Den Haag, Jandanya Indonesia: Sebuah Esai Sejarah

Dia memang janda. Tentu saja sudah tua, dan tidak bisa disebut janda kembang pula. Sudah tua, karena sudah diceraikan oleh suaminya sejak 1949. Namun ia tetap cantik menawan, memesona siapa pun yang memandangnya. Lebih hebatnya lagi, dia disebut jandanya Indonesia. Ya, betul. Indonesia, negara kita. Bukan yang lain. Demikianlah orang menyebut kota Den Haag, atau dalam bahasa Inggris disebut “The Hague”, letaknya di negeri Belanda.

—— Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.

Dia memang janda. Tentu saja sudah tua, dan tidak bisa disebut janda kembang pula. Sudah tua, karena sudah diceraikan oleh suaminya sejak 1949. Namun ia tetap cantik menawan, memesona siapa pun yang memandangnya. Lebih hebatnya lagi, dia disebut jandanya Indonesia. Ya, betul. Indonesia, negara kita. Bukan yang lain. Demikianlah orang menyebut kota Den Haag, atau dalam bahasa Inggris disebut “The Hague”, letaknya di negeri Belanda. Kota tua itu memang sangat indah. Pada zaman kolonial, kota ini merupakan tempat tetirah kalangan elit ningrat Kerajaan Belanda untuk menikmati liburan mereka di musim panas. Bunga-bunga cantik aneka jenis dan rupa menghiasi taman-taman kota, membuat para pengunjungnya bak terbuai keindahan sekeping taman surga di muka bumi.

Mengapa disebut janda? Semula penulis pun tidak percaya. Tetapi pemandu yang mengantarkan penulis menelusuri jalan-jalan di kota Den Haag pada musim gugur beberapa tahun lalu dengan mantap menyebut kota itu adalah jandanya Indonesia. Namun, hal itu diekspresikan dengan nada sedikit kesal. Mengapa kesal? Pada masa penjajahan, menurut sang pemandu tadi, kekayaan negeri kita dikeruk habis-habisan oleh para kapitalis negeri penjajah itu. Kekayaan itu kemudian mereka gunakan untuk membiayai pembangunan kota-kota megah di negeri mereka, termasuk kota Den Haag. Sisa-sisa bangunan kuno nan megah dan tata kota yang indah dengan arsitektur klasik-menawan tampak cantik memesona. Dengan nada geram pula sang pemandu yang mengaku berasal dari Indonesia Timur itu menambahkan “semua gedung megah di kota ini dibangun dengan darah dan keringat nenek moyang kita. Mereka berhutang budi pada kita.”

Sebutan sebagai jandanya Indonesia tampaknya tidak hanya dikenali oleh si pemandu yang mengantar penulis bersama rombongan. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Indonesia, (dulu disebut the Dutch East Indies, atau Indies saja) yang menjadi koloni negeri Belanda, telah menorehkan tanda yang tak terhapuskan pada kota Den Haag. Sejak abad ke-19, para pejabat tinggi Belanda yang ditugaskan di negeri kita sering menikmati masa liburan mereka yang panjang di Den Haag. Disebutkan bahwa banyak ruas jalan yang diberi nama berdasarkan nama-nama tempat yang mereka kenali di Indonesia. Sayangnya, tidak dijelaskan seperti apa nama jalan itu, dan apakah nama jalan itu masih dipakai hingga kini atau tidak. Mungkin hanya warga kita yang pernah tinggal di kota itu yang bisa menjelaskan.

Sejak Belanda kehilangan haknya atas negeri jajahan mereka di India Timur (East Indies), sebutan “jandanya Indonesia” melekat pada kota The Hague atau Den Haag ini. Sebagai janda tentu ia sangat merindukan masa-masa indah yang pernah ia nikmati bersama suaminya dulu. Apalagi sang suami cukup baik hati dan terlalu memanjakan sang istri dengan membiarkannya menikmati kekayaan miliknya sampai ratusan tahun lamanya. Tidak heran jika sang istri tidak mau “diceraikan” dan masih ingin mendapatkan nafkah gratis dari suaminya. Ia resmi menjadi janda (yang kaya) sejak Belanda mau mengakui kedaulatan Negara Indonesia pada akhir 1949.  Akibat perceraian itu pula banyak warga campuran Indonesia-Belanda (disebut Indo) harus kembali ke Belanda. Mereka kemudian menetap di Den Haag. Kedatangan mereka dalam jumlah yang cukup besar ikut mewarnai pola kehidupan sosial di kota itu. Para Indo pendatang ini membawa serta kebiasaan yang mereka jalani ketika masih tinggal di Indonesia. Tampaknya mereka cukup berhasil menginternalisasikan nilai-nilai budaya timur dalam kehidupan mereka.

Sebagian besar dari Indo ini mungkin lahir dan dibesarkan di Indonesia. Tidak heran jika meski sudah bermigrasi ke Den Haag, kebiasaan hidup dengan nilai-nilai budaya timur itu masih melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di antaranya, jika memasak mereka selalu masak makanan cukup banyak karena sering kedatangan tamu secara tiba-tiba. Orang-orang tua, seperti kebiasaan di negeri kita, selalu mendapat perlakuan secara lebih sopan dan dihormati. Mereka juga selalu berjabat tangan dengan semua orang saat bertamu atau kedatangan tamu. Mereka tidak mau makan sambil berdiri, seperti kebiasaan orang Barat, dan beberapa tradisi lain yang hanya berkembang di negeri kita dan tidak dikenali dalam kehidupan sosial masyarakat Barat. Semua tradisi ini menjadi salah satu keunikan yang hanya didapat di kalangan pendatang Indo di Kota Den Haag. Keunikan ini pula yang menjadi alasan tambahan mengapa sebutan “the Widow of the Indies” layak disematkan pada kota ini. Label sebagai janda pun kemudian dimasukkan dalam sebuah lirik lagu: “Den Haag, Den Haag, die weduwe van Indie ben jij,” “Den Haag, Den Haag, you are the widow of the Indies.” Lagu yang digubah oleh Wieteke van Dort, seorang artis dan penyanyi Belanda berdarah campuran Eurasian, ini menandai salah satu fragmen perjalanan sejarah kota tua ini. Predikat sebagai “janda” tentu berkonotasi pejorative, ungkapan bernuansa sindiran sekaligus cemoohan. Sebagai jandanya Indonesia, Den Haag telah menjadi penanda khusus adanya pertalian budaya antara Belanda dan Indonesia.

Kota tua yang mulai dibangun tahun 1230 itu kini masih menjadi salah satu destinasi wisata utama di Negeri Kincir Angin tersebut. Para wisatawan, khususnya yang datang dari luar, tak mungkin melewatkan kunjungannya ke Negeri Belanda tanpa menikmati keindahan Kota Den Haag. Bunga-bunga tulip yang mekar pada musim semi selalu menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan. Di kota ini pula puluhan lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkantor, termasuk International Court of Justice dan International Criminal Court. Kedudukan The Hague pun bisa disejajarkan dengan New York, Genewa, dan Wina, Austria, sebagai kota yang banyak ditempati kantor-kantor perwakilan PBB. Dengan semakin mendunianya posisi Den Haag, kota ini pun mendapat status sebagai ibukota yuridis dunia. Selain itu, Den Haag juga menjadi kedudukan kantor kedutaan besar negara-negara sahabat, termasuk Indonesia.

Agresi Militer

Semula, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan negeri kita yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pengakuan Belanda atas kemerdekaan negeri kita itu diperoleh setelah mereka gagal dalam upaya menduduki kembali bekas tanah jajahan mereka sejak tentara Jepang berhasil ditaklukkan oleh tentara sekutu. Melalui perang yang memakan korban jiwa cukup banyak terutama di pihak bangsa Indonesia dan dilanjutkan dengan perundingan yang sangat alot selama kurang lebih tiga bulan, akhirnya mereka bersedia mengakui kedaulatan itu dalam Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Kota Den Haag juga. Perundingan yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu akhirnya menghasilkan sejumlah dokumen, antara lain Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi, serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Pihak Belanda juga menyepakati penarikan mundur seluruh tentara Belanda dari wilayah yang diduduki dalam agresi militer sejak pertengahan 1947, dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Pada 1942, Belanda harus hengkang dari bumi Nusantara, karena kalah melawan tentara Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, sebagai bagian dari fragmen Perang Dunia II. Negeri kita pun jatuh ke tangan penjajah berikutnya, tunduk di bawah kekuasaan Jepang yang mengaku sebagai saudara tua. Penjajahan Jepang yang berlangsung sekitar tiga tahun itu telah menorehkan kegetiran yang tiada tara, tidak kalah berat penderitaan kita dibandingkan dengan penderitaan di bawah kaki penjajah sebelumnya. Ketika akhirnya Jepang berhasil dikalahkan oleh tentara sekutu dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, bangsa Indonesia tidak ingin menyia-nyiakan momentum mahal itu untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berkedaulatan penuh. Maka berdirilah negara baru di kancah dunia internasional bernama Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945.

Namun, baru beberapa hari bangsa Indonesia menikmati kemerdekaannya, penjajah Barat datang kembali. Kali ini Belanda datang dengan berganti kostum dalam bentuk Netherland Indies Civil Administration (NICA). Mereka datang dengan membonceng tentara sekutu selaku pemenang perang Asia Timur Raya. Kedatangan tentara NICA ini semula dimaksudkan untuk membantu tentara sekutu melucuti persenjataan tentara Jepang yang sudah ditaklukkan. Namun itu hanya kedok belaka. NICA ternyata mempunyai misi tersembunyi untuk datang ke Indonesia, yaitu mewujudkan pesan pidato Ratu Wilhelmina yang disampaikan pada 6 Desember 1942. Dalam pidato itu sang Ratu sebagai penguasa tertinggi negeri penjajah tersebut menyatakan bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara kerajaan Belanda dan Indonesia di bawah naungan Kerajaan Belanda.

Jenderal van Mook, selaku pimpinan NICA, berusaha merealisasikan misi tersembunyi tersebut dengan kekuatan penuh. Meskipun sempat digelar perundingan, van Mook tidak rela kehilangan wilayah jajahan yang dulu menghidupi negeri leluhurnya selama ratusan tahun. Ia pun segera menyiapkan serangan kilat untuk menduduki wilayah-wilayah strategis untuk mewujudkan misinya. Misi itu, menurut NICA, didasarkan pada asumsi bahwa bangsa Belanda masih berhak menguasai kembali wilayah jajahannya dulu. Menurut mereka, secara de jure, dilihat dari perspektif hukum internasional, pendudukan suatu negara dalam perang tidak mengubah kedudukan hukum wilayah yang dikuasai sebelumnya. Dengan asumsi seperti itu van Mook merasa yakin akan dapat menguasai kembali wilayah Indonesia dengan mudah. Namun van Mook harus gigit jari, karena respon rakyat Indonesia tidak seperti yang diharapkan. Dengan proklamasi kemerdekaan yang tersiar luas ke seluruh dunia, rakyat Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh atas seluruh tanah airnya. Didukung oleh puluhan juta rakyatnya dengan sistem pemerintahan yang telah mereka bangun, mereka tidak rela kehilangan kedaulatan negara, dan siap mempertahankan kemerdekaannya dari rongrongan kaum penjajah.

