Perjalanan Musafir: Sebuah Novel

Perjalanan Musafir seperempatnya berbasis filasafat, seperempatnya tasawuf dan kejawen, seperempatnya racikan postkolonial dan humanisme, dan seperempatnya lagi adalah hasil penelitian beberapa pihak. Maka dari itu, wajar jika novel ini dihargai mahal.

—– Moh. Irmawan Jauhari

Saya pernah menjadi salah satu fasilitator dalam NaSReCD (National Seminar for Research Community Development) di STITNU Mojokerto akhir 2019 lalu. Di forum tersebut, saya memperkenalkan diri sebagai peneliti yang menggunakan hasil penelitiannya tidak semata dalam bentuk jurnal maupun buku ilmiah. Salah satu luaran dari beragam penelitian bisa dalam bentuk novel.

Tentu hal ini mengejutkan bagi para peserta, mengingat pemahaman yang lazim adalah penelitian ilmiah berorientasi pada karya-karya ilmiah seperti artikel dan buku. Kemudian saya meminta waktu sebentar bagi para peserta untuk melakukan penelusuran daring novel Perjalanan Musafir karya saya sendiri; saya meminta mereka mendialektikakan novel tersebut dengan slide yang telah dipersiapkan. Sebagai pemantik, saya mengarahkan para peserta untuk melihat sejenak paradigma kualitatif menurut Jhon W. Creswell (2014); meskipun dia memotret satu objek, dia bisa menghasilkan penelitian yang beragam. Di akhir seminar, ada pertanyaan yang menggelitik; mengapa harga novel saya lebih mahal dari buku-buku teori yang setebal batu bata?

Perjalanan Musafir adalah novel ketiga yang diterbitkan penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2019. Umumnya, masyarakat melihat novel sebagai fiksi dan jauh dari kebenaran empiris. Namun perlu dipahami, novel ini merupakan refleksi perjalanan cukup panjang penulis dalam rentang waktu antara 2004-2016. Penulisannya sendiri terjadi antara 2014-2018; mengalami beberapa kali revisi dan diskusi dengan beberapa rekan yang punya minat pada sastra.

Manusia dalam makna umum dan khusus adalah musafir; terus berjalan dan mencari pemuas atas sumber kegelisahannya. Dalam masa pencarian yang tiada berujung tersebut, terjadi banyak dialektika kehidupan yang mendewasakan manusia. Dialektika ini juga tidak jarang melahirkan manusia pecundang karena kalah dari persaingan dalam perspektif positivistik, ‘survival of the fittest (Veeger, 1997:24). Perjalanan hidup manusia juga adalah soal konflik. Secara teoritis, konflik adalah bentuk wajar -mulai tingkat yang paling sederhana sampai paling rumit—dalam kehidupan manusia  (Soekanto, 2013:131). Sayangnya, sebagian dari kita kurang memahami dialektika dan esensi dari konflik. Jika dipahami dengan baik, konflik tidak lain adalah gerak zaman yang membenturkan persoalan filosofis antara das solen ‘yang seharusnya’ dan das sein ‘yang senyatanya’. Jadi, konflik adalah dialektika kehidupan.

Ketika berinteraksi di dalam masyarakat, manusia mengalami benturan upayanya menerapkan pemahaman berdasar pengetahuan kognitifnya. Contoh sederhananya adalah konsep toleransi dan moderat yang begitu indah terdengar di ruang-ruang kelas prodi SAA. Di lapangan, kata moderat dan toleran harus bersinggungan dengan banyak hal, khususnya kepentingan. Belum lagi ketika manusia berbicara tentang konsep idealisme dalam agama dan sila kelima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Coba kita kentekstualisasikan, misalnya, dengan penerima Bansos Covid-19 di sekeliling kita saat ini.  

Hal-hal semacam itu menggugah kesadaran saya bahwa realitas sosial tidak sesederhana ungkapan Berger tentang tiga tahap pembentukan realitas sosial: eksternalisasi, internalisasi, objektivasi (2002). Pendidikan bukan sekadar model formal, informal, dan nonformal; pengetahuan juga tidak melulu dibangun berdasar perspektif rasionalisme maupun empirisme (Ahmad Baso, 2017). Karena merasa belum puas atas kesenjangan antara teks dan konteks, saya mengambil jalan lain untuk memahami realitas sosial sebagai lokus interaksi manusia. Beragam dialektika dalam kehidupan masyarakat pada akhirnya mendorong saya berani untuk merefleksikan, menginterpretasi, dan memberi ciri khas pada Perjalanan Musafir.

Bukan secara kebetulan, saya mengampu mata kuliah metode penelitian, dan juga penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan dan sumberdata dalam penelitian kualitatif sangat berperan penting dalam penelitian yang saya lakukan (dengan dibantu sejumlah mahasiswa). Saya menggunakan data-data yang diperoleh untuk kemudian dipakai dalam menulis fiksi, meskipun sebagian tetap saya pakai untuk kepentingan akademik. Beberapa bahan dalam Perjalanan Musafir diolah, disaring, dan dipadatkan dengan menggunakan teknik kualitatif. Semua bahan ini lalu dirajut dengan disiplin pengetahuan lain agar lebih berwarna dan punya unsur kebaharuan dalam memahami problem manusia dan kemanusiaan atau hidup dan kehidupan.

Perjalanan Musafir dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian Pertama adalah “Dewa Ruci”, diambil dari saripati kisah pewayangan yang mengisahkan perjalanan Bima dalam menemukan ilmu hakikat kehidupan dalam inti samudera. Cerita “Dewa Ruci” dalam konteks Bima hampir sama dengan pandangan tasawuf al-Ghazâlî bahwa ilmu makrifat adalah intan berharga yang terletak di samudera. Kekhasan “Dewa Ruci” dalam novel saya dijumpai sebelum sampai pada Dewa Ruci; ada sebuah pulau bernama Pulau Perbatasan yang tak lain adalah pantulan dari kenyataan; sebuah jembatan untuk masuk ke dalam dimensi lain. Di Pulau Perbatasan, terdapat sosok misterius wanita penguasa dermaga yang merupakan simbol dari keragu-raguan serta godaan dalam melakukan perjalanan.

