Bakri; sebuah nama yang ternyata diambil oleh ayahnya dari Kiai Bakri-Mangunsari Nganjuk demi menghormati dan memuliakan sang gurunya tersebut. Kopi nama ini juga menyimpan pengharapan baik dari Kiai Dahlan; beliau ingin kelak sang putra alim dan panda seperti Kiai Bakri-Mangunsari. Melihat sosok Syekh Ihsan-Jampes, harapan itu ternyata bukan pepesan kosong. Perlu diketahui bahwa Kiai Dahlan adalah suami dari Nyai Artimah, putri Kiai Sholeh-Banjarmelati, dan juga ayahanda KH. Marzuki Dahlan, salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo.       

Syekh Ihsan-Jampes sejak muda dikenal sebagai sosok yang suka berpetualang dan nyantri di pelbagai pesantren di tanah Jawa. Beberapa pesantren yang pernah beliau ‘singgahi’ adalah: Pesantren Bendo-Pare, asuhan Kiai Khozin, paman beliau sendiri; Pesantren Jamsaren Solo; Pesantren Kiai Ahmad Dahlan, Semarang, yang terkenal mumpuni dalam ilmu falak; Pesantren Mangkang Semarang; Pesantren Gondang Legi, Nganjuk; dan Pesantren Demangan Bangkalan, asuhan Syekhona Kholil yang dijuluki ‘gurunya para ulama’.

Selama di pesantren, Syekh Ihsan-Jampes terkenal hobi membaca dan punya kecerdasan di atas rata-rata; beliau sangat gemar melahap buku dan kitab dari pelbagai bahasa. Selain itu beliau juga dikenal sebagai sosok nyentrik karena kebiasaannya yang ‘nyeleneh’ atau, dalam bahasa kekiniannya, anti-meanstream. Bayangkan saja, sebagaimana dilansir Mukti Ali dalam “Pengelanaan dan Karya Kiai Ihsan Jampes” (http://nu.or.id), beliau rata-rata tidak lama ngaji di pesantren tapi berhasil menguasai ilmu para gurunya; menguasai Alfiyah ibn Malik dari Kiai Kholil-Bangkalan hanya dalam kurun dua bulan atau ilmu falak dari KH Dahlan hanya dalam hitungan 20 hari. Bagi santri atau mereka yang akrab dengan dunia pesantren, barangkali inilah yang disebut ilmu laduni. Atau bila Anda tidak percaya dengan yang begituan, suka baca plus IQ tinggi bisa jadi penyebabnya—suka-suka Anda-lah bagaimana menafsirkan kejeniusan beliau.

Kebiasaan nyentrik Kiai Ihsan-Jampes tidak cukup di situ. Syahdan beliau merampungkan master piece-nya, Sirâj al-Tâlibîn, sambil menonton film di gedung bioskop Volta di Jalan Pattimura atau dulu dikenal Gedung Bioskop Sentral—sekarang sudah tutup. Beliau juga gemar merokok, minum kopi, nonton pagelaran wayang kulit dan film di gedung bioskop. Tapi dari kegemaran beliau ini, yang mungkin ‘tidak lazim’ dimiliki oleh seorang anak kiai, ternyata lahir karya-karya monumental semisal Sirâj al-Tâlibîn dan al-Qahwah wa al-Dukhân. Jadi teruslah berkarya wahai Anda ahl al-hisab wa al-qahwah.         

Masih menurut Mukti Ali, semasa remaja Syekh Ihsan-Jampes juga terkenal sebagai sosok anak bandel. Bahkan, beliau pernah terlibat dalam perjudian dan keluyuran malam hingga membuat khawatir orang tua-nya. Saking khawatirnya sang ayahanda, Kiai Dahlan sering mengajak si Ihsan kecil untuk berziarah ke makam sang kakek (Kiai Yahuda). Dari berkah tawasul dan riyadhah ini, Allah SWT menganugerahkan hidayah dan mengubah pribadi si Ihsan kecil menjadi sosok cerdas, alim, wira’i (menjauhi dosa-dosa kecil), dan penuh hikmah sebagaimana terpancar dari ucapan dan karya-karya beliau.

