

Tapi pada praktiknya, hampir tidak ada bedanya antara pegadaian konvensional dengan syariah, karena pada keduanya sudah ditetapkan oleh pemberi pinjaman, padahal seharusnya disepakati berdasarkan musyawarah dalam skema syariah.
Masyarakat kita yang mayoritas Muslim merupakan pasar yang sangat luas untuk produk apapun yang mengatasnamakan syariah. Jadi, tidak bisa dipungkiri, produk dengan konsep syariah biasanya laku di pasaran. Mind set masyarakat kita masih menganggap apa pun yang berlabel syariah, pasti baik dan halal. Pemahaman tersebut tidak sepenuhnya keliru. Namun ia perlu disertai juga dengan sikap kritis; tidak seluruh produk dijalankan sesuai dengan kaidah dan prinsip syariah yang benar.
Demikian pula halnya dengan pegadaian berplat merah milik pemerintah. Secara jenis pegadaian terbagi dua macam: konvensional dan syariah. Pernah suatu ketika saya mendatangi salah satu pegadaian yang berlabel syariah di Jakarta. Saya bertanya kepada karyawan di sana mengenai apa perbedaan antara pegadaian konvensional dengan pegadaian syariah. Jawaban karyawan tersebut terus terang membuat hati saya miris, begini jawabannya “Terus terang ya Pak, sebenarnya sama saja antara pegadaian konvensional dengan Syariah, hanya beda-beda istilah saja Pak, hitungan sih kurang lebih sama,” begitu penjelasan dia.
Dia menjelaskan bahwa pada pegadaian syariah, digunakan istilah ijarah sebagai pengganti bunga pada pegadaian konvensional, tapi secara hitungan tidak berbeda jauh, hanya perbedaan istilah saja. Menurut saya, hal tersebut menunjukan pemahaman yang dangkal terhadap konsep pegadaian syariah yang sebenarnya.
Menggadaikan barang sebenarnya sudah tercantum dalam Alquran dan hadis. Firman Allah SWT pada ayat terpanjang dalam Alquran di QS al-Baqarah [2]:282-283 menjelaskan:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS al-Baqarah [2]:282)
(QS al-Baqarah [2]:283)
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Quraish Shihab dalam Tafsir Al–Misbah menjelaskan, ayat tersebut merupakan dalil yang membolehkan praktik gadai. Adanya perjalanan dalam awal ayat dinilai bukan menjadi sebuah syarat. Perjalanan disebutkan karena pada zaman itu para musafir sering kali meminjam uang untuk biaya perjalanannya.
Dalam Kitab Shihahihain, Bukhari-Muslim pun menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi dengan pinjaman 30 wasaq jewawut. Nabi menggadaikannya untuk makan keluarganya. Quraish Shihab menjelaskan, praktik gadai yang dilakukan bukan pada saat Nabi sedang berada dalam perjalanan, melainkan saat Rasulullah berada menetap di Madinah.
Gadai berbasis syariah memang tidak memberlakukan sistem bunga seperti halnya yang diberlakukan pada skema konvensional. Pihak pegadaian tidak mengambil keuntungan dari sistem bunga pinjaman ataupun sistem bagi hasil. Pegadaian syariah mengambil keuntungan dari upah jasa pemeliharaan barang jaminan.
Bagaimana penetapan biaya jasa pemeliharaan barang yang digadaikan? Dikutip dari laman resmi Pegadaian Syariah, besarnya pinjaman dan biaya pemeliharaan ditetapkan berdasarkan taksiran barang yang digadaikan. Jika barang tersebut adalah emas, penaksir memperhitungkan karatase emas, volume, serta berat emas yang digadaikan. Biaya yang dikenakan merupakan biaya penitipan barang, bukan biaya atas pinjaman karena pinjaman yang mengambil untung itu tidak diperbolehkan dalam konsep syariah.
Biaya penitipan barang jaminan meliputi biaya penjagaan, penggantian kehilangan, asuransi, gudang penyimpanan, dan pengelolaan. Besarannya bertambah sesuai dengan lama barang yang digadaikan. Bedanya dengan konvensional, biaya jasa simpan tersebut tetap setiap bulan. Jika jasa simpanan per bulan Rp50 ribu, jasa simpan bulan berikutnya menjadi Rp100 ribu.
Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, penerima barang atau peminjam uang disebut murtahin, barang yang diserahkan disebut marhun, sementara rahin merupakan pihak yang menyerahkan barangnya atau penggadai. Murtahin memiliki hak untuk menahan barang sampai rahin melunasi semua hutangnya.
Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin, kecuali seijin rahin dengan tidak mengurangi nilai marhun. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya tetap menjadi kewajiban rahin. Meski demikian, dapat dilakukan murtahin dengan jalan rahin membayar biaya jasa pemeliharaan dan penyimpanan kepada murtahin. Hanya, MUI memberi catatan bahwa besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh diterntukan berdasarkan jumlah pinjaman
Fatwa DSN MUI juga menjelaskan, pada dasarnya akad gadai emas syariah adalah qard ‘peminjaman’. Orang yang meminjam uang agar disetujui kemudian menjaminkan barangnya berupa emas kepada murtahin. Adanya penitipan agunan tersebut oleh murtahin menimbulkan ijarah (biaya sewa) yang dibayarkan oleh nasabah sebagai pihak rahin.
Dengan demikian, catatan penting dari MUI adalah hakikat dari fungsi pegadaian dalam Islam tersebut. Gadai, khususnya yang berskema syariah, seharusnya semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang sebagai jaminan. Pegadaian bukan untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain.
Perbedaan mendasar antara pegadaian dengan skema konvensional dan Syariah terletak pada “bunga” pada pada pegadaian konvensional dan “ijarah” pada pegadaian syariah. Biasanya jumlah bunga itu didasarkan pada besarnya jumlah pinjaman dan jangka waktu pinjaman, serta jumlahnya ditetapkan oleh pemberi pinjaman. Sedangkan ijarah pada pegadaian syariah, besarnya didasarkan pada jenis barang dan tingkat risiko yang seharusnya ditetapkan berdasarkan musyawarah.
Tapi pada praktiknya, hampir tidak ada bedanya antara pegadaian konvensional dengan syariah, karena pada keduanya sudah ditetapkan oleh pemberi pinjaman, padahal seharusnya disepakati berdasarkan musyawarah dalam skema syariah.
Sebenarnya inti dari konsep syariah adalah terjadinya kesepakatan dengan cara musyawarah antara rahin dan murtahin, selain terpenuhinya rukun dalam akad rahn ini. Dengan adanya kesepakatan dengan cara musyawarah ini diharapkan kedua belah pihak tidak merasa ada yang dirugikan dan tentunya ikhlas. Wallahu a’lam.[MFR]

Praktisi Pegadaian dan Penulis Lepas;
Tinggal di Depok, Jakarta