Bagian Kedua, “Pada Mulanya”, menceritakan awal mula sang musafir memutuskan untuk melakukan perjalanan. Dalam bagian ini, ungkapan Rudolf Otto –yang cukup familiar di telinga para mahasiswa SAA—mysterium tremendum et fascinans ‘Tuhan adalah misteri yang menggentarkan sekaligus memesona’ menemukan pijakannya. Konsep ketundukan dan kepasrahan seorang murid tarekat (sufi dan tasawuf) juga ditemukan di bagian ini.   

Bagian Ketiga, “Pada Akhirnya”, merupakan sintesis dari semua eksplorasi dalam Bagian Pertama dan Bagian Kedua mengenai manusia-kemanusiaan, dan hidup-kehidupan. Prinsip adaptasi dan pemahaman kritis-transformatif bisa dilihat dalam dialog ketika seorang murid berdiskusi dengan guru mengenai sebuah konsep pemahaman universal yang diterjemahkan ke dalam lokalitas maupun kesesuaian dengan pribadi yang bersangkutan. Mahasiswa Tarbiyah mengenal konsep ini dengan pembelajaran yang berorientasi pada murid ‘studentcentered approach’. Pendidikan dan pembelajaran adalah arus internalisasi pengetahuan dua-arah, dan murid bukan tabung kosong atau kertas putih tanpa bekal apapun. Keluarga dan lingkungan adalah penegak ruang afektif dan psikomotorik dari seseorang, dan lembaga pendidikan adalah pemoles dan penguat ranah kognitif mereka.

Perjalanan Musafir seperempatnya berbasis filasafat, seperempatnya tasawuf dan kejawen, seperempatnya racikan postkolonial dan humanisme, dan seperempatnya lagi adalah hasil penelitian beberapa pihak. Maka dari itu, wajar jika novel ini dihargai mahal. Naskah kedua, Percakapan Para Musafir di Sebuah Kedai, insya Allah akan tuntas dalam waktu dekat. Mohon doa dari Anda sekalian.[MFR]

The Problem of Evil in Islamic Theology

A Study on the Concept of al-Qabih in al-Qadî ‘Abd al-Jabbâr al-Hamadhani’s Thought

The Problem of Evil in Islamic Theology: A study on the Concept of al-Qabîh in al-Qadî ‘Abd al-Jabbâr al-Hamadhani’s Thought was a thesis by Prof. Fauzan Saleh for obtaining his Master degree from the Faculty of Graduate Studies and Research, McGill University, Montreal, in 1992. The thesis attempts to examine ‘Abd al-Jabbâr’s point of view on the problem of evil, and to show how he maintains the concept of divine justice, a principal characteristic of Mu’tazilism, in the face of the problem of evil.

The work is downloadable at https://escholarship.mcgill.ca/concern/theses/m326m5905?locale=en

Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia [pdf. available]

Aiming to trace the development of Islamic theological discourse in Indonesia from the early 1900s to the end of the 20th century, the author focusses on how modernist Muslims have constructed their theological thought throughout the century, which, in turn, reflects their religious understanding in response to the particular demands of their age. The theological thought constructed so far signifies a continuum of progress, developing from one stage to the next. Implicitly, this progress also indicates the improvement of Indonesian Muslims’ understanding of their own religion, which may suggest the betterment of their commitment to doctrinal beliefs and religious practices. Therefore, this study will also examine the ways in which Indonesian Islam noticeably grows more orthodox through these forms of religious commitment. Drawing upon an Indonesian term, the growth of orthodox Islam is known as the” santri” cultural expansion, which has been characterized by the vertical and horizontal mobility of devout Muslims in political, cultural and economic enterprises. A discussion of the theological thought underlying that” santri” cultural expansion is also included.

The book is available in pdf. Please click https://www.scribd.com/document/329814650/Fauzan-Saleh-Modern-Trends-in-Islamic-Theological-Discourse-in-20th-Century-Indonesia-a-Critical-Study

Pesan Multikulturalisme dari “Upin & Ipin”

Dalam konteks Indonesia, banyak ragam suku, ras, agama, bahasa, dan budaya adalah dua belah mata pisau yang dapat diartikan sebagai sebuah kekayaan dan ancaman sekaligus. Kondisi yang demikian membuat multikulturalisme menjadi penting untuk dipahami dan dihayati oleh seluruh masyarakat Indonesia

Muhamad Fauzi Zakaria

Pandemi yang tak kunjung usai telah menyebabkan ruang gerak semakin terbatas; konsekuensinya pikiran semakin membuncah karena waswas. Saat bosan melanda, masyarakat cenderung beralih pada hobi-hobi yang menyenangkan untuk sekadar mengusir rasa bosan mereka. Baca buku, memasak, mendengarkan musik, menonton film, atau mengikuti wibinar yang sedang menjamur sedikit contoh dari aktivitas pengusir kejemuan.

Saat saya diterpa perasaan bosan, saya biasa mengusirnya dengan menonton animasi di televisi. The Powerpuff Girl, Steven Universe, The Amazing World of Gumball, Ben 10, We Bare Bears, dan Advanture Time adalah beberapa judul animasi yang acap kali saya tonton. Semua judul animasi tersebut  diproduksi oleh Warner Bross asal Amerika Serikat. Walaupun menonton animasi identik dengan tontonan anak-anak, tetapi saya tetap bisa menikmati alur cerita dan sering kali saya dibuatnya tertawa.

Tayangan animasi hasil garapan Amerika dan Jepang ternyata tidak membuat lesu animasi asal negara tetangga, Malaysia; serial Upin & Ipin tidak pernah sepi peminat, termasuk juga di Indonesia. Terbukti sejak pertama kali tayang di Indonesia tahun 2007, serial kartun ini tetap mendapatkan tempat khusus di hati pemirsanya.