Sebagai ikhtitam, kita bisa belajar dari tulisan singkat ini bahwa di balik kebesaran nama Syekh Ihsan-Jampes, ada doa dan riyadhah dari sang ayah dan bunda. Wallâhu ‘Alam! [MFR]

Telusur Islam Kediri (3): Kiai Sholeh Banjarmlati Buang Kanuragan demi Pesantren

Makam Kiai Sholeh Banjarmlati

Kiai Sholeh khawatir ilmu kesaktian justru kelak akan membuat anak-cucu beliau dihinggapi rasa congkak dan takabur sehingga jauh dari rida Allah SWT.

Saiful Mujab

Tulisan ini akan mengulas sejarah singkat para wali dan ulama penyebar dakwah Islam di wilayah Kediri. Catatan ini sekaligus menyambung tulisan terdahulu dalam rubrik #TelusurIslamKediri yang tayang dalam laman resmi prodi SAA IAIN Kediri.  

Penulis sendiri sangat senang dengan inisiasi dan antusiasme keluarga besar SAA-IAIN Kediri untuk menelusuri dan mengenal lebih dekat para kekasih Allah. Ini adalah upaya kecil memuliakan mereka dengan meneladani sirah hidup mereka. Semoga kita semua senantiasa mendapat berkah dan curahan kemuliaan mereka semua, sebagaimana sabda Nabi SAW:  “Muliakanlah ulama (orang-orang yang memiliki ilmu syariat/agama dan mengamalkannya, mereka baik ucapan dan perbuatannya) karena sungguh mereka menurut Allah adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan (di kalangan malaikat).”

Sebagian besar mereka yang tinggal di wilayah Kediri Raya pasti sudah akrab dengan nama-nama para kiai masyhur yang berhasil mencetak banyak generasi ulama berpengaruh di penjuru Indonesia. Sebut saja, misalnya, Kiai Abdul Karim-Lirboyo, Kiai Dahlan (ayahanda Syekh Ikhsan) Jampes, Kiai Ma’ruf-Kedunglo, Kiai Fadil-Bathokan-Petok, Kiai Ya’kub-Lirboyo, Kiai Ibrahim-Banjarmelati, Kiai Muhammad-Bandarkidul, Kiai Mansyur-Sumberpucung Blitar dan masih banyak lagi. Tentu saja semua tokoh ini dulu pernah muda dan mengalami masa-masa penggemblengan diri di bawah arahan guru yang mumpuni.

Kiai Sholeh-Banjarmelati adalah satu figur sentral di balik nama harum para kiai besar di atas. Kiai Sholeh sendiri merupakan salah satu pendiri pesantren tertua di Kota Kediri. Beliau masih keturunan dari Syekh Abdul Mursyad-Setonolandean (Tokoh auliya’ awal penyebar dakwah Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya).

M. Solahudin, dalam tulisannya Napak Tilas Masyayyikh: Biografi 15 Pendiri Pesantren Tua di Jawa-Madura, menjelaskan bahwa Kiai Sholeh terkenal sangat alim dan wira’i (berhati-hati dari dosa kecil) di masanya. Beliau hidup sekurun dengan Syaikhona Kholil-Bangkalan dan Syekh Nawawi-Banten; beliau juga sangat akrab dengan Hadratush Syekh K.H. Hasyim Asy’ary-Tebuireng.

Kealiman dan semangat syiar Islam pada diri Kiai Sholeh diwarisi dari para leluhurnya, yang juga terkenal gigih dan istikamah memegang ‘dakwah Islam’ sebagai prinsip hidup. Silsilah Kiai Sholeh sendiri bermula dari Nyai Rofi’ah binti Nyai Musyarofah binti Kiai Zainal Abidin bin Mbah Ali Ma’lum bin Mbah Anbiya’ bin Mbah Abdurrahman bin Kiai Anom Besari-Caruban bin Syekh Abdullah Mursyad-Setonolandean.

Kiai Sholeh, selain terkenal dengan kealiman syari’at-nya, juga sangat disegani oleh masyarakat karena kehebatan kanuragannya. Yang demikian tidak mengherankan kalau kita menilik leluhur beliau: Syekh Abdul Mursyad. Selain dikenal sebagai pendiri padepokan yang mengkaji ilmu syariat Islam, Syekh Mursyad juga adalah ulama yang disegani para lawannya karena kesaktiannya yang mandraguna. Ilmu kanuragan memang pada saat itu telah menjadi media penting dakwah Islam ditengah banyaknya tantangan dari para tokoh-tokoh yang menolak penyebaran agama Islam.