Perundingan resmi pertama, seperti tercatat dalam buku-buku sejarah nasional kita, ialah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak mewakili pemerintah Kerajaan Belanda, sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan AK. Gani. Inggris ikut terlibat sebagai penengah, diwakili oleh Lord Killearn. Dalam perundingan ini disepakati, antara lain: (1) Secara de facto, Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI; (2) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat untuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). (4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda.

Isi perundingan ini jelas-jelas sangat merugikan pihak Indonesia karena dengan menjadi negara persemakmuran Indonesia tetap berada di bawah bayang-bayang Belanda. Para juru runding dari Indonesia tampaknya terpaksa mengambil jalan damai, mengingat bahwa angkatan perang RI belum cukup memadai untuk menghadapi kekuatan militer Belanda. Maka tidak heran jika hasil perundingan ini menimbulkan kekecewaan dan pertentangan luas di kalangan para pejuang RI. Apalagi, pihak Belanda sering melakukan pelanggaran teritorial dan memicu konflik bersenjata dengan para pejuang kita. Dengan seringnya terjadi bentrokan antara kedua belah pihak, van Mook akhirnya mengeluarkan ultimatum agar tentara Indonesia ditarik mundur sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati. Ultimatum van Mook tersebut tentu memicu perlawanan lebih keras dari para tentara pejuang kita. Van Mook pun semakin murka, sehingga pada 20 Juli 1947 dia membuat pernyataan melalui radio bahwa pihaknya tidak terikat lagi dengan Perjanjian Linggarjati. Ia pun memerintahkan tentaranya untuk memulai serangan terhadap sasaran-sasaran strategis sebagai target penyerbuan. Mulailah apa yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I. Agresi ini berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947.

Dari sudut pandang Indonesia, Agresi Militer ini merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati. Maka pihak Indonesia pun segera melaporkan pelanggaran tersebut ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB segera merespons laporan tersebut dengan mengeluarkan resolusi 1 Agustus 1947, yang berisi desakan agar konflik bersenjata itu dihentikan. Atas laporan itu pula PBB kemudian mengakui eksistensi negara kita dengan menyebut nama “Indonesia” sebagai ganti dari sebutan “Netherlands Indies,” atau Hindia Belanda. Nama “Indonesia” kemudian digunakan oleh PBB dalam setiap keputusan resminya terkait dengan posisi negara kita. Desakan PBB ini, di samping tekanan dunia internasional, ternyata cukup efektif menekan ambisi Belanda untuk menguasai kembali negara kita. Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya bersedia menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresi militernya. Namun gencatan senjata itu ternyata tidak berlangsung lama. Belanda kembali mengingkari janji dan mulai melancarkan serangan berikutnya terhadap sasaran-sasaran strategis di berbagai wilayah negeri kita. Inilah yang selanjutnya dikenal dengan Agresi Militer II.

Agresi Militer II, yang oleh pihak Belanda disebut sebagai “Operasi Gagak” (Operatie Kraai), terjadi karena kegagalan PBB dalam menyelesaikan konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda melalui meja perundingan. Belanda tetap bersikeras untuk menguasai Indonesia. Tindakan sepihak Belanda ini jelas-jelas telah melanggar Perjanjian Renville. Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang berlangsung dari tanggal 18 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948, di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville. Kapal perang Renville yang sedang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, ini dipilih karena dianggap sebagai zona netral bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini diselenggarakan untuk menyelesaikan perselisihan akibat pelanggaran atas perjanjian Linggarjati. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda, yang dikenal dengan Garis van Mook. Dalam garis van Mook tersebut dinyatakan bahwa wilayah Indonesia tinggal sepertiga Pulau Jawa dan sebagian besar Pulau Sumatera. Tetapi Indonesia tidak menguasai wilayah-wilayah penghasil makanan utama. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, bahan makanan dan pakaian menuju ke wilayah Republik.

Dalam Agresi Militer II ini Belanda memulai serangannya dengan melumpuhkan Yogyakarta yang sudah ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia. Setelah Yogyakarta berhasil dikuasai Belanda, mereka segera menangkap tokoh-tokoh penting Republik, termasuk Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan RI dan ditangkapnya para tokoh penting tidak harus berarti Negara Republik Indonesia sudah bubar. Sebab, Sukarno selaku Presiden RI, telah memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Para tokoh Republik ini ditangkap kemudian diasingkan ke berbagai daerah secara terpisah-pisah. Inilah bagian dari upaya Belanda untuk melumpuhkan negara kita yang baru lahir tiga tahun sebelumnya.

Belanda konsisten dengan menyebut agresi militer ini sebagai aksi polisionil untuk mengelabui dunia internasional, bahwa semua tindakan militer Belanda ini adalah urusan dalam negeri semata, dan tidak perlu ada campur tangan dunia internasional. Belanda pun menganggap agresi militer dan penangkapan para tokoh sentral ini sebagai kemenangan besar yang mereka peroleh atas kekuatan Republik. Selain itu, Agresi Militer II ini juga dimaksudkan untuk membentuk Pemerintahan Interim Federal didasarkan pada Peraturan Pemerintah dalam Peralihan. Dengan agresi militer ini Belanda ingin menunjukkan kepada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan kekuatan militernya telah hancur tak tersisa, dan dengan demikian Belanda bisa bertindak semaunya untuk mengatur bekas tanah jajahannya itu.

Menuai Kecaman Keras

Namun tindakan Belanda itu segera menuai kecaman keras dari dunia internasional. Hal itu tidak pernah mereka perhitungkan sebelumnya. Salah satu kecaman itu justru datang dari Amerika Serikat yang menunjukkan simpatinya pada Indonesia, dengan membuat beberapa pernyataan, antara lain: (1) Jika Belanda masih terus melancarkan agresi militer terhadap RI, Amerika Serikat akan menghentikan segala bentuk bantuan yang diberikan kepada pemerintah Belanda; (2) Mendesak Belanda agar segera menarik mundur pasukan militernya ke luar dari garis status quo Renville; (3) Mendesak agar para tokoh Republik yang ditawan segera dibebaskan, dan (4) Mendesak agar segera dibuka kembali perundingan yang jujur berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Renville.

Di sisi lain, jatuhnya Ibukota Republik di Yogyakarta ke tangan Belanda ternyata tidak membuat semangat para pejuang kita runtuh begitu saja. Mereka masih tetap menggelorakan semangat perlawanan dengan melakukan serangan balik terhadap posisi-posisi Belanda di berbagai wilayah dengan melancarkan perang gerilya. Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, seperti tercatat dalam memori kolektif bangsa kita, telah memimpin perang gerilya ini hingga ke pelosok-pelosok daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, meskipun dalam kondisi sakit dan harus ditandu. Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer II, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap posisi pertahanan tentara Belanda. Tentara pejuang kita menjalankan strategi perang gerilya dengan memutuskan sambungan telepon, merusak jaringan rel kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya. Dalam posisi pasukan Belanda yang sudah semakin terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan mematikan pada pos-pos pasukan Belanda, terutama untuk merebut kembali Kota Yogyakarta. Peristiwa yang sangat heroik itu tercatat dalam sejarah perjuangan kita dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dengan serangan-serangan balik terhadap kedudukan tentara Belanda ini, pasukan TNI berusaha meyakinkan dunia, terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, masih mengendalikan pemerintahan (di bawah kendali PDRI), dan masih memiliki tentara reguler yang terorganisasi rapi dalam tubuh TNI. Untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan serangan spektakuler yang tidak bisa ditutup-tutupi oleh Belanda, dan harus diketahui oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI), serta agar diliput oleh para wartawan asing untuk disiarkan ke seluruh dunia. Untuk kepentingan menyampaikan pesan tersebut kepada UNCI dan para wartawan asing diperlukan pemuda-pemuda berseragam TNI yang bisa berbahasa Inggris, Belanda, atau Perancis. Serangan spektakuler itu disepakati dilakukan dengan target untuk merebut kembali Kota Yogyakarta.

Ada tiga alasan penting mengapa target serangan itu adalah Kota Yogyakarta: (1) Yogyakarta adalah ibukota Republik Indonesia, sehingga jika berhasil direbut kembali, walaupun hanya beberapa jam, akan berpengaruh besar untuk melemahkan posisi tentara Belanda; (2) Adanya banyak wartawan asing yang tinggal di Hotel Merdeka Yogyakarta, dan masih ada sebagian anggota delegasi UNCI serta pengamat militer PBB yang bertahan di hotel tersebut; (3) Memudahkan koordinasi penyerangan karena Yogyakarta berada di bawah komando Divisi III/Gubernur Militer (GM) III, sehingga tidak perlu mendapatkan persetujuan panglima yang lain. Di samping itu, semua anggota pasukan sudah mengenali dan menguasai betul medan tempur di wilayah operasi tersebut.

Walaupun TNI hanya mampu bertahan selama enam jam menguasai Kota Yogyakarta, Serangan Umum 1 Maret 1949 tersebut telah berhasil memperkuat posisi tawar Indonesia, sekaligus mempermalukan Belanda. Sebelum Serangan Umum itu Belanda telah membuat pernyataan bahwa dengan adanya Agresi Militer II kekuatan Republik telah dilumpuhkan. Tidak lama setelah Serangan Umum 1 Maret, TNI melancarkan Serangan Umum Surakarta yang menandai kesuksesan besar para pejuang RI karena berhasil membuktikan pada Belanda bahwa dengan perang gerilya TNI bukan saja mampu melakukan penyergapan dan sabotase atas kekuatan Belanda, tetapi mereka juga mampu melakukan serangan secara frontal terhadap basis kekuatan militer Belanda di Kota Solo. Kota Solo yang dipertahankan mati-matian oleh Belanda dengan kekuatan militer penuh terdiri dari pasukan kavaleri, persenjataan artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh ternyata bisa dibobol oleh kekuatan TNI. Serangan Umum Surakarta ini disebut-sebut telah mampu mengunci posisi Hindia-Belanda untuk selamanya.

Peliputan Majalah Life

Berbeda dengan negara-negara Timur Tengah yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia segera setelah proklamasi, nama Indonesia bahkan tidak pernah dikenali oleh publik Barat hingga awal 1950. Itu pun terjadi, antara lain, atas jasa majalah Life, edisi 13 Februari 1950 yang secara khusus menempatkan judul berita (headline) di halaman depan: “The New Nation of Indonesia.” Tidak kurang dari 15 halaman (termasuk cover depan) dari edisi tersebut digunakan untuk memperkenalkan Indonesia ke masyarakat pembaca di Barat. Hampir seluruh liputan tentang Indonesia ini berupa gambar. Hanya ada sedikit narasi pada halaman 83, diberi judul “The New Indonesia: A ‘Girdle of Emerald’ Changes Owners but Keeps Its Charm,” atau “Indonesia Baru: Untaian Zamrud Berganti Pemilik tetapi Masih Mempertahankan Pesonanya.” Foto-foto itu ada yang menunjukkan eksotisme alam dan budaya Indonesia, di samping peta geografis negeri kita. Ada juga foto Presiden Sukarno dengan pakaian kebesarannya sedang memperhatikan dua orang anaknya yang masih kecil-kecil bermain di salah satu sudut halaman istana Bogor yang asri.