Sesekali saya melihat tayangan Upin & Ipin yang disiarkan oleh MNCTV. Lalu saya berfikir “apa yang membuat serial ini begitu spesial sehingga ia tetap eksis di tengah ganasnya persaingan pertelevisian di Indonesia?” Pertanyaan patut diajukan karena animasi asal Malaysia lainnya seperti BoBoBoy dan Pada Zaman Dahulu malah pamornya meredup.

Dalam beberapa artikel dan beberapa jurnal ilmiah, saya menemukan fakta menarik bahwa serial Upin & Ipin mendapatkan apresiasi yang baik di tengah masyarakat. Animasi besutan Les’ Copaque ini dianggap tidak hanya tayangan bergenre komedi saja, melainkan juga berisi edukasi terkait pentingnya pendidikan multikulturalisme. Pendidikan multikulturalisme yang disampaikan dalam Upin & Ipin disajikan dengan apik dan sederhana sehingga mudah diterima oleh masyarakat umum, terlebih anak-anak.

Tokoh-tokoh yang ditampilkan seperti Upin, Ipin, Ijat, Ismail, Mei Mei, Jarjit Singh, Fizi, Ehsan, Rajoo, Devi, Uncle Muthu, Koh Ah Tong, Atuk Dalang, Opah, Kak Ros, Cikgu Yasmin, hingga Susanti berhasil memberikan gambaran hampir utuh tentang keberagaman yang ada di Kampung Durian Runtuh. Hingga hari ini, Upin & Ipin telah diproduksi dalam tiga belas musim dan telah berhasil menyabet banyak penghargaan; salah satunya adalah menjadi Duta Besar Nasional UNICEF Malaysia pada tahun 2013.

Pesan-pesan tentang pentingnya laku hidup yang selaras dengan multikulturalisme dalam Upin & Ipin dapat dilihat dari penyajian alur cerita dan tokoh yang digambarkan memiliki latar belakang suku, ras, agama, serta budaya yang berbeda. Upin dan Ipin yang seorang melayu beragama Islam; Mei Mei seorang anak keturunan Tionghoa yang beragama konghuchu; Jarjit Singh seorang anak keturunan India dan beragama Budha; Susanti seorang murid pindahan asal Indonesia; dan Devi anak dari Uncle Muthu penjual ABCD keturunan India beragama Hindu. Inilah bukti bahwa perbedaan yang menghampar di Kampung Durian Runtuh bukanlah halangan untuk tetap hidup harmonis.

Dalam konteks Indonesia, banyak ragam suku, ras, agama, bahasa, dan budaya adalah dua belah mata pisau yang dapat diartikan sebagai sebuah kekayaan dan ancaman sekaligus. Kondisi yang demikian membuat multikulturalisme menjadi penting untuk dipahami dan dihayati oleh seluruh masyarakat Indonesia; kesadaran akan realitas yang beragam ini bisa meredam terjadinya konflik yang mengatasnamakan identitas, terlebih pada era post truth seperti sekarang ini. Perbedaan pendapat sedikit saja dapat menjadi penyulut konflik besar yang berkepanjangan.

Multikulturalisme hadir sebagai bentuk keyakinan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama. Daud Aris (2011) menyebutkan bahwa multikulturalisme menjamin warga negara untuk mempertahankan jati diri ‘identity’, memiliki kebanggaan terhadap nenek moyang ‘ancestry’, dan mempunyai rasa memiliki ‘sense of belonging’. Konsep multikulturalisme juga merupakan gerakan alternatif terhadap kebijakan asimilasi yang memaksa perbedaan-perbedaan yang ada untuk melebur menjadi satu budaya tunggal yang sesuai dengan narasi budaya mayoritas (Asworth et. al., 2007).

Michael Foucault (1978) menyebutkan bahwa sebuah wacana ‘discourse’ merupakan bentuk praktik sosial yang dilakukan secara verbal (tutur kata) maupun nonverbal (teks). Dari pengertian yang dikemukakan Foucault di atas, dapat dipahami bahwa setiap wacana pasti mengandung maksud dan kepentingan terpendam ‘ideology’. Serial ini memang kental sekali dengan dominasi kultur Melayu; tentunya ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan untuk mendefinisikan identitas ke-Melayu-an yang sejati dari sudut pandang si produser atau pihak terkait. Dalam konteks audiens di Malaysia, serial ini bisa dibaca sebagai upaya ‘mendisiplinkan’ mereka bagaimana seharusnya orang Melayu itu. Tapi ini bukan fokus tulisan saya di sini.

Wacana dalam Upin & Ipin kemudian tidak hanya ditafsirkan sebagai tayangan animasi komedi semata, melainkan juga membawa maksud tentang nilai-nilai keberagaman yang kental. Pesan-pesan tentang nilai pendidikan multikulturalisme dapat dijumpai di beberapa episode, antara lain adalah “Esok Hari Raya,” “Gong Xi Fa Chai,” dan “Deepavali”. Setiap episode tersebut mengandung nilai toleransi, demokrasi, tolong menolong, pluralisme, keadilan, kesetaraan, humanisme, dan mendahulukan dialog (Heri dan Yeni, 2019). Ipin & Upin bisa jadi tayangan edukasi bagi anak-anak maupun orang dewasa. “Betul, betul, betul!” [MFR]

Menakar Potensi Media untuk Agama di Masa Corona


Di antara potensi ancaman media bagi agama adalah penyebaran berita bohong (hoax), info sampah, pengaburan realitas, kemunculan para “pseudo-ulama”atau “ulama-ulama karbitan” yang hanya bermodal kepiawaiannya bermedia walau tanpa akar keilmuan yang jelas, hingga hilangnya kontrol terhadap simbol-simbol keagamaan.

Fazlul Rahman

Semenjak makin merebaknya Covid-19 di Indonesia, yang diikuti dengan pelbagai kebijakan pembatasan, kondisi keagamaan masyarakat Muslim Indonesia menunjukkan fenomena “new normal”; banyak Muslim dari pelbagai kalangan semakin intens berinteraksi dengan media untuk kepentingan kegiatan dan urusan keagamaan mereka. Terlepas dari faktor pembatasan yang ada, atau memang latah, menarik untuk mempertanyakan bagaimana media berkontribusi terhadap agama (secara umum), dan bagaimana kemudian masyarakat Muslim Indonesia menyikapi potensi media terhadap agama tersebut.

