OMG: Menggugat Hak Cipta Tuhan

Agama diciptakan untuk manusia dan bukan manusia diciptakan untuk agama

—– Cuplikan dialog film OMG

“Oh My God” (selanjutnya OMG) adalah sebuah film satir komedi drama India yang dirilis pada 28 September 2012. Ceritanya sendiri didasarkan pada drama Gujarat berjudul Kanji Virudh Kanji yang sangat sukses dan film Australia yang terbit pada tahun 2001 berjudul “The Man Who Sued God” yang juga menjadi pembicaraan orang-orang di Australia pada tahun pemutarannya dan tahun-tahun setelahnya. Film OMG digarap oleh Umesh Shukla, seorang direktur film yang sukses menggarap “All is Well” yang dibintangi Abishek Bachan.

Film ini menampilkan tokoh Paresh Rawal yang biasa jadi aktor antagonis di film-film India lainnya. Dalam film ini Paresh yang berperan sebagai Kanji Bhai, seorang pedagang benda-benda antik (termasuk benda kerohanian) beradu peran dengan Akshay Kumar yang berperan sebagai Krisna Vasudev Yadav atau nama Tuhan. Film yang diproduksi sendiri oleh Akshay Kumar ini dibuat dalam konteks India. Sehingga agama-agama yang diwakilinya adalah agama-agama yang ada di tanah Hindustan. Warna tersebut didominasi warna agama Hindu, diikuti dengan Kristen, dan Islam. Walau film ini adalah film satir komedi tapi film ini menjadi salah satu film kontroversial, tidak saja di India tapi juga di negara-negara lain karena keberaniannya menembus batas-batas nalar agama.

Film OMG ini bercerita tentang seorang penjual barang antik dan barang kerohanian agama Hindu, Kanjilal Mehta (Paresh Rawal). Ia menjadikan barang-barang tersebut sebagai pengeruk keuntungan yang berlipat ganda dengan dalih-dalih keberkahan. Kanji memiliki seorang istri, dua orang anak perempuan (Jigna dan Chintu), dan seorang pembantu laki-laki yang juga tetangganya (Mahadev). Mereka tinggal di sebuah rumah susun di sebuah perkampungan di India. Kanji adalah orang yang tidak percaya Tuhan dan tidak beragama (ateis), baginya itu semua hanya soal bisnis. Kebalikan dari Kanji, istri dan pembantunya adalah orang yang taat beragama.

Film OMG ini dimulai dari penggambaran Kanji yang tidak percaya agama tapi memilih mengikuti upacara keagamaan Hindu pascakremasi mayat. Awalnya, Kanji menolak untuk ikut dalam upacara tersebut karena baginya tidak masuk akal jika mayat menjadi tidak tenang hanya karena anaknya tidak melakukan upacara yang diminta ibunya melalui mimpi, sedang pada waktu sakit ibunya selama dua bulan di rumah sakit ia tak pernah datang dan memilih mencari uang di Amerika. Akan tetapi akhirnya Kanji setuju untuk ikut karena ia melihat peluang bisnis di dalamnya berupa membeli barang dagangan untuk tokonya. Istrinya tidak tahu motif asli si Kanji, ia hanya senang saja bahwa sang suami mau menemaninya melakukan ziarah.

Saat ia ke kuil suci di mana menjadi tujuan dari upacara pascakremasi ini, ia bisa membeli barang kerohanian yang banyak dijual di sekitar kucil. Barang-barang itu rencananya akan ia jual kembali di tokonya. Setelah membeli patung dewa-dewa Hindu dalam jumlah banyak, ia melihat toko arak di seberang jalan dan memutuskan untuk membelinya sebagai minuman selama perjalanan pulang. Sebuah karakter yang disuguhkan yang semakin mempertegas bahwa Kanji adalah seorang yang liberal, tidak mengikuti pantangan agama, dan seorang oportunis di saat bersamaan.

Peran Kanjilal Mehta di film OMG ini mengingatkan kita pada kritik seorang filsuf Jerman abad ke-19 Ludwig Feurbach yang melihat bahwa Tuhan hanyalah angan-angan rekaan manusia. Ia menyebutnya dengan istilah proyeksi. Tuhan adalah hasil produk proyeksi manusia. Karena ia adalah sebuah proyeksi maka ia akan memiliki kemiripan dengan manusia. Ia adil, baik, kasih di satu sisi dan pencemburu, pemarah, perusak di sisi lain. Celakanya, menurut Feurbach, manusia lupa bahwa Tuhan ini adalah ciptaannya sendiri. Ia kagum pada proyeksinya, ia tunduk dan menyembahnya.