Namun di antara sekian banyak gambar itu ada sebuah gambar dengan keterangan di bawahnya tentang karakter budaya kerja kita yang ditulis dengan nada sinis, berbunyi: “People Work Slowly in Their Ancient Way.” Maksudnya, orang-orang [pribumi] bekerja dengan sangat lambat dan cara yang kuno. Dijelaskan lebih lanjut bahwa mereka masih menggunakan tangan—tanpa bantuan peralatan atau teknologi yang diperlukan—bahkan disebutkan dengan cara-cara primitif. Bagi bangsa Eropa cara kerja seperti itu sudah lama ditinggalkan, sejak satu abad yang lalu. Begitulah penilaian wartawan Life terhadap pola kerja dan gaya hidup bangsa kita.

Dalam narasi pada halaman 83 terasa sekali adanya bias pemberitaan dalam majalah ini. Di situ antara lain disebutkan bahwa Indonesia merupakan “anaknya” Belanda yang telah diasuh oleh ibunya selama 350 tahun: “All of this was Indonesia, the 350-year-old child of Mother Holland.” Jadi, berbeda dengan ungkapan di awal tulisan ini yang menyebut Den Haag (baca: Belanda) adalah jandanya Indonesia, oleh majalah Life ini justru disebut sebagai ibunya. Tentu ini sangat ironis dan melukai hati kita sebagai bangsa Indonesia. Belanda tidak pernah mengakui dirinya sebagai penjajah dengan segala kebrutalan dan kekejamannya terhadap penduduk pribumi. Selaku negara imperialis, Belanda juga telah mengeruk kekayaan alam kita habis-habisan untuk kemakmuran penduduk negeri itu.

Kelanjutan dari narasi itu juga lebih menyakitkan lagi. “But the child at last yearned to be free; it grew unruly and rejected discipline. Then neighbors encouraged the mother to help it grow up, to live peaceably by itself.” Dengan menganggap Indonesia sebagai anaknya negeri Belanda tentu ini sangat bertentangan dengan realitas sejarah. Mereka tidak mau mengakui penjajahan dan penjarahan kekayaan alam serta perbudakan yang kejam terhadap bangsa Indonesia selama 350 tahun tersebut. Dalam kutipan tersebut ditulis, “tetapi sang anak ingin merdeka. Dia kemudian menjadi sulit dikendalikan dan tidak mau diatur.” Atas desakan para tetangganya (maksudnya negara-negara Barat yang mengecam agresi militer tersebut) Belanda terpaksa melepaskan negeri jajahannya untuk bisa hidup sendiri secara damai. Jadi berita dalam Life tersebut jelas-jelas sangat bias, tidak obyektif, tidak mau mengakui perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaannya dan tidak mau menyebut Belanda sebagai penjajah.

Mungkin pemberitaan dalam Life tersebut didasarkan pada pernyataan dari Ratu Juliana sendiri yang mengatakan: “The assumption of sovereignty by the young State, the Republic of the United States of Indonesia, its relinquishment by the Kingdom of the Netherlands and the conclusion of the Union is one of the most deeply moving events of our times, piercing as it were to the very roots of our existence ….” Maksudnya, secara garis besar, anggapan bahwa bangsa Indonesia telah memperoleh kedaulatannya dan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat (saat itu) yang lepas dari Kerajaan Belanda merupakan suatu guncangan sangat keras dan telah merontokkan kewibawaan negeri itu. Ada juga sebuah gambar dengan keterangan di bawahnya berbunyi: “Dutch departure from the palace at Batavia (renamed Jakarta) ends with the removal of an old governor’s portrait.” Maksudnya, sisa-sisa kekuasaan Belanda di Batavia (diberi nama baru Jakarta) telah berakhir dengan dikeluarkannya gambar gubernur yang lama dari istana.

Negeri Belanda merasa sangat kehilangan dengan lepasnya Indonesia dari cengkeraman penjajahan mereka. Lebih dari itu semua, mereka harus mengakui bahwa lepasnya Indonesia melahirkan malapetaka bagi Belanda. Maka terjadilah Agresi Militer pertama dan kedua, seperti telah diuraikan di atas, yang dilakukan oleh tentara Belanda untuk dapat menguasai kembali negeri jajahan mereka. Agresi Militer ini bertujuan untuk merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun rakyat Indonesia sudah sangat geram dengan semua perilaku brutal Belanda selama masa penjajahan yang lalu. Para tentara pejuang telah mati-matian mempertahankan kedaulatan negeri kita, bahu-membahu dengan seluruh elemen bangsa. [MFR]

Den Haag, Den Haag, …
Ternyata engkau seorang janda.
Cukuplah predikat itu melekat pada dirimu. Selamanya.
Meskipun kau tetap menyimpan pesona.

Alang-Alang di Ladang Kita

Benih yang unggul berkembang menjadi tananam yang sehat dan produktif jika ditanam di lahan yang subur dan terus dipelihara. Jika tidak, maka benih itu akan dikalahkan oleh alang- alang yang menguasai lahan pertanian kita

—- Prof. Fauzan Saleh

Seorang pengamat dari Australia mengisahkan pengalamannya ketika dia sedang mampir di warung kopi bersama seorang temannya. Untuk membeli dua cangkir kopi dan sepotong kue di warung itu, dia harus membayar Rp6000. Namun yang mengherankan si pengamat adalah bagaimana si tukang warung harus mengambil kalkulator untuk menghitung jumlah harga dari si pembeli itu: 2000+2000= 4000; 4000+2000=6000. Setelah si pembeli memberikan uang pecahan Rp10,000, si tukang warung kembali memainkan kalkulatornya untuk menghitung 10,000 – 6000 =4000. Tidak jelas mengapa si pengamat bule itu heran. Bisa jadi dia menganggap si tukang warung latah, sok modern bisa menggunakan kalkulator. Yang menarik ialah suatu kenyataan bahwa hanya untuk hitungan amat sederhana  itu  saja,  warga  masyarakat  tersebut  tidak  mau  (atau tidak  mampu) menggunakan kecerdasan dasarnya.

Itulah mengapa posisi remaja Indonesia (usia 15 tahun) hanya berada pada urutan ke-64 dari 65 negara yang disurvei oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development, ‘Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi’) dalam International Program for Student Assessment (IPSA). Sungguh suatu kenyataan yang amat memprihatinkan. Penilaian IPSA itu ditujukan untuk mengetahui kemampuan anak-anak  remaja  dari  negara-negara  yang  tergabung dalam OECD dalam bidang sains, matematika dan kecakapan membaca. Indonesia hanya unggul di atas Peru yang menempati urutan terbawah, 65.

Pertanyaan klasik yang belum pernah terjawab secara tuntas: apa yang salah dengan pendidikan kita? Penulis pun tidak ingin berpretensi mampu menjawab pertanyaan itu. Namun ada beberapa kenyataan yang dapat kita amati bersama dari pengalaman sehari-hari kita. Penilaian para pengamat pendidikan juga sudah sering dimunculkan di  media  untuk  memberikan analisis  tentang kenyataan tersebut. Salah satu uraian dikemukakan oleh pengamat bule Australia yang menuliskan artikelnya di Inside Indonesia, edisi Oktober-Desember 2013.

Problem pendidikan memang tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan lingkungan sosial budaya maupun geografis sekitarnya. Menurut alm. Prof. Muhaimin, pakar pendidikan Islam dari UIN Maliki Malang,  penyelenggaraan pendidikan pada hakikatnya tidak beda dengan menyemai suatu benih. Mula-mula tentu kita harus berusaha untuk mendapatkan benih yang unggul. Namun benih unggul itu tidak akan berarti banyak jika lahan pertanian yang kita gunakan untuk menyemai benih itu tidak dipersiapkan dengan baik.  Benih yang unggul berkembang menjadi tananam yang sehat dan produktif jika ditanam di lahan yang subur dan terus dipelihara. Jika tidak, maka benih itu akan dikalahkan oleh alang- alang yang menguasai lahan pertanian kita.

Kenyataan seperti itulah yang dapat kita lihat di lingkungan kita. Bagaimana guru dan lingkungan sekolah berusaha sekuat tenaga memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya, tetapi begitu keluar dari lingkungan sekolah anak-anak sudah  harus berhadapan dengan kenyataan yang amat kontras dengan yang diajarkan di sekolah. Itu pun jika sekolah (dan guru-gurunya) sendiri memiliki komitmen cukup tinggi untuk memelihara lingkungan sekolahnya dengan baik.

Faktor krusial yang menarik perhatian pengamat asing yang disebut di atas, antara  lain  adalah  kenyataan  bahwa  sekolah  tidak  pernah  bisa  menjalankan otonomi akademiknya. Sekolah terlalu banyak diintervensi oleh kepentingan birokrasi. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang sekolah dan guru-gurunya diperalat untuk kepentingan politik penguasa. Tidak heran jika kemudian menjadi guru-pendidik identik dengan menjadi birokrat yang harus tunduk dan patuh pada hierarki kekuasaan di atasnya. Sistem kebijakan politik di negeri kita masih menganut “madzhab” seperti itu. Dan jelas, itu amat merugikan dunia pendidikan kita.

Alang-alang atau ilalang adalah rumput liar yang sering tumbuh di sawah, ladang, pekarangan, lapangan atau halaman kosong yang tidak terawat. Ia bisa tumbuh di mana saja. Apalagi jika diberi kesempatan. Alang-alang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang kerap menjadi gulma di lahan pertanian. Dalam bahasa ilmiahnya ia dikenal  dengan  nama  imperata  cylindrica.  Sebagai  gulma  dan bersifat invasif kehadiran ilalang tentu tidak diinginkan karena sangat mengganggu pertumbuhan tanaman produksi dan akan  mengurangi hasil tanaman yang kita budidayakan.

Meski disebutkan memiliki banyak manfaat, terutama pada bagian akarnya, tanaman ini akan mengalahkan bibit unggul yang kita semaikan dengan segala harapan. Alang-alang tanpa ditanam pun akan dengan cepat tumbuh dan menjadi predator bagi tanaman lain. Bibit unggul yang kita tanam akan dengan mudah dikalahkan oleh kehadiran alang-alang yang tumbuh tanpa kita kehendaki. Prof. Muhaimin dalam suatu kesempatan memberikan kuliah umum di  Pascasarjana IAIN (waktu  itu STAIN)  Kediri,  beberapa  tahun  yang  lalu.  Beliau mengambil  i’tibar dari rumput ilalang untuk menggambarkan kompleksitas dunia pendidikan yang tengah kita bangun. Ibaratnya, jika kita ingin menanam padi maka sering sekali rumput- rumput liar ikut tumbuh sebagai gulma dan sangat mengganggu pertumbuhan padi yang kita tanam. Sebaliknya, ketika kita menanam rumput hampir bisa dipastikan tidak akan ada padi yang ikut tumbuh bersamanya.

Jika kita refleksikan dengan perkembangan saat ini, kondisinya akan tampak lebih parah. Wabah Covid-19 telah memorak-porandakan dunia pendidikan pada semua jenjang, mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi. Tentu bukan hanya dunia pendidikan saja yang terdampak oleh pandemi Covid-19 ini. Namun dunia pendidikan yang jadi tanggung jawab kita telah menunjukkan berbagai fenomena yang sangat memprihatinkan. Jika di atas Prof. Muhaimin mengkhawatirkan sia-sianya upaya gigih para pendidik dalam membangun kecerdasan peserta didik di  sekolah ketika  dihadapkan pada  realitas  pahit  di  tengah  masyarakat,  maka pandemi Covid-19 telah membuat semua gambaran itu ambyar dengan sendirinya. Sekarang ini bukan lagi bibit unggul yang pasti terdesak oleh rumput ilalang di alam bebas, tapi tempat penyemaian bibit unggul itu sendiri sekarang sudah tidak berfungsi dengan baik. 

Pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan teknologi informasi berbasis jaringan internet tidak mungkin bisa menggantikan peran guru-pendidik yang harus ikut mengawasi perkembangan perilaku siswa dan berupaya menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur dengan keteladan perilaku para guru yang hadir di lembaga pendidikan. Maka tidak terlalu salah jika kita ikut-ikutan latah meneriakkan “dunia pendidikan terserah!” dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.

Dengan merebaknya wabah Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berlalu, orang baru menyadari ternyata menjadi guru itu tidak mudah. Menyuruh anak belajar itu juga sangat sulit, padahal yang menyuruh orang tua si anak itu sendiri. Di dalam beberapa video dan meme yang berseliweran di dunia maya, sering kita temukan sindiran yang lucu-lucu dan menggelitik perhatian kita. Ada seorang ibu-ibu yang bertindak sangat emosional dengan memukuli atau mencubit anaknya sendiri karena si anak tidak mau disuruh belajar. Anaknya tambah rewel, menangis dan memberontak karena dia lebih suka bermain daripada disuruh mengerjakan tugas dari gurunya.

Ada  lagi  gambar  lucu  menunjukkan tahapan ketika  seorang anak  harus mengerjakan tugas-tugas dari gurunya di rumah. Anak dengan seragam Pramuka tingkat SD itu sudah siap dengan buku pelajaran di ruang belajar yang nyaman di rumahnya. HP sebagai sarana penunjang belajar juga sudah siap di atas meja. Pada 2 menit pertama dia tampak serius membaca buku pelajarannya. Pada 5 menit berikutnya dia sudah mulai menyandarkan kepala pada tangan kirinya.  Tanda- tanda bosan sudah mulai tampak dari bahasa tubuhnya. Selanjutnya, memasuki menit ke-10, dia sudah mengangkat kakinya di atas meja. Pada menit ke-12, badannya sudah disandarkan pada sandaran kursi. Merasa semakin nyaman dengan posisi seperti itu, pada menit ke-15 kepalanya sudah direbahkan pada sandaran kursi, dan pada menit ke-20 dia sudah membujurkan tubuhnya di atas kursi sofa yang empuk. Mata pun telah terpejam dengan sempurna, pulas dalam tidurnya.

Belajar di rumah secara mandiri, meski ditopang oleh fasilitas yang cukup, belum tentu efektif sebagaimana ketika siswa belajar di sekolah, di bawah asuhan dan bimbingan para guru dan pendidik, serta lingkungan sekolah yang didesain untuk belajar dengan baik. Gesekan dengan sesama teman sebaya juga menjadi faktor sangat menentukan dalam proses pembelajaran. Pandemi Covid-19 telah membuat kita tidak mampu memberikan pilihan-pilihan yang baik untuk proses belajar-mengajar bagi anak-didik kita. Ini bukan sekedar persoalan ilalang yang tumbuh liar mengalahkan tanaman padi di sawah kita, tetapi, gara-gara Covid-19, sawah kita tidak bisa ditanami padi lagi. Sungguh memprihatinkan.[MFR]

Makna Ritual Kurban dalam Islam

Berkurbanlah dengan hati ikhlas,  bukan  dengan   gengsi. Berkurban   untuk   meraih   ketakwaan,   bukan  mengumbar kecongkaan.

—– Prof. Fauzan Saleh

Seperti halnya Idul Fitri yang lalu, tampaknya suasana Idul Adha tahu n ini tidak akan jauh berbeda: murung, diliputi suasana keprihatinan. Kita belum bisa merayakan Idul Adha secara normal, melaksanakan takbiran keliling, atau menyelenggarakan shalat Idul Adha di lapangan atau masjid dengan jamaah yang besar. Selain itu, jika orang ingin berkurban ada ketentuan teknis yang harus dipenuhi dalam penyembelihan binatang kurban, antara lain harus menghindari kerumunan massa, jumlah petugas yang terbatas, dan mematuhi semua protokol kesehatan. Ada juga anjuran agar penyembelihan binatang kurban dilaksanakan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan jagal dan teknik yang profesional. Ini semua dimaksudkan agar penyembelihan binatang kurban tidak menjadi sumber penyebaran virus korona yang masih mengganas. Sejalan dengan itu, demi menjaga keselamatan bersama, pemberangkatan jamaah haji Indonesia tahun ini pun ditunda. Mereka yang sudah bertahun-tahun berharap bisa segera berangkat haji terpaksa harus bersabar lagi untuk menunggu kesempatan pada tahun-tahun berikutnya, sampai kondisi benar-benar dirasa aman. Kita belum tahu, kapan pandemi Covid-19 akan berlalu dari ruang kehidupan kita.

Tidak berbeda dengan suasana Idul Fitri yang lalu, ritual Idul Adha tahun ini dianjurkan untuk dilaksanakan dengan mengadakan shalat ied di rumah masing-masing dengan jamaah dari anggota keluarga yang ada. Jika harus dilaksanakan di luar rumah maka jumlah jamaah harus dibatasi dan semuanya harus mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Tempat pelaksanaan shalat ied juga harus memiliki sirkulasi udara yang baik. Semua protokol ini harus dipatuhi guna mencegah penularan wabah Covid-19.  Khotbah  sebagai bagian dari ritual yang  tidak boleh ditinggalkan hendaknya disampaikan secara singkat dan padat. Seperti pengalaman saat Idul Fitri yang lalu, tidak sedikit orang membutuhkan contoh naskah khotbah ied. Diharapkan para ustaz, kiai atau ulama bersedia berbagi ilmu dengan membagikan naskah khotbah Idul Adha di grup- grup WA yang ada guna memudahkan mereka yang memerlukannya.

Ritual Idul Adha mengandung banyak pesan yang sangat luar biasa penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Selain terkait dengan makna ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam dengan kandungan pesan-pesan persatuan, persaudaraan, persamaan hak dan solidaritas sosial, ibadah kurban menjadi bagian yang tak boleh dilewatkan dalam merayakan Idul Adha, khususnya bagi mereka yang memiliki kecukupan harta. Islam, sebagaimana agama-agama dunia lainnya, mengajarkan umatnya untuk berkurban. Kurban adalah salah satu bentuk ritual yang diajarkan  oleh hampir  semua  agama,  dengan  pemaknaan,  tujuan,  dan  bentuk pelaksanaan berbeda-beda. Menurut Mariasusai Dhavamony (1995), upacara kurban merupakan upacara inti dalam kegiatan keagamaan, dan dalam tradisi agama-agama suku primitif, kurban darah merupakan tindakan religius yang utama. Dengan upacara atau ritual kurban tersebut, manusia religius mewujudkan persembahan pada kekuatan supranatural yang dipercaya sebagai penjaga kosmos untuk memperkuat hubungan dengannya, melalui keikutsertaan dan ambil bagian dalam persembahan yang disucikan. Dengan melaksanakan ritual kurban darah itu, menurut pandangan mereka, diharapkan keselamatan, kedamaian dan keselarasan hidup akan bisa diperoleh.

Dalam tradisi agama-agama primitif, kurban darah selalu menjadi ritual untuk menangkal kemurkaan Tuhan. Semua bentuk bencana, malapetaka, pagebluk dan kesulitan ekonomi selalu dikaitkan dengan kemurkaan Tuhan dan harus ditebus dengan menumpahkan darah manusia. Maka manusia harus rela mempersembahkan nyawa salah seorang anggota suku untuk meredam kemurkaan Tuhan tersebut sehingga diperoleh keselamatan dan terbebas dari mara bahaya.

Ternyata praktik mengurbankan manusia sebagai “tumbal” sudah dikenal luas di kalangan bangsa-bangsa di dunia di masa lalu, seperti bangsa Aztek, Jepang, Mesir, Yunani dan Romawi kuno. Namun belakangan muncul pendapat bahwa pengorbanan manusia bukan semata-mata untuk “menenangkan” kemurkaan Tuhan tetapi untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Hal itu cukup jelas seperti duraikan oleh Risa Herdahita Putri dalam artikelnya berjudul “Ritual Pengorbanan Manusia,” dalam https://historia.id/kuno/articles/ritual-pengorbanan-manusia.

Berdasarkan berbagai sumber yang jadi rujukannya, Risa Herdahita Putri menyimpulkan bahwa pengurbanan jiwa manusia itu hanya untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan pihak penguasa. Tidak heran jika sebagian peneliti beranggapan bahwa ritual persembahan manusia yang dibungkus dalam kemasan keagamaan merupakan bagian dari rancangan yang lebih jahat untuk kepentingan politik penguasa. Risa merujuk pada sebuah laporan penelitian dalam jurnal Nature (April 2016) yang ditulis oleh Joseph Watts, psikolog dan mahasiswa doktoral di bidang evolusi kebudayaan dari University of Auckland, Selandia Baru. Joseph Watts bersama timnya menemukan bukti yang cukup kuat bahwa para pemimpin pada bangsa-bangsa primitif tersebut sering menggunakan upacara persembahan sebagai jalan untuk memperkuat pengaruhnya atas rakyat yang mereka pimpin. Mereka melakukannya dengan mengambil peran sebagai perantara atau medium antara manusia dengan Yang Mahakuasa, lalu menyatakan diri sebagai penerjemah dari keinginan sang Dewata. Ini mereka lakukan semata-mata untuk mendapatkan legitimasi atas semua tindakan brutal dalam menjalankan kekuasaan mereka. Dengan cara seperti itu sebenarnya mereka hanya ingin membangun kewibawaan subyektif dengan menimbulkan rasa takut bagi mereka yang berniat menentang kekuasaannya.

Sejalan dengan pandangan di atas, dalam kajian sosiologi (Durkheim)  dan psikologi (Freud)  cukup  jelas  bagaimana  agama  sering  dimanipulasi  untuk  kepentingan  kekuasaan. Menurut Durkheim, agama muncul dan mendapatkan legitimasi melalui suatu momentum yang disebut  collective effervescence.  Istilah  itu  sendiri menunjuk  pada suasana kehidupan sosial ketika sekelompok individu yang tergabung dalam suatu masyarakat sedang berkumpul untuk melaksanakan ritual keagamaan.  Dalam suasana seperti itu akan muncul rasa persatuan dan kebersamaan  secara  efektif sehingga  terciptalah  suatu  “elektrisitas  sosio-psikologis”  yang mampu mengantarkan anggota kelompok itu pada kegembiraan emosional kolektif yang tinggi. Kekuatan  ekstra-individual  sekaligus  bersifat  impersonal yang  merupakan  elemen  inti  dari agama itu akan mengantarkan anggota kelompok pada dimensi baru dari kehidupan mereka, melampaui keseharian mereka.