Interaksi Media dan Masyarakat Muslim

Hubungan masyarakat Muslim dengan media sejatinya bukanlah fenomena baru. Di masa-masa awal kemunculan media di belahan penjuru dunia, masyarakat Muslim menunjukkan sikap hati-hati, bahkan terkesan resistan. Hal ini terlihat dari fakta sejarah yang menunjukkan bahwa mesin cetak baru diperkenalkan di Kekaisaran Turki Usmani pada abad ke-19 oleh Ibrahim Muteferrika; artinya, 500 tahun setelah Guttenberg memperkenalkan mesin cetak dan 400 tahun setelah diperkenalkan pertama kali di kalangan Umat Kristen. Salah satu penyebabnya adalah adanya penolakan dari kalangan pemuka agama. Jika diteliti lebih lanjut, penulis melihat setidaknya terdapat tiga hal yang mendasari sikap pemuka agama; kultural, theological iconophobia, dan kepercayaan terhadap sakralitas bahasa Arab.

Berbeda dengan penyambutannya di masyarakat Arab, Muslim Indonesia menyongsong kehadiran media dengan tangan lebih terbuka. Penggunaan media-media kesenian oleh para Wali Songo pada masa-masa awal dakwah Islam di Indonesia menguatkan hal tersebut. Adopsi “media populer” selanjutnya di kalangan masyarakat Muslim dapat dilacak dari awal kemunculan kaset-kaset ceramah semisal Dai Sejuta Umat (alm.) KH. Zainuddun MZ, dll. Berlanjut dengan kemunculan radio-radio yang bernafaskan Islam yang kemudian semakin mendorong kehadiran koran-koran, buku-buku, majalah-majalah, tv, hingga terakhir media sosial.

Fenomena interaksi media dan masyarakat keagamaan ini telah banyak menyita perhatian para sarjana dan riset-riset tentang hal tersebut telah banyak dipublikasikan, di antaranya karya George N. Atiyah yang berbicara tentang buku di Dunia Islam, Charles Hirschkind yang membahas tentang kaset-kaset ceramah di masyarkat Muslim, Gary Bunt yang meneliti tentang pengaruh Internet terhadap pola keberagamaan masyarakt Muslim dan konsepsi mereka tentang “ummah”, dan lain-lain.

Kontribusi dan Ancaman Media bagi Agama

Interaksi dan hubungan baik agama dan media sejatinya didasarkan pada adanya hubungan resiprokal yang saling menguntungkan antar keduanya. Salah satu potensi nyata yang dimiliki media untuk agama adalah kemampuan menyebarkan pesan keagamaan yang signifikan. Selain itu, dalam konteks media Internet, Dawson pada awal tahun 2000-an menunjukkan bahwa Internet dapat menguatkan kesadaran keagamaan, membangun komunitas-komunitas keagamaan baru, dan bahkan memfasilitasi kegiatan-kegiatan ritual keagamaan di dunia virtual.

Potensi-potensi tersebut di sisi lain tidak lepas dari berbagai ancaman yang muncul, di antaranya: penyebaran berita-berita bohong (hoax), info-info sampah, pengaburan realitas, kemunculan para “pseudo-ulama”atau “ulama-ulama karbitan” yang muncul karena kepiawaiannya bermedia walau tanpa akar keilmuan yang jelas, hingga hilangnya kontrol terhadap simbol-simbol keagamaan.

Melihat potensi dan ancaman media di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kita sebagai bagian masyarakat keagamaan menakar hal tersebut? Menurut KBBI, ‘menakar’ berarti mengukur kadar untuk kemudian membatasi jumlahnya; dalam konteks bermedia pada masa Corona ini berarti berusaha mengukur potensi-potensi yang dimiliki media bagi agama untuk kemudian kita maksimalkan, dan mengukur ancaman-ancaman yang ada untuk kita minimalisasi. Untuk menganalisa ini, penulis meminjam metode analisa SWOT.

Analisis SWOT Potensi Media Internet untuk Agama di Masa Corona

Sebagaimana analisa SWOT pada umumnya, ada dua faktor yang harus dilihat dalam menakar potensi media untuk agama di masa Corona ini, yaitu internal dan eksternal. Internal di sini berarti kekuatan (S) dan kelemahan (W) yang ada pada internal produk media untuk agama. Dan eksternal berarti kondisi eksternal di luar media, yaitu peluang-peluang (O) dan ancaman-ancaman (T) yang berada di sekitar kita. Untuk analisis ini, penulis mengkhususkan pada media Internet yang banyak digunakan pada masa Corona ini.

Di bagian terdahulu, penulis telah menunjukkan beberapa poin penting potensi yang dimiliki media dan ancamannya terhadap agama. Untuk kelemahan media, setidaknya penulis melihat beberapa hal yang menjadi kelemahan internal: pertama, bahwa media pada dasarnya adalah alat yang sangat bergantung pada kualitas teknis. Jika ia didukung oleh perangkat yang baik secara teknis maka hasilnya pun akan lebih maksimal, namun jika sebaliknya, maka media menjadi tidak berguna. Contoh sederhana adalah kebutuhan media terhadap daya listrik. Media sebaik apapun jika tidak didukung ketersediaan daya listrik maka menjadi barang yang tidak dapat digunakan.

Kelemahan selanjutnya adalah bahwa data-data yang tersimpan dalam media sifatnya temporer dan mudah sekali overload. Kita tahu betapa informasi-informasi mengalami bahkan dituntut untuk terus diperbaharui atau ‘di-update’. Informasi-informasi yang awalnya viral bisa saja kemudian tenggelam tertimbun oleh info-info yang lebih menarik yang datang belakangan. Selain masalah teknis tersebut, kelemahan sumber daya masyarakat juga menjadi satu kelemahan internal yang tidak dapat dipungkiri dalam hal ini.  Kelemahan internal lainnya adalah bahwa media merupakan barang yang netral. Ia bersifat value-free. Baik dan buruknya sangat bergantung bagaimana pengguna (user) memanfaatkannya.