Namun demikian, Kiai Sholeh dalam perjalanan hidupnya memutuskan agar para keturunan beliau tidak lagi menjadi orang sakti atau menguasai ilmu kanuragan. Kiai Sholeh khawatir ilmu kesaktian justru kelak akan membuat anak-cucu beliau dihinggapi rasa congkak dan takabur sehingga jauh dari rida Allah SWT. Menurut cerita tutur lisan yang penulis dapat ketika berziarah di makam beliau di Banjarmelati, Kiai Sholeh konon melarung seluruh pusaka dan benda-benda keramat yang beliau warisi dari leluhurnya di Sungai Brantas – Kediri. Kiai Sholeh kemudian mendidik putra dan putrinya menjadi generasi yang khusus mempelajari ilmu syariat dan tasawuf. Ketekunan dan kegigihan Kiai Sholeh membuahkan hasil; terbukti putra-putrinya kelak menjadi para figur penting di balik berdirinya pesantren-pesantren terkemuka penyebar khazanah keilmuan Islam.

Kiai Sholeh dikarunia 11 orang anak. Mereka adalah: 1. Nyai Hasanah, menikah dengan Kiai Ma’roef-Kedunglo; 2. Nyai Anjar, menikah dengan Kiai Fadhil-Bathokan-Petok; 3. Nyai Artimah, menikah dengan Kiai Muhammad Dahlan-Jampes; 4. Kiai Muhammad-Bandarkidul; 5. Nyai Nafisah, menikah dengan Kiai Mansyur-Kalipucung-Blitar; 6. Nyai Dlomroh atau Nyai Khadijah, diperistri oleh Kyai Abdul Karim-Lirboyo; 7. Kiai Rofii (wafat di Makkah); 8. Kiai Ya’kub-Lirboyo; 9. Kyai Asyari-Sumbercangkring-Gurah; 10. Kiai Abdul Haji-Banjarmelati; dan 11. Kiai Ibrahim-Banjarmelati.

Perlu diketahui bahwa kesebelas putra-putri Kiai Sholeh Banjarmelati tersebut adalah para muasis atau perintis sejumlah pesantren terkemuka di Kediri dan sekitarnya. Keberhasilan Kiai Sholeh dalam mendidik mereka merupakan pencapaian yang agung baik sebagai orang tua sekaligus ulama. Anugerah keturunan yang sangat baik (zurriyatan thayyiban) adalah perlambang kedudukan mulia beliau di sisi Allah SWT.

Semoga kita semua mendapat keberkahan dari sinar karamah beliau melalui wasilah mengenal dan mencintai beliau, Kiai Sholeh-Banjarmelati. [MFR]

Telusur Islam Kediri (2): Jejak Dakwah Syekh Abdul Mursyad Setonolandean

Para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Ulama dan para auliya’ memiliki peranan yang sangat signifikan dalam proses dakwah Islam di berbagai wilayah, termasuk sudut-sudut daerah di tanah Jawa. Peran para wali dan ulama seperti tokoh Walisongo beserta keturunan dan santri-santrinya telah memegang kendali yang sangat vital dalam laju tumbuh dakwah Islam di tanah Jawa. Begitu penting peran ulama dan para wali, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Para ulama adalah pewaris para Nabi terdahulu”.

Di tanah Kediri, tepatnya di Komplek Pemakaman Setonolandean, kurang lebih 5 KM dari desa Mrican-Kota Madya Kediri-Jawa Timur, terdapat makam waliyullah dan penyebar Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya: Syekh Abdul Mursyad. Beliau, menurut keterangan dari silsilah yang diterbitkan oleh Yayasan Kemanusiaan pimpinan Abu Mansur, dari garis ayah masih memiliki garis keturunan dengan Raden Patah-Demak. Beliau juga adalah salah satu dari putera Pangeran Demang II-Ngadiluwih. Kakeknya dikenal sebagai Pangeran Jalu alias Pangeran Demang I Setonogedong.