Menurut Durkheim, keyakinan agama bisa dibangun dari suasana yang tercipta melalui interaksi intensif di antara individu anggota kelompok seperti itu. Tampaknya realitas sosiologis seperti itulah yang menjadi landasan konseptual interpretasi- sosiologis Emile Durkheim tentang agama. Dia menegaskan bahwa Tuhan yang disembah oleh suatu masyarakat adalah wujud khayali yang secara tak sadar dibentuk sendiri oleh mereka. Di sinilah keinginan mengontrol kehidupan individu anggota kelompok dijalankan oleh penguasa dengan mengatasnamakan kewenangan yang dia peroleh dari Tuhan. Tindakan sewenang- wenang, kejam,  dan  brutal pun  tidak  jarang  digunakan  untuk  meneguhkan  kekuasaan  sang pemimpin-penguasa, atas nama kesakralan agama yang telah dimanipulasi. Maka menentang keinginan sang penguasa akan dianggap sama dengan menentang kehendak Tuhan, dan oleh karenanya harus ditindas dan disingkirkan. Perlu diingat bahwa Durkheim membangun teorinya tersebut berdasarkan penelitiannya pada perilaku keagamaan masyarakat Aborigin di pedalaman Australia, pada awal abad ke-20.

Dalam artikel yang dikutip oleh Risa di atas juga disebutkan bahwa di Mesir Kuno dan China banyak ditemukan budak dikubur hidup-hidup bersama majikan mereka yang telah mati lebih dahulu. Sebagai budak mereka harus tetap setia melayani tuan mereka sampai di alam baka. Demikian asumsi yang dibangun. Namun pada hakikatnya, di situ terselip suatu kepentingan dari sang penguasa baru agar ia bisa membersihkan semua elemen yang berasal dari pemimpin yang digantikan agar tidak menjadi ancaman bagi kekuasaan yang dia dapatkan. Sang pemimpin baru berkeinginan agar loyalitas penuh rakyat terhadap dirinya tidak terganggu oleh sisa-sisa kekuatan lama. Persaingan di antara pewaris kekuasaan sudah sangat lazim terjadi dalam sejarah dinasti masa lalu. Itulah sebabnya, mengapa ketika sang penguasa baru muncul maka ia akan segera melakukan “pembersihan” terhadap sisa-sisa kekuatan yang berasal dari penguasa sebelumnya.

Sekali lagi, berkurban dengan mempersembahkan nyawa manusia atas nama agama itu tidak lepas dari kepentingan politik para penguasa.  Al-Qur’an berulang kali menyebut  kekejaman Fir’aun  terhadap  umat  Nabi Musa dengan  memerintahkan  membunuh  anak-anak  lelaki  dan membiarkan hidup anak-anak perempuan. Itu semua dilakukan demi mengukuhkan hegemoni Fir’aun dengan menyingkirkan semua potensi yang akan menjadi ancaman atas kelangsungan kekuasaannya. Untuk itu, Fir’aun pun tidak segan-segan mengklaim dirinya sebagai Tuhan yang sangat berkuasa, mampu membuat manusia hidup atau mati sesuai titahnya, dan mengaku bisa menciptakan sendiri taman surga dengan mengalirkan sungai-sungai di sekitar istananya.

Seperti telah disebutkan di muka, salah satu pelajaran penting dalam merayakan Idul Adha ialah ajaran tentang semangat berkurban. Dalam al-Qur’an, ajaran berkurban itu telah dicontohkan sendiri oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Isma’il, ‘alaihimassalam. Kehadiran Nabi Ibrahim dan putranya yang memerankan pelaksanaan ritual kurban sebenarnya merupakan antitesa dari tradisi berkurban yang terdapat pada hampir semua agama di dunia. Di sini Islam ingin menegaskan tentang makna kurban yang sebenarnya, dengan mendekonstruksi pemahaman manusia tentang sifat-sifat Allah dan hakikat kemanusiaan. Dalam ajaran agama-agama primitif, Tuhan sering digambarkan sebagai sosok yang pemurka, mengancam ketenangan hidup manusia di dunia jika kehendaknya tidak dipenuhi,  dan sebagai sosok yang haus darah.

Karena itulah manusia setiap saat harus menyediakan berbagai sesaji dan kurban untuk dipersembahkan kepada Tuhan guna menyenangkan hatinya agar dia tidak  murka dan  tidak mengancam keselamatan manusia. Sebagai sosok yang haus darah, tidak jarang sesembahan yang harus disediakan ialah gadis-gadis remaja yang cantik menawan dan “masih suci”, atau jejaka yang gagah dan tampan.  Anak-anak  manusia itu harus dijadikan korban atau tumbal dengan menumpahkan darahnya atau diambil jantungnya agar masyarakat dapat terselamatkan dari keganasan murka Tuhan. Inilah tradisi yang sering kita saksikan dalam berbagai ajaran agama-agama kuno. Islam datang untuk merombak gambaran yang menyesatkan tentang Tuhan tersebut. Oleh karena itu, ajaran Islam tentang kurban merupakan dekonstruksi atau perombakan yang bersifat revolusioner terhadap tujuan dan tradisi berkurban serta pandangan tentang Tuhan.

QS. al-Shaffat: 101-107 menggambarkan dengan jelas bagaimana Nabi Ibrahim telah memerankan dirinya sebagai seorang tokoh yang mampu melaksanakan perintah Tuhan yang amat berat, sebab beliau diminta untuk menyembelih anaknya sendiri. Hati siapa yang tega menyakiti, apalagi menyembelih anak sendiri? Tentu tugas ini terlalu amat berat dirasakan oleh Nabi Ibrahim. Namun karena perintah itu datang dari Allah SWT maka seberat apa pun Nabi Ibrahim tidak mungkin bisa mengelak, walaupun untuk melaksanakan perintah itu ia harus minta pertimbangan dari anaknya sendiri. Dan ternyata Ismail, sang putra kesayangan itu pun, dengan ikhlas bersedia menerima nasib yang telah menjadi ketentuan ilahi tersebut. Namun Allah Maharahman dan Maharahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Allah Mahasuci dari segala sifat yang mencerminkan angkara murka dan haus darah seperti digambarkan dalam agama-agama primitif.  Allah hanya menghendaki kepatuhan dan ketaatan hamba-Nya dalam menjalankan perintah. Maka ketika ketaatan dan kepatuhan itu telah diwujudkan dengan tulus, Allah pun segera menunjukkan keagungan dan kasih sayang-Nya dengan menggantikan sang Kurban, Ismail, dengan sembelihan yang besar. Nabi Ismail pun selamat  dari pembantaian.  Allah  Mahasuci,  Allah  bukan sosok  pemurka  yang  haus darah. Bahkan Allah Mahakaya. Dia tidak membutuhkan daging atau darah. Yang diminta oleh Allah adalah ketakwaan, kepatuhan dan ketaatan untuk menjalankan perintah-Nya semata. Di sinilah Allah menegaskan dalam al-Qur’an:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ

Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu

—— QS. Al-Hajj [22]: 37)

Dalam ayat ini jelas sekali ditegaskan bahwa pengorbanan berupa binatang sembelihan itu bukan untuk kesenangan Tuhan, tetapi merupakan sembelihan yang memberi manfaat bagi manusia. Manusialah yang lebih membutuhkan daging dari binatang sembelihan itu untuk memenuhi kebutuhan gizi dan memperbaiki nutrisi mereka. Sedangkan pada kesediaan manusia untuk menjalankan perintah itulah ketakwaan dibangun, yaitu berupa kepatuhan pada tatanan social berdasarkan  aturan-aturan ilahiah.  Setiap  individu  warga  masyarakat  tentu  memiliki kemampuan untuk berperan demi kebaikan hidup bersama. Karena itulah, semangat berkurban seperti tercermin dari makna peringatan Idul Adha itu pada hakikatnya merupakan ajaran yang dikehendaki oleh agama agar orang tidak hanya mementingkan diri sendiri dan kura ng peduli dengan kondisi masyarakat sekelilingnya.

Semangat  berkurban mengharuskan kita untuk bersungguh-sungguh dan serius dalam menjalankan perintah Allah. Di dalam syariat Islam, binatang yang kita jadikan kurban harus dipilih yang terbaik, sehat, tidak cacat, sesuai dengan kriteria dan persyaratan lainnya, bukan asal-asalan. Ketentuan ini merupakan cerminan dari bentuk keikhlasan dan kesungguhan kita dalam menerima perintah-perintah Allah. Jika tidak maka akan sia-sialah pengorbanan kita dan tidak akan diterima oleh Allah. Hal ini ditegaskan di dalam al-Qur’an  saat mengisahkan dua orang anak Adam yang diperintahkan untuk berkorban. Yang satu menerima perintah itu dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh dengan memilih harta yang terbaik untuk dikorbankan dalam rangka memenuhi perintah Allah. Sementara itu anak yang lainnya justru memilih harta yang sudah hampir rusak atau basi dan sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi. Maka hanya pengorbanan yang sungguh-sungguh dan ikhlaslah yang diterima oleh Allah. Hal itu ditegaskan dalam QS. al-Ma’idah: 27-29, yang artinya:

Dan bacakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka berita tentang kedua anak Adam ketika keduanya berkurban. Maka diterimalah kurban dari salah satunya, sedangkan kurban dari anak  yang  lain  tidak  diterima.  Maka berkatalah anak  yang  tak  diterima kurbannya: “Akan kubunuh kau”. Menjawablah saudaranya: “Sebenarnya Allah hanya menerima pengurbanan orang yang bertaqwa. Jika engkau mau menggerakkan tanganmu untuk membunuhku maka aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Aku hanya takut pada Allah, Tuhan sekalian alam. Aku hanya ingin engkau kembali dengan  membawa  dosaku  dan  dosamu  dan  engkau  akan  menjadi  penghuni  neraka, sebagai pembalasan bagi orang-orang yang dhalim.


Kepekaan dan kepedulian sosial akan tumbuh dan memberi manfaat pada kehidupan manusia jika semangat berkurban dapat ditanamkan pada setiap warga masyarakat itu sendiri. Lembaga-lembaga keagamaan dalam masyarakat, seperti masjid, madrasah, organisasi sosial- keagamaan, pengajian,  majelis taklim, lembaga dakwah, dan seterusnya, tidak mungkin bisa tumbuh dan berkembang jika tidak ada orang-orang yang bersedia berkorban dengan waktu, tenaga, pikiran dan hartanya untuk kemaslahatan umat yang lebih luas. Demikianlah, orang tidak mungkin bersedia mewakafkan sebagian tanah atau harta miliknya untuk kepentingan agama jika dia hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, atau hanya melihat kebutuhan diri sendiri dan anak turunnya saja. Padahal agama akan berkembang menjadi anutan dan pilar tatanan sosial yang bermanfaat dan membawa kesejahteraan jika lembaga-lembaga keagamaan terus dibangun dan  dikembangkan  dengan  kesediaan berkorban  dari  setiap  Muslim  dalam  masyarakat  itu. Bahkan bangsa yang besar ini pun tidak mungkin bisa tegak berdiri memeroleh kemerdekaan dan kedaulatannya tanpa pengorbanan jiwa raga dan harta benda para pahlawan dan pejuang pendahulu kita.