Di sisi lain, dari aspek eksternal, penulis melihat ada beberapa peluang yang jelas berada di hadapan kita pada masa Corona ini; pertama, momentum Ramadan dalam pembatasan. Kebijakan pembatasan di pelbagai wilayah di Indonesia ini merupakan momentum penting bagi media untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, termasuk kebutuhan keagamaaan mereka. Hal ini ditambah dengan momentum Ramadan di mana umat Islam dianjurkan untuk mengisi waktu mereka dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Peluang lainnya adalah bahwa para pemuka agama saat ini sebagian besar sadar akan potensi media yang akhirnya merestui dan turut menggunakan media untuk kegiatan keagamaan. Hal ini menjadi potensi penting mengingat bahwa dahulu masyarakat Muslim sempat “terhalang” oleh restu ini.

Peluang lain yang tak kalah penting adalah keterjangkauan biaya. Kita tahu, saat ini biaya akses Internet sudah jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan masa-masa awal kemunculannya. Pilihan paket-paket kuota bersahabat bisa kita sesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan kantong kita. Potensi terakhir yang dapat penulis lihat adalah fenomena eksistensi media yang berada di mana-mana (media is ubiquitous). Sebagaimana argumen Mark Deuze bahwa saat ini kita tidak hanya hidup dengan media (living with media), tetapi juga hidup di dalam kehidupan bermedia (living in media life), maka media menjadi hal yang bisa kita temukan di mana-mana bahkan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita termasuk kehidupan beragama kita.

The AXE Effect untuk Masa Depan Hubungan Media dan Agama

Untuk dapat menakar secara tepat, langkah selanjutnya dari analisa SWOT ini adalah dengan mengkaji empat poin penting, yaitu: pertama, bagaimana (S) dapat memanfaatkan (O) yang ada? Kedua, bagaimana memanfaatkan (S) agar dapat mengatasi (T)? Ketiga, bagaimana mengatasi (W) yang kita miliki untuk bisa mendapatkan (O)? Keempat, bagaimana meminimalisasi (W) untuk mencegah (T) dari luar?

Penulis dalam hal ini menyerahkan langkah terakhir ini kepada subjektifitas pembaca, karena penulis yakin setiap orang atau kelompok mempunyai situasi dan kondisi yang berbeda dalam menjawab dan menganalisa poin-poin tersebut di atas.  Sebagai gantinya, penulis ingin menutup tulisan ini dengan jargon yang dimunculkan oleh salah satu produk perawatan tubuh, AXE: Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda”.

Jargon tersebut bagi penulis sangat relevan untuk dapat menjawab bagaimana masa depan hubungan media dan agama. Kesan pertama Internet bagi kita umat beragama, pada masa-masa “new normal” ini, begitu menggoda. Banyak dari kita yang terpincut dengan fitur-fitur dan potensi-potensi yang bisa kita manfaatkan untuk agama dan untuk keagamaan kita. Lantas, bagaimana ke depan? Apakah hubungan mesra ini akan terus berlangsung setelah masa Corona? Jawabannya: “Selanjutnya, terserah Anda!” [MFR]

Catatan Ramadan Djeng Fatma – Part 1

Ramadan bukan sekadar bulan yang melulu berhias ibadah. Tetapi ia juga menjadi momen bagi muslim untuk melakukan refleksi diri (muhâsabah), terutama di masa sulit selama pandemi ini. Kebijaksanaan bisa datang dari hal-hal kecil di sekeliling kita, tentu bagi mereka yang mau merenung dan belajar. “The Greatness in the Small Things,” kata pepatah.
 
“Catatan Ramadan Jeng Fatma” hadir sebagai bentuk refleksi dari penulisnya akan segala hal di sekitar kita; mulai dari masalah perempuan, keluarga, pekerjaan, kisah asmara dan sebagainya. Dikemas dalam bahasa yang renyah dan enak dibaca, semoga catatan ini menggugah kesadaran kita semua untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Pengantar Admin

1# Perempuan dan Anak

Sekian tahun lalu, ada kakak angkatan yang telah menikah kemudian beberapa tahun kemudian belum dikaruniai keturunan. Orangnya sangat baik, berdedikasi dalam pekerjaan, kreatif, dan jiwa sosialnya tinggi.

Dulu, sekitar waktu kuliah, saya orang yang suka ikut-ikutan untuk guyon kepada orang yang baru menikah: “Udah hamil belum?”

Tapi semenjak saya mengenal kakak angkatan itu beserta sebagian cerita perjalanan reproduksinya, saya jadi berjanji pada diri sendiri, sampai sekarang, untuk tidak akan pernah menanyakan kehamilan pada orang yang telah menikah.

Saya melihat perempuan-perempuan di sekitar saya tetaplah memiliki kualitas diri yang baik, dengan atau tanpa anak. Sudah cukup rasanya saya mendengar cerita teman yang keguguran, 10 tahun menikah belum berputra, apalagi hanya 2-3 tahun menanti buah hati. Atau kisah nyata yang dibukukan, misalnya jungkir balik berkali-kali inseminasi atau program bayi tabung tapi gagal. Kasus lain, bayi lahir beberapa hari, kemudian meninggal

Bahkan ke kakak kandung sendiri, saya tidak pernah resek untuk segera menyuruhnya punya anak kedua setelah anak pertamanya sekian tahun. Saya pelan-pelan bicara pada ibu juga, bahwa apapun yang kita pikir baik untuk disarankan ke seorang wanita dan pria tentang memiliki anak, tentu orang yang paling “mikir” adalah pasutri itu sendiri.

Mereka punya pilihan-pilihan hidup sendiri, pertimbangan, persiapan biaya, kemampuan mengasuh, serta memberi pendidikan

Kalau saya pernah terucap dengan sengaja untuk sekadar basa-basi, “gimana, sudah isi?” dan ada yang tersakiti, saya mohon maaf. Mestinya itu tidak sengaja, karena saya berjanji untuk itu tadi. Termasuk juga ke para mahasiswa saya yang sudah menikah.