Manusia menurut Feurbach memang dilahirkan dengan kemampuan memproyeksikan dirinya. Ia memproyeksinya bagaimana seorang pribadi. Jika ia baik maka Tuhan yang dibayangkannya adalah mahabaik, dan begitu pula seterusnya. Tuhan adalah proyeksi atau cerminan atas itu semua. Ia melihat bahwa Tuhan yang disembah manusia di antaranya adalah bayangan yang diciptakan manusia itu sendiri. Ini menurut Feurbach bisa dilihat dari ciri-ciri Tuhan yang mirip dengan manusia. Kritik inilah yang bisa kita lihat dari sosok Kanjilal Mehta di film ini. Kritisismenya terhadap agama telah mengantarkannya pada ateisme.

Lihatlah adegan dalam bus saat perjalanan pulang, minuman arak yang dibelinya di toko depan kuil ia letakkan di kendi yang terbuat dari kuningan. Arak itu awalnya akan diminumnya sendiri, tapi Mahadev, si asisten meminta araknya. Arak pun kemudian berjalan di antara para lelaki hingga sampai tempat duduk paling depan, saat si menantu yang meninggal itu melihat ada air yang diminum orang-orang, ia bertanya, “Ini air apa?”. Semuanya bingung harus menjawab apa, si Kanji pun menjawab, “Itu air sungai Gangga!”. Lalu si perempuan meminumnya dan ia bertanya kembali, “Kenapa rasanya masam seperti ini?”. Kanji menjawab, “Itu karena sekarang sungai Gangga banyak tercemar sehingga rasanya berubah”. Karena yakin bahwa itu adalah air suci dari sungai Gangga, maka si perempuan pun meminumkannya ke sang suami yang sedang tidur. Karena sang suami paham itu adalah arak, maka ia pun berteriak, “Oh My God!”.

Di sini kita disuguhi adanya paradoks agama. Mereka yang ikut dalam rombongan bus ini sekilas adalah orang-orang yang taat beragama dan tidak melakukan larangan agama termasuk meminum minuman keras. Akan tetapi, adegan bahwa semua laki-laki dewasa yang berada di dalam bus meminumnya menjadi penanda bahwa mereka sebenarnya tidak terlalu peduli terhadap larangan tersebut bahkan termasuk tokoh pemeran si empunya hajat dalam perjalanan suci tersebut. Tatkala istri si empunya hajat ini meminumkan arak kepadanya saat ia tidur, ia langsung mengenali bahwa yang diminumkannya itu adalah arak dan bukan air sungai Gangga. Di sini, kita disuguhi ketaatan semu agama. Secara pranata sosial mereka terlihat taat, tapi secara diam-diam melakukan larangan agama tersebut.

Istri Kanjilal menganggap bahwa apa yang dilakukan Kanji selama perjalanan ziarah adalah dosa dan ia akan berpuasa untuk menebus dosa suaminya. Kanji berkata kepada Jigna, “Katakan padaku satu hal, bagaimana bisa dosaku dapat dimaafkan dengan puasanya? ini seperti baterai hapeku lemah dan ia yang men-charge hape”. Jigna, anak perempuan pertamanya pun tertawa mendengar penuturan ayahnya yang masuk akal bagi jiwa mudanya. Sekilas film ini hanya film lucu-lucuan saja dengan permainan logika ringan di dalamnya tapi kenyataannya, penonton akan dibawa ke puncak kesadaran makna paradoks agama secara perlahan oleh sutradara film ini.

Suatu ketika, anak Kanji yang kedua, Shintu, berniat mengikuti perayaan upacara keagamaan Hindu, Janmastani, di mana dalam perayaan itu terdapat prosesi Dahi Handi yaitu prosesi memecahkan kendi tembikar yang digantung di atas, padahal esok harinya ia harus mengikuti ujian. Karena Kanji tidak ingin anaknya gagal, maka ia melarang sang anak untuk mengikuti upacara. Sesaat, semuanya seakan baik-baik saja, seakan-akan sang anak akan mengikuti perintahnya dengan tanpa ‘”tapi”; baginya, ia melakukan itu agar si anak dapat berkonsentrasi pada ujian sekolahnya. Baginya, tak ada gunanya Shintu melakonkan diri sebagai Govinda karena ia ingin kelak sang anak menjadi seorang pemain kriket.