Kalau dirunut ke atas, silsislah Syekh Mursyad, menurut versi ini, adalah buyut dari Raden Panembahan Wirasmoro-Setonogedong, putera Sunan Prawoto, putera Sultan Trenggana, putera Raden Patah-Demak. Tanggal pasti masa hidupnya belum bisa diketahui secara meyakinkan, namun kemungkinan besar pada masa antara Demak akhir atau abad ke XV- XVI.

Versi lain mengenai garis keturunan Syekh Mursyad menjelaskan bahwa silsilah beliau berujung bukan kepada keturunan Kerajaan Demak, tetapi pada kerajaan Mataram Islam. Berdasarkan tulisan KH. Busrol Karim A Mughni (2012), Syekh Mursyad adalah keturunan dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dua versi yang berbeda mengenai silsilah Syekh Abdul Mursyad tersebut disebabkan memang minimnya sumber tertulis dan bukti fisik guna melacak kepastian garis keturunan dari beliau. Tetapi secara garis besar, kemungkinan silsilah dari Syekh Abdul Mursyad dapat disimpulkan pada dua versi tersebut. Guna memastikan kepastian kebenaran dari salah-satunya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut.

Selain silsilah, ada hal yang menarik yang berkaitan dengan makam Syekh Mursyad, berdasarkan tulisan dari Sigit Widiatmoko dan Alfian Fahmi, “Islamisasi di Kediri: Tokoh dan Strategi Islamisasi.”  Makam beliau sebelumnya berada di kawasan pabrik gula Merican. Artinya, makam Syekh Mursyad yang berada di Setonolandean merupakan hasil pemindahan dari lokasi pabrik gula Merican.

Bahkan hingga sekarang, pada bekas makam yang terletak di bawah cerobong asap pabrik gula tersebut masih tersisa sebuah bangunan kecil yang masih dijaga keberadaanya hingga kini; bangunan kecil ini sekaligus sebagai tanda bekas lokasi makam Syekh Abdul Mursyad yang pertama. Pemindahan makam Syekh Mursyad tersebut dipicu adanya proyek pembangunan oleh kanal pabrik gula Merican pada sekitar tahun 1900-an.

Dalam hal strategi dakwah Islam, Syekh Abdul Mursyad menggunakan dua jalur, yakni jalur pendidikan dan jalur kesenian. Jalur pendidikan di sini diartikan bahwa semasa hidup Syekh Mursyad pernah merintis dan mendirikan sebuah perguruan atau padepokan untuk mengajarkan ilmu agama dan ilmu kanuragan. Berawal dari padepokan tersebut, muncullah tokoh-tokoh kunci penyebar agama Islam di berbagai wilayah tanah Jawa yang muncul dari proses pendidikan Islam yang beliau rintis.

Sebagian tokoh tersebut adalah para murid dan keturunan beliau yang telah terbukti banyak menjadi muassis pesantren dan tokoh penting syiar Islam, seperti Ki Anom Besari (Caruban-Madiun), Kyai Hasan Besari (Ponorogo), Kyai Abdul Rahman, Kyai Nur Syaiq, Kyai Sholeh (Banjarmelati-Kediri), Syech Basyaruddin (Tulungagung), dll. Perlu dicatat, para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Jalur kedua dari dakwah Syekh Abdul Mursyad adalah metode kesenian; Syekh Abdul Mursyad diyakini sebagai pelopor tumbuhnya kesenian jemblung—seni bercerita dan mendongeng—yang zaman dulu sangat lekat dengan kebudayaan lokal Kediri dan sekitarnya. Syekh Mursyad memodifikasi kesenian ini sedemikian rupa, terutama dalam hal cerita dan lakonnya. Kesenian jemblung ini juga digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat Kediri agar tertarik masuk agama Islam dengan suka gembira dan tanpa paksaan. Strategi Syekh Mursyad dalam memanfaatkan kesenian jemblung adalah strategi yang umum dipakai terutama oleh Walisongo, seperti Sunan Bonang dengan kesenian Bonang-nya dan Sunan Kalijaga dengan kesenian wayangnya.