Kata teman saya yang belajar hadis, “Sebaik-baik muslim adalah yang saudaranya selamat dari lisannya.”Artinya, tidak banyak menyakiti orang lain dengan perkataannya

Sangat mudah tuhan menitipkan anak atau tidak pada suami-istri, seperti kisah Nabi Zakaria

Saya menghargai orang lain bukan dari berapa jumlah anaknya, tapi bagaimana cara berpikir, merasa, bersikap, dan berperilakunya.

2#Perempuan dan Tawa Lelaki

Ah, senang sekali perempuan mendukung perempuan. Perempuan yang merasa berdaya, merdeka, dan memutuskan untuk menjadi aktivis di lingkungannya.

Kadang miris juga melihat dua kutub posisi perempuan yang berbeda. Di lain pihak, ada perempuan-perempuan inspiratif macam pemilik yayasan, pembawa acara, pendiri sekolah, menteri, presiden, pengusaha, selebgram yang menghibahkan donasi milyaran.

Sementara di belahan bumi lain, perempuan dimaknai tak lebih dari meme dan stiker menggemaskan, yang disebar oleh banyak orang di grup tanpa tahu itu anak atau istri siapa.

Perempuan yang dijadikan objek lucu-lucuan, dengan gambaran kulit putih mulus, rambut hitam lebat, kadang kala juga baju ketat dan belahan dada rendah. Sesuatu yang menimbulkan tawa lelaki (dan mungkin perempuan lain?) ketika dilontarkan di grup.

Please be mindful!

3#Gusti Mboten Sare

Kemarin seorang asisten rumah tangga (ART) mengeluh kepada saya.

“Saya ini sudah mengamalkan apa kata ustaz di Youtube. Wiridan, baca salawat seribu kali, alfatihah seratus kali, pokoknya semua. Kata Youtube, itu akan membuat kita dapat rejeki melimpah, duit yang banyak. Tapi saya sudah berbulan-bulan salawatan, nggak kaya-kaya juga!”

Ah, saya jadi ingat kata-kata Yusuf Mansur atau siapalah. Mungkin kita banyak wirid dan nggak kaya. Tapi Allah beri kita hidup tenang. Mungkin kita banyak sedekah dan tetap miskin. Tapi Allah jauhkan dari musibah dan penyakit

Mungkin kita berbuat baik dan tetap dijahatin orang. Tapi Allah membuat anak-anak kita jadi anak berbakti.

Gusti mboten sare!

4#Rezeki, Tuhan yang Mengatur

Tadi pagi, saya ngobrol dengan salah satu perempuan. Dia cerita tentang entah kenapa keadaan ekonominya begitu-begitu saja.

“Si A, kalau dipikir-pikir, dia tidak kerja. Suaminya juga kerja serabutan. Tapi si istri selalu bisa dandan tebal dan pakai baju bagus. Gaya hidupnya seperti orang berpunya.

Sementara aku, sudah harus bangun jam 1 malam untuk nyiapkan dagangan. Pagi siang, keliling untuk menitipkan jajan. Sore dan malam harus putar otak lagi, harus terus gerak, untuk bisa memenuhi makan sehari-hari. Jujur, aku beberapa kali iri dengan si A. Kenapa dia bisa begitu dan aku tidak? Apa salahku? Kurang kerja keras apa aku?”

Sungguh, kondisi pagi yang sejuk, cocok untuk meng-ghibah-kan orang lain. Tapi saya ingat, ini Ramadan.

Tentu bukan hanya ini kasus yang saya temui. Bahkan mungkin, setiap diri kita pernah merasa tidak terima dengan kondisi yang ditetapkan Tuhan, lalu bertanya-tanya, salah saya apa

Seperti video @dewisandra yang baru saya lihat. Saya baru tahu juga bahwa dalam episode hidupnya, pernah sangat putus asa hingga berpikir untuk bunuh diri. Dua tahun stres dan pikiran selalu kosong, ketika di luar panggung.

Menghadapi rumah tangga yang hancur, dicap perempuan bermasalah oleh banyak orang, dll. Dia bertanya pada diri sendiri, “Tuhan, sebegitu dosanya ya, diriku? Salahku apa? Aku tidak pernah menipu orang. Menyakiti orang dengan sengaja. Mencuri. Mengapa Kau buat jalan hidupku begini?

Saya sekarang dalam fase malas menghakimi orang lain. Siapa yang lebih bekerja keras dan siapa yang lebih malas. Yang lebih rajin salat dan tidak. Yang lebih banyak bersedekah dan tidak. Yang mengakibatkan satunya kaya dan satunya tetap “miskin.”

Ghibah tadi pagi pun berakhir ditiup angin. Saya diam mendengarkan saja, karena dia tidak meminta pandangan ataupun nasihat saya. Dan saya tidak hobi memberi nasihat.

Tetapi satu yang saya yakin sekali: Tuhan Maha Melihat, Maha Teliti. Tidak mungkin salah catat amal dan rezeki orang

5#Selebriti dan Derma

Memasuki era dimana “selebriti” yang tidak tampak berderma di waktu sulit akan dihina, dan yang berderma terang-terangan dicap riya’.

Memaksa mereka melakukan klarifikasi terbuka di media bahwa blablabla…

Ironi. Bahkan seprivat keikhlasan pun harus dijelaskan.

Bagaimanapun, tetaplah berderma, teman-teman

Biarkan niatmu hanya Tuhan yang Tahu.

(To be continued)

Telusur Islam Kediri (2): Jejak Dakwah Syekh Abdul Mursyad Setonolandean

Para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Ulama dan para auliya’ memiliki peranan yang sangat signifikan dalam proses dakwah Islam di berbagai wilayah, termasuk sudut-sudut daerah di tanah Jawa. Peran para wali dan ulama seperti tokoh Walisongo beserta keturunan dan santri-santrinya telah memegang kendali yang sangat vital dalam laju tumbuh dakwah Islam di tanah Jawa. Begitu penting peran ulama dan para wali, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Para ulama adalah pewaris para Nabi terdahulu”.