Terakhir, nasihat bijak dalam pelaksanaan ibadah kurban ini perlu kita perhatikan. Ritual kurban dalam ajaran Islam adalah sarana untuk mendekatkan diri pada Allah. Jika orang sudah berniat untuk berkurban maka ia harus memilih binatang yang terbaik, normal, besar, gemuk, dan mahal. Setelah itu berikanlah binatang kurban itu dengan ikhlas, rendah hati, penuh rasa kasih sayang. Jauhkan diri dari sikap riya,  sum’ah, dan takabur. Jangan jadikan binatang kurban sebagai sarana untuk pamer kekayaan dan kedermawanan. Berkurbanlah dengan hati ikhlas,  bukan  dengan   gengsi.   Berkurban   untuk   meraih   ketakwaan,   bukan  mengumbar kecongkaan. Daging dan darah itu tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi hanya ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. [MFR]

Selamat Idul Adha 1441 H.

Defisit Keagamaan dan Miskinnya Paradigma Aksi Keagamaan

Ket. Gambar: Nampak aktivitas salat fardu di teras Masjid Al-Furqon Denpasar. Salat berlangsung dengan standar protokol kesehatan mulai dari kebersihan saat wudu sampai jarak antarjamaah

Defisit keagamaan yang berakhir pada stagnasi paradigma aksi keagamaan juga berdampak fatal baik pada institusi keagamaan, agamawan, sampai kepada tataran umat….sudah saatnya institusi keagamaan tidak berdiam diri di tengah kesiapan menjelang new normal. Perlu cara-cara adaptif agar kekhawatiran defisit keagamaan dapat ditanggulangi, bukan berhenti pada peratapan.

—— Bethriq Kindy Arrazy

Tulisan ini adalah ekspresi kegelisahan. Ya, respons kegelisahan atas kegundahan yang dialami Prof. Fauzan Saleh, Guru Besar Filsafat Agama di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Beliau, sebagai akademisi cum Ketua PD Muhammadiyah Kediri, juga menarik untuk dilihat sekaligus diamati; selain dari aspek wacana, juga dari aspek pergumulannya yang kemudian mengonstruksi pemikirannya dalam artikel bertajuk “’Indonesia Terserah’ dan Defisit Keagamaan”. Lihat: http://saa.iainkediri.ac.id/indonesia-terserah-dan-defisit-keagamaan/

Ada beberapa aspek argumentasi Fauzan Saleh yang perlu ditelaah, dikoreksi, dan dikritik karena potensi kepincangan nalar keagamaan yang dilakukan secara konvensional. Di satu sisi, yang cukup mengkhawatirkan adalah Fauzan Saleh menempatkan Islam dalam posisi terjebak dan tidak berdaya; tanpa ada upaya untuk membongkar tradisi keagamaan konvensional yang dianggap sudah memiliki pakem ideal di setiap zamannya. Secara lebih lanjut hal ini dapat berakhir pada miskinnya paradigma aksi keagamaan. Tentu, hal ini berseberangan dengan spirit “Islam Berkemajuan” yang selama ini menjadi roh pergerakan Persyarikatan Muhammadiyah yang saya yakini memiliki semangat progresivitas.

Bila ditelisik secara kronologis, muara wacana defisit keagamaan merupakan respons atau menguatkannya wacana lanjutan dari “Indonesia Terserah” yang belakangan turut meramaikan opini publik. “Indonesia Terserah” merupakan ekspresi kekecewaan sebagian masyarakat kepada sebagian masyarakat lainnya yang semakin bebal dan abai terhadap peraturan pemerintah. Pembahasan ini secara khusus saya bedah dalam beberapa poin agar kritik kegelisahan yang terjabarkan memiliki fokus pijakan argumentasi, termasuk hal-hal apa saja yang kiranya dapat dilakukan dan diupayakan guna menindaklanjuti kegelisahan Fauzan Saleh perihal defisit keagamaan yang sedang terjadi di sekitar masyarakat kita.

Pertama, persoalan para mubalig yang dikutip dari esai Najib Hamid yang bertajuk “Nasib Mubalig kala Pandemi Korona”. Secara khusus saya belum menemukan formulasi positif yang diajukan Fauzan Saleh yang terhenti hanya sebagai problem kasus. Namun demikian, memaksakan kehendak dengan tetap mengundang jamaah pada sebuah majelis di sebuah masjid juga bukan pilihan tepat di tengah pandemi korona.

Saat seperti inilah, para mubalig seharusnya melakukan inovasi dakwah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Para mubalig tentu bisa belajar dari sosok Habib Husein Jafar Al-Hadar dengan dakwah digitalnya. Dari akun Youtube-nya yang bernama Jeda Nulis setidaknya sudah terdapat sebanyak 185 ribu subscribers. Jumlah itulah yang kemudian menjadi jamaah tetap di ruang virtual yang setia mengikuti konten pengajian yang diadakan oleh pendakwah yang juga menjabat sebagai Direktur Cultural Academy Jakarta ini.

Bagaimana dengan mubalig yang sudah berusia uzur atau gagap teknologi? Para mubalig yang sudah senior secara usia tidak perlu gengsi untuk belajar kepada sesama mubalig yang berusia lebih muda namun memiliki ketangkasan dalam berdigital. Ormas Islam bisa mengundang Habib Husein Jafar Al-Hadar untuk secara khusus memberikan pelatihan khusus yang difasilitasi pengurus daerah dan ranting. Bila misalkan segan atau gengsi karena afiliasi ormas atau pandangan keagamaan Habib Husein Jafar Al-Hadar, boleh mengundang mubalig lainnya yang memiliki kapasitas dan integritas di bidang dakwah digital. Walau sesungguhnya, terlepas latar belakang yang melekat, setiap manusia adalah guru, sedikit ataupun banyak hikmah ilmu yang diberikan.

Kedua, dampak lanjutan dari kesejahteraan para mubalig adalah kesejahteraan masjid yang memiliki kebutuhan operasional. Selama ini kesejahteraan masjid ditopang oleh ketulusan sedekah para jamaahnya. Kebijakan sosial distancing di setiap daerah berdampak pada turunnya pemasukan masjid. Hal ini menjadi persoalan serius, tidak hanya bagi para mubalig, melainkan juga para takmir yang menjadi ujung tombak kesejahteraan masjid.

Bagaimana persiapan aspek teknis dakwah digital? Mubalig tetap fokus mempersiapkan materi pengajian yang akan diberikan walau nantinya akan sedikit lebih dominan penyampaian dakwahnya karena kecenderungan satu arah. Adapun dengan hal-hal teknis seperti sosialisasi, pengambilan gambar, penyuntingan, dan publikasi, tetap melibatkan pengurus yang berusia muda, yang memiliki basis pengetahuan teknologi yang mumpuni. Di akhir pengajian, pengurus dapat menyosialisasikan kesediaan jamaah untuk menyisihkan sedekah untuk kesejahteraan masjid. Berikutnya, dalam pengajian selanjutnya, pengurus menyampaikan pendapatan sedekah hasil pengajian sebelumnya sebagai bentuk transparansi. Bagaimana pun juga masjid sebagai rumah ibadah berdasarkan aspek ritual keagamaan juga sebagai ruang publik dalam aspek hubungan sosial.

Sesungguhnya bila pelatihan dakwah digital itu mendapatkan respons yang baik, tentu akan menjadi modal yang baik pula untuk menghidupkan tradisi dakwah yang sudah lama berlangsung secara konvensional. Meski secara penyampaiannya dilakukan dengan cara-cara yang lebih baru dan kreatif. Problem warga yang memiliki keterbatasan ilmu keagamaan dapat ditekan seminimal mungkin. Selain juga kasus tersebut juga menjadi otokritik sudah seberapa besar inisiatif ormas-ormas Islam memberantas keterbelakangan keagamaan warganya. Dari sinilah tantangan itu dimulai.

Saya meyakini dakwah digital bisa menjadi alternatif, namun saya juga meyakini bahwa tidak semua aspek kehidupan dapat terwakili oleh teknologi. Pembentukan nilai-nilai akhlak jamaah tidak cukup dengan memanfaatkan teknologi, apalagi dalam hal pendidikan Islam. Pendekatan secara personal, komunal, dan psikologis tetap dibutuhkan. Namun setidaknya dalam kondisi seperti ini, pemaksaan diri juga akan berakhir pada kemudaratan. Teknologi sebagai varian dakwah juga perlu untuk dicoba. Setidaknya saat ini dakwah digital merupakan bentuk ikhtiar dan ijtihad para mubalig untuk terus mewarisi dan melanjutkan tugas-tugas kenabian.

Ketiga, menyoal pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, secara khusus umat Muslim di masjid. Saya mengambil contoh di Bali. Kawasan tersebut memiliki jumlah komunitas muslim tidak sebanyak dan dominan komunitas Hindu. Dari pengamatan saya, selama pandemi korona, salat jamaah seperti salat Jumat sampai salat Id ditiadakan. Meski begitu, suara azan tetap berkumandang sebagai penanda masuk waktu salat. Beberapa masjid juga masih melakukan salat jamaah fardu dengan jumlah jamaah dan saf terbatas.

Pembatasan kegiatan keagamaan baik yang bersifat instruksional maupun imbauan tidak hanya dialami oleh umat muslim di Bali, melainkan juga dialami umat agama Katolik, Protestan, Buddha, dan Hindu yang memiliki jumlah mayoritas di sana. Bahkan momen menjelang Nyepi yang jatuh tepat pada 25 Maret lalu, tidak ada kegiatan keagamaan umat Hindu yang biasanya secara tradisi turun-menurun dilakukan. Beberapa kegiatan keagamaan umat Hindu menjelang Nyepi di antaranya seperti pengarakan Ogoh-Ogoh yang membutuhkan dana tidak sedikit sampai pengerupukan ditiadakan karena berpotensi mendatangkan massa.

Jadi tudingan seakan-akan hanya umat Muslim saja yang mengalami pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah tidak tepat karena nasib yang sama juga dialami oleh penganut agama lain. Selain juga tidak semua masjid secara total menghentikan ibadah jamaah, baik salat fardu, salat Jumat, sampai salat Idulfitri. Di kampung saya misalnya, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, salat id tetap diselenggarakan di Masjid Baiturrahman, masjid terbesar yang setiap berlangsung salat Id, jamaah membeludak dari halaman masjid sampai jalan utama penghubung kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jember. Fenomena masih terselenggaranya salat Id ini barangkali juga terjadi di daerah lainnya secara masif karena kuatnya anggapan betapa sakralnya dan pentingnya salat Id. Di Bali, hal seperti itu tidak berlaku.

Keempat, sikap organisasi-organisasi keagamaan yang mengamini kebijakan pemerintah tentang pembatasan kegiatan keagamaan di rumah ibadah. Kita perlu bersikap proporsional, selama kebijakan pemerintah bertujuan untuk kebaikan publik, tidak ada salahnya didukung. Dalam situasi sulit seperti saat ini, setiap kebijakan selalu memiliki potensi risiko. Pembuat kebijakan, dalam hal ini adalah pemerintah, tentu harus memiliki kalkulasi kebijakan dengan risiko seminim mungkin. Namun demikian, pemerintah tetap harus dikritik seperti pembuatan kebijakan yang inkonsisten. Beberapa di antaranya PSBB yang longgar pengawasan, larangan mudik yang setengah hati, pembukaan mall dan transportasi publik, sampai konser solidaritas kemanusiaan “Bersatu Melawan Korona”.