Demikianlah kehalusan dan kegigihan dakwah yang dilakukan oleh seorang tokoh penyebar Islam di wilayah Kediri, yaitu Syekh Abdul Mursyad. Kegigihan beliau membuahkan harum semerbak ajaran Islam yang mengakar kuat dan  tersebar di berbagai plosok wilayah Kediri dan daerah-daerah lain sekitarnya. Untuk mengenang jasa dan perjuangan beliau di dalam merintis dakwah Islam, penulis mengajak para pembaca yang budiman guna menghadiahkan fatihah kepada beliau, lahul fâ-Tihah. Wallâhu a’lam.[MFR]

Telusur Islam Kediri (1): Syekh al-Wasil dan Awal Islam di Kediri

Inskripsi Makam Setono Gedong

Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar//Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”.

Kutipan Kitab Musarar

Dakwah agama dalam suatu daerah tentu tidak selalu berjalan mudah; banyak rintangan menghadang sehingga sebuah agama sulit memeroleh tempat di hati masyarakat. Peran dan pendekatan seorang pendakwah akan menentukan sukses tidaknya syiar yang dilakukan.  Syekh Syamsudin al-Wasil -atau yang akrab dipanggil Mbah atau Syekh Wasil—adalah ulama yang diyakini sebagai tokoh pertama yang mengenalkan Islam di bekas Kerajaan Kadhiri ini.

Beliau adalah seorang wali sepuh yang hijrah dari Istanbul Turki untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat di pulau Jawa, khususnya bagian timur.  Sayangnya, tidak banyak bukti historis yang mengungkap keberadaan tokoh kharismatik ini, kecuali sebuah kompleks pemakaman tua yang terletak di jantung Kota Kediri dan ramai dikunjungi peziarah dari pelbagai penjuru daerah di Indonesia. Kajian akademik dengan pijakan fakta-fakta historis tentang figur ini juga sangat minim.

Penelitian terkini tentang figur penting ini dilakukan oleh Prof. Fauzan Saleh dan Dr. Nur Chamid (keduanya dosen IAIN Kediri), dan terbit dalam artikel berjudul, “Rekonstruksi Narasi Sejarah Syekh al-Wasil Syamsudin dan Peranannya dalam Penyebaran Islam di Wilayah Kediri dan Sekitarnya: Menggali Pijakan Mempertegas Identitas IAIN Kediri” (Prosiding Nasional, Pascasarjana IAIN, 2018).  Sekalipun data banyak berasal dari tradisi lisan ‘oral tradition’ hasil wawancara dari sejumlah tokoh di Kediri, penelitian ini sangat penting dalam upaya menemukan potret utuh dari Syekh Wasil. Tulisan singkat ini sedikit banyak berdasar pada hasil penelitian Prof. Fauzan Saleh tersebut.

Islam hadir di Kediri tepatnya pada abad ke-11 M, masa ketika wilayah ini masih berbentuk kerajaan Hindu-Buddha dan sedang berada pada puncak keemasannya. Tradisi Hindu-Buddha yang mengakar di masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi Syekh Wasil ketika memulai syiar Islam ke tanah Jawa. Mengingat kala itu adalah masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha di Kediri, maka kecil kemungkinan Islam bisa berterima dengan mudah dilihat dari segala sisi; sosial, politik, dan keagamaan.

Dalam beberapa kutipan dikatakan bahwa masyarakat Jawa pada saat itu gemar sekali melakukan sesembahan kepada roh-roh leluhur. Sekalipun tidak terlalu ‘ambil pusing’ dengan istilah agama, masyarakat sudah menerapkan etika atau unggahungguh layaknya masyarakat beragama. Sebelum kedatangan Syekh Wasil ke tanah Jawa dikatakan bahwa banyak orang Jawa sudah mengikuti ajaran Islam, tapi sejatinya itu hanyalah wujud dari rasa karsa mereka terhadap Sang Hyang-Nya.

Sebagaimana dilansir dari artikel Fauzan Saleh dan Nur Chamid, Syekh Syamsudin al-Wasil pertama kali datang ke tanah Jawa, khususnya bagian timur, atas undangan dari Prabu Sri Aji Jayabaya; kedatangan beliau adalah untuk menjelaskan isi Kitab Musarar (2018: 16). Kitab, yang juga dikenal dengan Serat Jangka Jayabaya ini, berisi ramalan tentang masa depan Nusantara. Masih diperdebatkan siapa sebenarnya pengarang kitab ini; apakah ditulis oleh Prabu Jayabaya sendiri atau gubahan Sunan Giri Pragen .