Di tanah Kediri, tepatnya di Komplek Pemakaman Setonolandean, kurang lebih 5 KM dari desa Mrican-Kota Madya Kediri-Jawa Timur, terdapat makam waliyullah dan penyebar Islam di wilayah Kediri dan sekitarnya: Syekh Abdul Mursyad. Beliau, menurut keterangan dari silsilah yang diterbitkan oleh Yayasan Kemanusiaan pimpinan Abu Mansur, dari garis ayah masih memiliki garis keturunan dengan Raden Patah-Demak. Beliau juga adalah salah satu dari putera Pangeran Demang II-Ngadiluwih. Kakeknya dikenal sebagai Pangeran Jalu alias Pangeran Demang I Setonogedong.

Kalau dirunut ke atas, silsislah Syekh Mursyad, menurut versi ini, adalah buyut dari Raden Panembahan Wirasmoro-Setonogedong, putera Sunan Prawoto, putera Sultan Trenggana, putera Raden Patah-Demak. Tanggal pasti masa hidupnya belum bisa diketahui secara meyakinkan, namun kemungkinan besar pada masa antara Demak akhir atau abad ke XV- XVI.

Versi lain mengenai garis keturunan Syekh Mursyad menjelaskan bahwa silsilah beliau berujung bukan kepada keturunan Kerajaan Demak, tetapi pada kerajaan Mataram Islam. Berdasarkan tulisan KH. Busrol Karim A Mughni (2012), Syekh Mursyad adalah keturunan dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dua versi yang berbeda mengenai silsilah Syekh Abdul Mursyad tersebut disebabkan memang minimnya sumber tertulis dan bukti fisik guna melacak kepastian garis keturunan dari beliau. Tetapi secara garis besar, kemungkinan silsilah dari Syekh Abdul Mursyad dapat disimpulkan pada dua versi tersebut. Guna memastikan kepastian kebenaran dari salah-satunya, perlu diadakan penelitian lebih lanjut.

Selain silsilah, ada hal yang menarik yang berkaitan dengan makam Syekh Mursyad, berdasarkan tulisan dari Sigit Widiatmoko dan Alfian Fahmi, “Islamisasi di Kediri: Tokoh dan Strategi Islamisasi.”  Makam beliau sebelumnya berada di kawasan pabrik gula Merican. Artinya, makam Syekh Mursyad yang berada di Setonolandean merupakan hasil pemindahan dari lokasi pabrik gula Merican.

Bahkan hingga sekarang, pada bekas makam yang terletak di bawah cerobong asap pabrik gula tersebut masih tersisa sebuah bangunan kecil yang masih dijaga keberadaanya hingga kini; bangunan kecil ini sekaligus sebagai tanda bekas lokasi makam Syekh Abdul Mursyad yang pertama. Pemindahan makam Syekh Mursyad tersebut dipicu adanya proyek pembangunan oleh kanal pabrik gula Merican pada sekitar tahun 1900-an.

Dalam hal strategi dakwah Islam, Syekh Abdul Mursyad menggunakan dua jalur, yakni jalur pendidikan dan jalur kesenian. Jalur pendidikan di sini diartikan bahwa semasa hidup Syekh Mursyad pernah merintis dan mendirikan sebuah perguruan atau padepokan untuk mengajarkan ilmu agama dan ilmu kanuragan. Berawal dari padepokan tersebut, muncullah tokoh-tokoh kunci penyebar agama Islam di berbagai wilayah tanah Jawa yang muncul dari proses pendidikan Islam yang beliau rintis.

Sebagian tokoh tersebut adalah para murid dan keturunan beliau yang telah terbukti banyak menjadi muassis pesantren dan tokoh penting syiar Islam, seperti Ki Anom Besari (Caruban-Madiun), Kyai Hasan Besari (Ponorogo), Kyai Abdul Rahman, Kyai Nur Syaiq, Kyai Sholeh (Banjarmelati-Kediri), Syech Basyaruddin (Tulungagung), dll. Perlu dicatat, para kyai besar pendiri pesantren di Jawa Timur dan Jawa tengah banyak bersanad kepada para tokoh hasil gemblengan Syekh Abdul Mursyad.

Jalur kedua dari dakwah Syekh Abdul Mursyad adalah metode kesenian; Syekh Abdul Mursyad diyakini sebagai pelopor tumbuhnya kesenian jemblung—seni bercerita dan mendongeng—yang zaman dulu sangat lekat dengan kebudayaan lokal Kediri dan sekitarnya. Syekh Mursyad memodifikasi kesenian ini sedemikian rupa, terutama dalam hal cerita dan lakonnya. Kesenian jemblung ini juga digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat Kediri agar tertarik masuk agama Islam dengan suka gembira dan tanpa paksaan. Strategi Syekh Mursyad dalam memanfaatkan kesenian jemblung adalah strategi yang umum dipakai terutama oleh Walisongo, seperti Sunan Bonang dengan kesenian Bonang-nya dan Sunan Kalijaga dengan kesenian wayangnya.

Demikianlah kehalusan dan kegigihan dakwah yang dilakukan oleh seorang tokoh penyebar Islam di wilayah Kediri, yaitu Syekh Abdul Mursyad. Kegigihan beliau membuahkan harum semerbak ajaran Islam yang mengakar kuat dan  tersebar di berbagai plosok wilayah Kediri dan daerah-daerah lain sekitarnya. Untuk mengenang jasa dan perjuangan beliau di dalam merintis dakwah Islam, penulis mengajak para pembaca yang budiman guna menghadiahkan fatihah kepada beliau, lahul fâ-Tihah. Wallâhu a’lam.[MFR]

Men-Syariah-Kan Gadai, Menggadaikan Syariah

Tapi pada praktiknya, hampir tidak ada bedanya antara pegadaian konvensional dengan syariah, karena pada keduanya sudah ditetapkan oleh pemberi pinjaman, padahal seharusnya disepakati berdasarkan musyawarah dalam skema syariah.

Masyarakat kita yang mayoritas Muslim merupakan pasar yang sangat luas untuk produk apapun yang mengatasnamakan syariah. Jadi, tidak bisa dipungkiri, produk dengan konsep syariah biasanya laku di pasaran. Mind set masyarakat kita masih menganggap apa pun yang berlabel syariah, pasti baik dan halal.  Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya keliru. Namun ia perlu disertai juga dengan sikap kritis; tidak seluruh produk dijalankan sesuai dengan kaidah dan prinsip syariah yang benar.