Sikap organisasi keagamaan yang mendukung kebijakan pemerintah juga tidak bisa disepelekan. Disebut organisasi keagamaan karena di dalamnya terhimpun para agamawan yang memiliki kompetensi dan otoritas ilmu keagamaan yang mumpuni. Ketika mereka mengikuti kebijakan yang berhubungan dengan umat beragama, para agamawan tentu memiliki pertimbangan berdasarkan aspek teologis dan sosial; termasuk larangan salat Id secara berjamaah di masjid.

Negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Yordania juga menerapkan peraturan larangan salat Id berjamaah di masjid. Di Arab Saudi misalnya, hampir semua masjid dilarang mengadakan salat Id di kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Itu pun dengan jumlah jamaah terbatas dan dengan protokol kesehatan yang ketat. Larangan ini mengacu pada dekrit yang dikeluarkan Raja Salman bin Abdulaziz dan berakhir pada lockdown penuh sejak 1 hingga 4 syawal. Beda di Timur Tengah, beda pula di Indonesia yang masih tetap ingin melakukan salat Id di daerahnya masing-masing.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan keputusan kebijakan PP Muhammadiyah melalui hasil kajian Majelis Tarjih dan Tajdid dilakukan secara kolektif. Artinya, PP Muhammadiyah menggaransi bahwa setiap instruksi yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara dunia dan akhirat. Dalam tradisi Muhammadiyah, kajian-kajian Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki sumber pijakan yakni Alquran dan As-sunnah. Sehingga, pertimbangan syariah yaitu menyelamatkan jiwa atau nyawa lebih diutamakan daripada melakukan sunah yang dapat dilakukan di tempat lain tanpa menghilangkan esensi ritual keagamaan

“Coba aspek rasa dan kebiasaannya untuk saat ini dialihkan pada aspek ilmu dan ijtihad dalam beribadah. Jadi, kalau masih ada satu atau dua kader pimpinan kader ingin beribadah secara sendiri-sendiri. Menurut saya dari lubuk hati paling dalam dan dengan kerendahan hati, mari belajar berjamaah dan berjami’ah dengan baik. Insyaallah tidak akan kehilangan kok, misalkan yang masih protes ilmunya tinggi dengan mengikuti kebijakan PP Muhammadiyah tidak akan turun ilmu dan wibawanya. Kuncinya lillâhita’âlâ dan ikhlas dalam berorganisasi,” ujar Haedar dalam rekaman video webinar.

Hubungan kemitraan pemerintah dengan organisasi keagamaan yang memiliki hubungan instruksional sekaligus komunalistik kepada umatnya perlu diupayakan agar sebuah kebijakan yang berbalut legitimasi keagamaan dapat terdistribusi dan terimplementasikan dengan baik. Termasuk potensi risiko penyebaran korona di antara sesama penganut agama di rumah ibadah. Hubungan keduanya ini juga jangan dimaknai sekaligus disalahpahami sebagai upaya pemerintah mensubordinasikan organisasi keagamaan dan agama.

“Bahkan umat Islam diminta berkorban sangat banyak, meniadakan salat berjamaah di masjid, meniadakan kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang, dan akhirnya rangkaian ritual Idulfitri pun harus direduksi dengan sholat id di rumah masing-masing; tanpa kumandang takbir dari masjid-masjid dan tanah lapang tempat pelaksanaan salat Id,” kata Fauzan Saleh.

Ujaran sinisme bernada ketidakberdayaan sekaligus ketertinggalan ini saya kira perlu untuk dikesampingkan sesaat. Egoisme keagamaan seperti ini juga turut berpotensi membawa korban jiwa selain kita juga perlu kritis kepada setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Defisit keagamaan yang berakhir pada stagnasi paradigma aksi keagamaan juga berdampak fatal baik pada institusi keagamaan, agamawan, sampai kepada tataran umat. Terlepas dari diskursus di atas, sudah saatnya institusi keagamaan tidak berdiam diri di tengah kesiapan menjelang new normal. Perlu cara-cara adaptif agar kekhawatiran defisit keagamaan dapat ditanggulangi, bukan berhenti pada peratapan. Sebagai mana halnya Islam sebagai agama survival, baik secara fisik dan pemikiran. Maka tak sepantasnya Islam mengalami ketidakberdayaan atas ujian zaman. [MFR]

The Problem of Evil in Islamic Theology

A Study on the Concept of al-Qabih in al-Qadî ‘Abd al-Jabbâr al-Hamadhani’s Thought

The Problem of Evil in Islamic Theology: A study on the Concept of al-Qabîh in al-Qadî ‘Abd al-Jabbâr al-Hamadhani’s Thought was a thesis by Prof. Fauzan Saleh for obtaining his Master degree from the Faculty of Graduate Studies and Research, McGill University, Montreal, in 1992. The thesis attempts to examine ‘Abd al-Jabbâr’s point of view on the problem of evil, and to show how he maintains the concept of divine justice, a principal characteristic of Mu’tazilism, in the face of the problem of evil.

The work is downloadable at https://escholarship.mcgill.ca/concern/theses/m326m5905?locale=en

Naskah Orasi Pengukuhan Guru Besar Filsafat Agama- 2006 [pdf. available]

Jika Tuhan Maha Baik, Dari Manakah Datangnya Kejahatan

Naskah lengkap Orasi Pengukuhan Gelar Guru Besar Prof. Fauzan Saleh, Ph.D. berjudul, “Jika Tuhan Maha Baik, Dari Manakah Datangnya Kejahata,” bisa diunduh di link http://saa.iainkediri.ac.id/wp-content/uploads/2020/05/Orasi-Pengukuhan-Guru-Besar-Fauzan-Saleh-Ph.D-2006-2.pdf

Prof. Fauzan Saleh, Ph.D., lahir di Ponorogo, 19 Januari 1953. Menamatkan pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam, Gontor Ponorogo, 1973. Sejak tamat dari KMI penulis mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di Perguruan tersebut hingga 1979, sambil menyelesaikan pendidikan Sarjana Mudanya. Gelar Doktorandus (Drs.) diperoleh dari Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Ampel Surabaya, 1984. Pada tahun 1987 diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Ushuluddin IAIN Kediri. Selanjutnya, penulis mendapatkan beasiswa dari Canada International Development Agency (CIDA) untuk melanjutkan pendidikannya ke  jenjang Magister dan memperoleh gelar Master of Arts (M.A.) di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, 1992. Gelar Ph.D. diperoleh dari universitas yang sama tahun 2000, dengan disertasi berjudul “The Development of Islamic Theological Discourse in Indonesia: A Critical Survey of Muslim Reformist Attempt to Sustain Orthodoxy in the Twentieth Century Indonesia.” Atas saran dan dukungan Prof. Howard M. Federspiel serta persetujuan Prof. Eric Ormsby, selaku promotor dan co-promotor, disertasi tersebut akhirnya diterbitkan oleh E.J. Brill, di Negeri Belanda dengan judul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in Twentieth Century Indonesia: A Critical Survey (Leiden, Boston and Koln: Brill, 2001). Versi Indonesia terbit pertama kali dengan judul Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XII (Jakarta: Serambi, 2004). Dengan judul yang sama, setelah direvisi dan disempurnakan, buku tersebut kini bisa sampai di tangan pembaca berkat bantuan Penerbit Suara Muhammadiyah Yogyakarta, dengan tambahan bab “Epilog: Catatan Reflektif tentang Islam di Indonesia di Awal Abad Millennial.”

Penulis mendapatkan gelar professor di bidang Filsafat Agama dari Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, IAIN Kediri, tahun 2006, dengan pidato pengukuhan berjudul “Jika Tuhan Mahabaik, Dari Manakah Datangnya Kejahatan: Theodicy dalam Khazanah Intelektual Islam Klasik.” Di dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan penulis aktif di berbagai organisasi keagamaan, antaraa lain di ICMI, KAHMI, MUI, dan terutama di Muhammadiyah. Saat ini penulis dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Kediri.

“Indonesia Terserah” dan Defisit Keagamaan

Bagaikan goresan warna pada kanvas, ketika warna gelap semakin dominan, maka warna terang akan semakin kabur, lama-lama jadi abu-abu, dan akhirnya hilang jadi warna gelap semua. Ketika kegiatan pencerahan berhenti maka peluang menangkal kemungkaran akan semakin terbatas. Amar makruf pun jadi tambah berat. Begitulah mungkin gambarannya ketika kegiatan keagamaan dikalahkan, terdesak oleh kalkulasi ekonomi.

——–Prof. Fauzan Saleh, Ph.D.

Ramadan 1441 H pun sudah berlalu dalam suasana murung dan sepi. Malam Idulfitri, yang biasanya semarak meriah dengan kumandang takbir, berlalu tanpa keceriaan. Orang-orang lebih suka berdiam diri di rumah masing-masing tanpa interaksi dengan orang lain di luar keluarga satu rumah. Ramadan tahun ini memang sangat istimewa karena berlangsung di tengah pandemi Covid-19 yang sangat mencekam. Ketika Ramadan tahun ini sudah berakhir, pandemi Covid-19 masih sulit diprediksi kapan akan hilang. Sudah banyak gambaran dibuat oleh para pakar bahkan disertai info grafis dan video tentang kemungkinan akan berakhirnya Covid-19. Namun info itu hanya bisa memberi ketenangan sesaat dari keresahan yang panjang, seolah-olah ada harapan kita akan segera terbebas dari Covid-19. Nyatanya sampai hari ini, kita masih belum bisa mendapatkan kepastian apapun.

Dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 memang sangat luar biasa. Sejauh ini orang lebih banyak menghitungnya dari kalkulasi ekonomi, karena itulah realitas yang paling nyata dan langsung dirasakan oleh masyarakat banyak. Dampak ekonomi dari penyebaran wabah corona ini bisa berkembang liar hampir tak terkendali. Selain membuat negara-negara dunia hampir collapse, ia juga memengaruhi dimensi kehidupan sosial dan politik serta perilaku manusia secara luas, termasuk merebaknya kriminalitas. Namun ada dimensi lain yang mungkin sejauh ini luput dari perhatian kita semua. Apa itu? Itulah defisit keagamaan yang terjadi sebagai dampak dari serangan wabah virus corona saat ini. Tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi saya kepada para dokter dan tenaga medis yang terus berjuang menangani pasien Covid-19, izinkan saya melihat persoalan ini dari dimensi keagamaan yang ikut mengalami defisit akibat wabah corona ini.

Menjelang akhir Ramadan yang lalu, ada tulisan menarik dari Najib Hamid berjudul “Nasib Muballigh Kala Pandemi Corona” (https://pwmu.co/148887/05/21/nasib-mubaligh-kala-pandemi-corona1/). Uraiannya dimulai dari sebuah keprihatinan seorang ustaz yang karena terdampak secara ekonomi; dia membuat cuatan suara hatinya yang pedih: “Shalat Jum’at ditiadakan. Kajian-kajian ditiadakan. Tausiyah Tarwih ditiadakan. Kuliah Subuh ditiadakan …. Sementara tagihan listrik tetap bayar…. Ongkos kebutuhan hidup terus naik…”. Tidak sedikit ustaz atau mubalig yang sangat terpukul secara ekonomi dengan ditutupnya masjid dan ditiadakannya kegiatan-kegiatan sosial keagamaan yang –maaf—mungkin sejauh ini menjadi sumber pendapatan bagi sebagian dari mereka. Najib Hamid pun memberikan solusi agar para mubalig itu siap untuk menghadapi situasi normal baru. Dia menyarankan agar para ustaz dan mubalig bisa beradaptasi dengan teknologi informasi dengan menyampaikan materi dakwahnya secara online, sehingga bisa diakses oleh jamaah melalui perangkat gadget yang dimiliki. Dengan demikian, “sumber dana yang sempat mampet insyaallah akan mengalir kembali seperti semula”. Demikian solusi yang ditawarkan oleh Najib Hamid dalam tulisan tersebut.