Secara geneologis, Syekh Wasil masih keturunan dari Siti Aisyah; “Mbah Wasil ini masih nyambung dengan Siti Aisyah, tapi urutan keberapa saya kurang tau; KH. Munzir yang paling paham silsilahnya,” ujar Yusuf, sang juru kunci. Beberapa kutipan mengaitkan Syekh Wasil dengan sosok Adipati Suryo Adigolo, Adipati Kediri kala itu. Menurut Fauzan Saleh, kemungkinan Syekh Syamsudin Wasil ini adalah guru spiritual dari Sri Aji Jayabaya; beliau punya peran dalam Ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya. Yusuf mengamini pendapat ini.  Yusuf menambahkan bahwa Ramalan  Jayabaya bukan sekadar prediksi biasa dari Sri Aji Jayabaya melalui kesaktiannya, tapi juga bersumber dari ajaran Alquran melalui pembelajaran yang diperoleh dari Syekh Wasil.

Keberadaan Kitab Musarar sangat penting dalam penelusuran Syekh Wasil karena di dalamnya memuat sosok yang kita bahas ini. Kitab ini merekam perjumpaan antara Syekh Wasil dan Prabu Jayabaya sehingga muncul pendapat bahwa hubungan keduanya adalah guru-murid. Kutipan bait tersebut adalah sebagai berikut:

Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani//Beliau sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja//Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.//Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu//Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana//Lengkapnya bernama Ngali Samsujen// Kedatangannya disambut sebaik-baiknya//Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati//Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar//Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena beliau telah mengerti kehendak Dewata//Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Beliaupun ingat tinggal menitis tiga kali. (Terjemahan Kitab Musarar bisa dilihat di link: https://ahmadsamantho.wordpress.com/2012/10/30/kitab-musarar-jayabaya/ )

Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus  (dikutip dalam https://ganaislamika.com/), satu-satunya bukti arkeologis tentang sosok Syekh Wasil adalah inskripsi Makam Setono Gedong. Inskripsi ini berisi tulisan nama Nabi dan juga tulisan “Syeh Syamsudin Wasil” dengan bekas martilan yang tampak disengaja. Versi lain berasal dari cerita lisan yang berkembang di masyarakat. Juru kunci makam Syekh Wasil, misalnya, mengatakan bahwa kedatangan beliau adalah misi banding dalam rangka syiar Islam kepada masyarakat Jawa, khususnya bagian timur. Jika dicermati, dua versi ini barangkali sama-sama benar dan saling melengkapi: sebagai seorang ulama, kedatangan Syekh Wasil ke tanah Jawa jelas tidak bisa dilepaskan dari dorongan dakwah keagamaan.

OD-18041-Situs Setono Gedong Cemetery Ruins of a building and gravestones seen from southwest [KITLV-166028]-Kediri-195

Beberapa sumber menyatakan bahwa ketika menyebarkan Islam di Kediri, Syekh Wasil berkaul untuk mendirikan sebuah masjid agung; tetapi karena alasan yang belum diketahui masjid itu belum sempat beliau dirikan. Hal ini terbukti dengan dijumpainya pondasi bangunan masjid yang belum rampung di area Kompleks Makam Syech Wasil Syamsudin, Setono Gedong. Tetapi pendapat ini ditampik oleh Yusuf Wibisono selaku juru kunci makam. Menurutnya, bekas pondasi bangunan itu bukan masjid, tapi bangunan candi pada masa Kerajaan Kadiri dan sudah ada sebelum kedatangan Syekh Wasil ke Kediri.  Meski demikian, banyak orang tetap menganggap bangunan ini adalah bekas pondasi masjid yang belum selesai.

Terlepas dari silang pendapat mengenai perannya dalam syiar Islam di Kediri, ketokohan Syekh Syamsudin al-Wasil tak terbantahkan. Kompleks Makam Syekh Wasil hingga ini terus ramai dikunjungi oleh peziarah; bahkan ia sekarang menjadi salah satu destinasi andalan wisata ruhani yang ada di Kota Kediri.  Peziarah tidak hanya dari masyarakat lokal Kediri, tapi juga dari luar kota, bahkan luar Jawa. Inilah bukti pengakuan masyarakat terhadap ketokohan dan sumbangsih beliau dalam menyebarkan Islam di Pula Jawa, wabilkhusus Kediri. [MFR]