Demikian pula halnya dengan pegadaian berplat merah milik pemerintah. Secara jenis pegadaian terbagi dua macam: konvensional dan syariah. Pernah suatu ketika saya mendatangi salah satu pegadaian yang berlabel syariah di Jakarta. Saya bertanya kepada karyawan di sana mengenai apa perbedaan antara pegadaian konvensional dengan pegadaian syariah. Jawaban karyawan tersebut terus terang membuat hati saya miris, begini jawabannya “Terus terang ya Pak, sebenarnya sama saja antara pegadaian konvensional dengan Syariah, hanya beda-beda istilah saja Pak, hitungan sih kurang lebih sama,” begitu penjelasan dia.

Dia menjelaskan bahwa pada pegadaian syariah, digunakan istilah ijarah sebagai pengganti bunga pada pegadaian konvensional, tapi secara hitungan tidak berbeda jauh, hanya perbedaan istilah saja. Menurut saya, hal tersebut menunjukan pemahaman yang dangkal terhadap konsep pegadaian syariah yang sebenarnya.

Menggadaikan barang sebenarnya sudah tercantum dalam Alquran dan hadis. Firman Allah SWT pada ayat terpanjang dalam Alquran di QS al-Baqarah [2]:282-283 menjelaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

(QS al-Baqarah [2]:282)


“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

(QS al-Baqarah [2]:283)

Quraish Shihab dalam Tafsir AlMisbah menjelaskan, ayat tersebut merupakan dalil yang membolehkan praktik gadai. Adanya perjalanan dalam awal ayat dinilai bukan menjadi sebuah syarat. Perjalanan disebutkan karena pada zaman itu para musafir sering kali meminjam uang untuk biaya perjalanannya.

Dalam Kitab Shihahihain, Bukhari-Muslim pun menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dengan pinjaman 30 wasaq jewawut. Nabi menggadaikannya untuk makan keluarganya. Quraish Shihab menjelaskan, praktik gadai yang dilakukan bukan pada saat Nabi sedang berada dalam perjalanan, melainkan saat Rasulullah berada menetap di Madinah.

Gadai berbasis syariah memang tidak memberlakukan sistem bunga seperti halnya yang diberlakukan pada skema konvensional. Pihak pegadaian tidak mengambil keuntungan dari sistem bunga pinjaman ataupun sistem bagi hasil. Pegadaian syariah mengambil keuntungan dari upah jasa pemeliharaan barang jaminan.

Bagaimana penetapan biaya jasa pemeliharaan barang yang digadaikan? Dikutip dari laman resmi Pegadaian Syariah, besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan ditetapkan berdasarkan taksiran barang yang digadaikan. Jika barang tersebut adalah emas, penaksir memperhitungkan karatase emas, volume, serta berat emas yang digadaikan.  Biaya yang dikenakan merupakan biaya penitipan barang, bukan biaya atas pinjaman karena pinjaman yang mengambil untung itu tidak diperbolehkan dalam konsep syariah.

Biaya penitipan barang jaminan meliputi biaya penjagaan, penggantian kehilangan, asuransi, gudang penyimpanan, dan pengelolaan. Besarannya bertambah sesuai dengan lama barang yang digadaikan. Bedanya dengan konvensional, biaya jasa simpan tersebut tetap setiap bulan. Jika jasa simpanan per bulan Rp50 ribu, jasa simpan bulan berikutnya menjadi Rp100 ribu.

Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penerima barang atau peminjam uang disebut murtahin, barang yang diserahkan disebut marhun, sementara rahin merupakan pihak yang menyerahkan barangnya atau penggadai. Murtahin memiliki hak untuk menahan barang sampai rahin melunasi semua hutangnya.

Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin, kecuali seijin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya tetap menjadi kewajiban rahin. Meski demikian, dapat dilakukan murtahin dengan jalan rahin membayar biaya jasa pemeliharaan dan penyimpanan kepada murtahin. Hanya, MUI memberi catatan bahwa besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh diterntukan berdasarkan jumlah pinjaman

Fatwa DSN MUI juga menjelaskan, pada dasarnya akad gadai emas syariah adalah qard ‘peminjaman’. Orang yang meminjam uang agar disetujui kemudian menjaminkan barangnya berupa emas kepada murtahin. Adanya penitipan agunan tersebut oleh murtahin menimbulkan ijarah (biaya sewa) yang dibayarkan oleh nasabah sebagai pihak rahin.

Dengan demikian, catatan penting dari MUI adalah hakikat dari fungsi pegadaian dalam Islam tersebut. Gadai, khususnya yang berskema syariah, seharusnya semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang sebagai jaminan. Pegadaian bukan untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.

Perbedaan mendasar antara pegadaian dengan skema konvensional dan Syariah terletak pada “bunga” pada pada pegadaian konvensional dan “ijarah” pada pegadaian syariah. Biasanya jumlah bunga itu didasarkan pada besarnya jumlah pinjaman dan jangka waktu pinjaman, serta jumlahnya ditetapkan oleh pemberi pinjaman. Sedangkan ijarah pada pegadaian syariah, besarnya didasarkan pada jenis barang dan tingkat risiko yang seharusnya ditetapkan berdasarkan musyawarah.

Tapi pada praktiknya, hampir tidak ada bedanya antara pegadaian konvensional dengan syariah, karena pada keduanya sudah ditetapkan oleh pemberi pinjaman, padahal seharusnya disepakati berdasarkan musyawarah dalam skema syariah.

Sebenarnya inti dari konsep syariah adalah terjadinya kesepakatan dengan cara musyawarah antara rahin dan murtahin, selain terpenuhinya rukun dalam akad rahn ini. Dengan adanya kesepakatan dengan cara musyawarah ini diharapkan kedua belah pihak tidak merasa ada yang dirugikan dan tentunya ikhlas. Wallahu alam.[MFR]