Sekali lagi, yang dihitung sejauh ini hanya dampak ekonomi dari pandemi ini. Tetapi marilah sedikit kita tengok sisi lain dari keseharian di lingkungan kita sepanjang Ramadan yang baru saja berlalu. Apakah Anda pernah memerhatikan dampak yang ditimbulkan ketika masjid-masjid yang biasanya ramai sepanjang Ramadan, kemudian tahun ini menjadi tempat terlarang untuk dimasuki oleh jamaah? Sudah sekian pekan jumatan ditiadakan. Sudah satu bulan orang tidak bisa mengunjungi masjid di bulan suci ini. Sudah sekian ratus atau ribu mubalig tidak bisa menjalankan kewajiban mereka menyampaikan pelajaran dan memberikan pencerahan pada jamaah melalui media langsung di mimbar-mimbar masjid dan forum pengajian. Apa kira-kira dampaknya pada tingkat kehidupan keagamaan sejauh ini? Ini sangat memprihatinkan sekali, tetapi tampaknya tidak pernah diperhitungkan secara sadar oleh kita.

Ketika organisasi-organisai keagamaan dengan lantang mengamini kebijakan pemerintah untuk meniadakan kegiatan-kegiatan keagamaan yang berpotensi mengumpulkan masa demi mencegah penyebaran virus corona, maka di lapisan bawah pun harus patuh pada ketentuan itu. Namun apa dampak lanjutan dari kebijakan itu? Dan, apakah pencegahan cukup berhasil dilakukan dengan pelarangan kegiatan keagamaan di masjid, musala, dan forum pengajian? Yang sangat menyedihkan, ketika jatuh korban dari jamaah yang terindikasi positif corona, maka akan segera muncul tulisan “klaster tarawihan,” sejajar dengan klaster-klaster lainnya. Muncullah stigmatisasi terhadap masjid, imam, dan jamaahnya. Kalau semuanya harus diukur secara statistik dan objektif mungkin akan diketahui kalkulasi riilnya. Namun, mau tidak mau kita harus patuh pada ketentuan pemerintah dan instruksi dari pemimpin organisasi keagamaan yang kita ikuti dengan segala konsekuensinya.

Sebelum memasuki Ramadan yang lalu, penulis didatangi sejumlah jamaah yang mempertanyakan kebijakan meniadakan salat tarawih berjamaah di masjid. Jawaban penulis tentu sangat normatif, mengikuti instruksi dari pimpinan organisasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar. Setelah dua bulan lebih masjid-masjid tutup, kita baru tahu, bukan hanya masjidnya yang menganggur dan jamaah yang kebingungan, tetapi takmir masjid pun kesulitan mendapatkan dana untuk membiayai pemeliharaan masjid, terutama untuk membayari tagihan listrik PLN dan air dari PDAM. Takmir juga tidak mampu memberi insentif pada petugas kebersihan atau keamanan. Ketika masjid tidak digunakan untuk kegiatan sebagaimana mestinya maka kas masjid semakin berkurang, menipis dan akhirnya mengalami defisit, karena tidak ada pemasukan apa-apa. Pengumpulan zakat fitrah, apa lagi zakat mal, yang menjadi agenda rutin setiap masjid pada akhir Ramadan terasa sangat seret, tidak optimal.

Belakangan baru disadari bahwa banyak di antara warga kita yang, karena keterbatasan ilmu agamanya, tidak mampu melaksanakan salat tarawih tanpa ikut berjamaah di masjid. Mereka masih belum hafal bacaan-bacaan wajib dalam salat tarawih tersebut. Bahkan muncul berbagai tulisan dan video yang menggambarkan betapa seorang bapak, sebagai kepala keluarga, terpaksa menjadi imam shalat tarawih dengan bacaan Surat al-Fatihah yang berantakan. Ada juga tulisan cukup panjang tentang perdebatan jika sang suami tidak mampu menjadi imam salat tarawih karena tidak hafal surat-surat wajib dalam salat; apakah seorang istri boleh menjadi imam? Jawaban normatifnya tentu tidak dibenarkan. Namun hal itu telah menunjukkan suatu realitas yang getir tentang kualitas keagamaan warga masyarakat kita. Masih banyak umat kita yang sangat membutuhkan bimbingan secara langsung dalam mengamalkan ajaran agamanya, terutama dalam pelaksanaan ritual di bulan suci Ramadan ini.

Di luar itu, kita banyak menyaksikan kondisi yang lebih memprihatinkan lagi di lapangan. Sejauh ini, dengan berdalih qâidah ushûliyyah, “dar’ul mafâshid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih,” atau “menghindari kerusakan harus diutamakan dari mendapatkan keuntungan”, maka kita dipaksa untuk mengorbankan kegiatan keagamaan. Dalil-dalil pun dihimpun dan diuraikan secara detail untuk membenarkan prinsip tersebut, termasuk merujuk pada al-Ushûl al-Khamsah yang dirumuskan oleh al-Ghazâlî dan al-Syâtibî. Tetapi sekali lagi, orang lupa dengan dampak lebih lanjut dari kebijakan tersebut. Hampir sepanjang Ramadan ketika masjid-masjid ditutup dan pengajian-pengajian ditiadakan maka pencerahan keagamaan berhenti. Ketika kegiatan pencerahan tersebut tidak ada lagi maka umat dibiarkan dalam kebingungan, lepas kendali, dan -yang sangat membuat kita miris—agama seperti sudah ditinggalkan masyarakat. Maka orang pun bisa bebas makan, minum, merokok di siang hari di tempat umum selama Ramadan ini. Di sudut-sudut kota, di siang hari, orang bergerombol duduk-duduk di trotoar, makan, minum dan rokokan, tanpa memedulikan protokol kesehatan. Padahal ini bulan puasa di tengah pandemi Covid-19 yang ganas. Ramadan tahun ini seperti kehilangan nuansa sakralnya.

Dalam situasi normal, setiap menjelang Ramadan, hampir semua Pemerintah Daerah selalu mengajak MUI dan ormas-ormas Islam untuk duduk bareng dengan para pelaku usaha; mereka merumuskan kebijakan umum yang harus dipatuhi untuk menjaga agar situasi tetap kondusif selama Ramadan. Harapannya, umat Islam bisa menjalankan ibadah dengan tenang, dan para pelaku usaha bisa menyesuaikan diri dengan kondisi bulan puasa yang sakral ini. Maka orang menjadi sungkan untuk makan, minum atau merokok seenaknya. Tempat-tempat hiburan diatur jam bukanya agar tidak mengganggu pelaksanaan ibadah tarawih. Warung pun, kalau tetap buka, harus memasang tabir agar tidak terlalu menyolok, demi menghormati mereka yang puasa. Inilah poin-poin umum yang biasa disepakati di awal Ramadan. Tetapi karena Ramadan tahun ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19, seolah-olah tradisi yang baik itu sudah dilupakan. Bahkan umat Islam diminta berkorban sangat banyak, meniadakan salat berjamaah di masjid, meniadakan kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang, dan akhirnya rangkaian ritual Idulfitri pun harus direduksi dengan sholat id di rumah masing-masing; tanpa kumandang takbir dari masjid-masjid dan tanah lapang tempat pelaksanaan salat id.

Dari aspek penambahan ilmu agama dan peluang bagi mubalig untuk berdakwah, seperti ditulis oleh Najib Hamid di atas, masih ada media online untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tetapi itu sifatnya adalah suplementatif, bukan yang pokok. Seberapa banyak orang mau mengikuti pengajian online, sekalipun itu disampaikan oleh tokoh-tokoh hebat level nasional atau internasional? Mungkin hanya orang-orang terpelajar dan sangat peduli dengan kegiatan keilmuan yang mau mengaksesnya. Kebanyakan orang tentu akan merasa lebih meresapi materi pengajian yang disampaikan langsung di mimbar-mimbar masjid atau forum pengajian. Ketika fasilitas dakwah konvensional itu tidak berfungsi maka agama semakin jauh dari jangkauan umat. Orang kesulitan mengamalkan ritual rutin yang harus mereka jalani di bulan suci Ramadan tahun ini.

Bagaikan goresan warna pada kanvas, ketika warna gelap semakin dominan, maka warna terang akan semakin kabur, lama-lama jadi abu-abu, dan akhirnya hilang jadi warna gelap semua. Ketika kegiatan pencerahan berhenti maka peluang menangkal kemungkaran akan semakin terbatas. Amar makruf pun jadi tambah berat. Begitulah mungkin gambarannya ketika kegiatan keagamaan dikalahkan, terdesak oleh kalkulasi ekonomi. Ini tentu dilihat dari keluhan jamaah; jika masjid-masjid harus ditutup dan kegiatan keagamaan dibatasi, mengapa mal dan pusat-pusat kegiatan ekonomi dibiarkan ramai. Ada rasa sedikit ketidakadilan dialami oleh jamaah kita. 

Namun inilah kenyataan yang harus kita terima saat ini. Pandemi Covid-19 telah memaksa kita untuk pasrah dan mengalah. Apakah untuk urusan keagamaan ini kita akan mengatakan “Indonesia terserah” yang menandai rasa frustrasi, kebingungan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan menghadapi situasi yang sangat mencekam ini? Sebagai orang beriman kita tidak boleh berputus asa. Dengan terus berdoa dan bermunajat, kita mohon kepada Allah SWT kiranya umat Islam dan bangsa Indonesia akan segera dibebaskan dari wabah corona ini. Selanjutnya, para mubalig dan ustaz ke depan akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat, “mengembalikan umat pada situasi normal” di mana kondisi Ramadan yang muram itu dapat kita perbaiki dan amar ma’rûf nahi munkar dapat dilaksanakan dengan efektif lagi.[MFR]

Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia [pdf. available]

Aiming to trace the development of Islamic theological discourse in Indonesia from the early 1900s to the end of the 20th century, the author focusses on how modernist Muslims have constructed their theological thought throughout the century, which, in turn, reflects their religious understanding in response to the particular demands of their age. The theological thought constructed so far signifies a continuum of progress, developing from one stage to the next. Implicitly, this progress also indicates the improvement of Indonesian Muslims’ understanding of their own religion, which may suggest the betterment of their commitment to doctrinal beliefs and religious practices. Therefore, this study will also examine the ways in which Indonesian Islam noticeably grows more orthodox through these forms of religious commitment. Drawing upon an Indonesian term, the growth of orthodox Islam is known as the” santri” cultural expansion, which has been characterized by the vertical and horizontal mobility of devout Muslims in political, cultural and economic enterprises. A discussion of the theological thought underlying that” santri” cultural expansion is also included.

The book is available in pdf. Please click https://www.scribd.com/document/329814650/Fauzan-Saleh-Modern-Trends-in-Islamic-Theological-Discourse-in-20th-Century-Indonesia-a-Critical-Study