Keesokan harinya, sesaat setelah ia menjual patung dewa di tokonya dengan harga yang berlipat ganda dengan memainkan psikologi keagamaan calon pembelinya hingga sang pembeli mau menukarkan semua perhiasan emas yang dipakainya hanya untuk sebuah patung dewa. Setelah itu, secara tidak sengaja ia melihat perayaan Janmastani disiarkan secara live di televisi dan di sana ia melihat anaknya sedang memanjat tubuh para peziarah untuk memecahkan kendi Hadi Handi. Melihat itu semua, Kanji langsung meminta Mahadev, pembantunya untuk menemaninya ke tempat upacara.

Tidak disangka, ternyata Kanji mengambil pengeras suara dan meminta orang-orang yang berkumpul untuk pergi ke kuil Krisna karena pada hari itu Dewa Krisna berkenan untuk meminum susu dan makan mentega dari pengikutnya. Orang-orang menjadi percaya karena ia membawa nama Siddaswar Maharaj secara ilegal agar orang-orang percaya terhadap perkataannya. Pengumumannya masih ditutup dengan, “kesempatan ini hanya berlangsung selama satu jam saja”. Kontan saja, orang-orang mengikutinya karena menganggap itu adalah pengumuman sungguhan. Kanji pun kemudian menggandeng tangan anaknya pulang. Di kejauhan tampak Siddaswar Maharaj memberikan ancaman kepadanya bahwa Tuhan akan mengutuk Kanjilal Mehta.

Tak lama setelah perbuatannya, gempa kecil 3.5 skala richter melanda kota di mana Kanji tinggal, tak ada kerusakan yang disebabkan oleh gempa kecil itu kecuali toko Kanji yang rusak. Toko di sebelah Kanji yang reot dan hampir roboh milik seorang pedagang bernama Muhammad pun juga tidak terdampak gempa. Karuan saja ini membuat spekulasi di keluarga Kanji dan para tetangganya bahwa hal tersebut karena Kanji sering mempermainkan agama sehingga Tuhan murka. Hal ini mengingatkan kita pada karakter masyarakat yang biasanya selalu menghubungkan segala kejadian dengan hal yang bersifat metafisik ketuhanan dan keagamaan. Misalnya, jika ada orang yang saat dikubur ternyata kuburannya terus mengeluarkan air maka ramai masyarakat yang menyatakan bahwa orang tersebut memeroleh azab, jika saat meninggal tiba-tiba ada ular datang, banyak dari masyarakat kita yang langsung menghubungkannya dengan kebiasaan jelek yang sengaja dicari-cari saat ia hidup.

Begitu juga halnya banyak uang sering kali dihubungan dengan anugerah dan rahmat Tuhan. Padahal, bisa jadi orang yang kuburannya selalu keluar air adalah karena terdapat sumber air atau ada saluran air ledeng yang bocor; bisa jadi orang meninggal lalu ada ular lewat karena memang letak masyarakat tersebut yang memang berada di pedesaan yang memungkinkan ular hidup dan berkeliaran; bisa jadi orang yang banyak uangnya itu bukan karena anugerah ataupun rahmat Tuhan tapi karena dia korupsi atau mencuri uang orang lain, misalnya.

Atas prasangka-prasangka orang ini, Kanji mengabaikannya. Ia tak peduli orang bilang apa. Ia berkeyakinan bahwa itu adalah akibat bencana alam yang kebetulan semata. Tak ada hubungan dengan perbuatannya yang mempermainkan orang-orang dalam perayaan keagamaan Janmastani dengan mengatakan bahwa Krisna meminta disuapi minum susu dan makan mentega kepada pemeluknya dan tak ada hubungannya dengan kutukan Maharaj yang dilakukannya di akhir acara perayaan kepadanya. Baginya, ini adalah gempa alam biasa yang bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Akan tetapi peristiwa gempa ini menjadi serius baginya karena tokonya itu adalah satu-satunya tempat ia mencari nafkah.

Apalagi bagi Kanji, itu bukanlah masalah besar baginya karena ia sudah mengasuransikan tokonya. Sehingga menurutnya ia hanya tinggal mengajukan klaim saja ke perusahaan asuransi. Kanji dengan sombong melangkah ke dalam tokonya yang porak-poranda di tengah orang-orang yang menyaksikannya. Ia terus masuk ke dalam toko. Ia mengambil sebuah kunci dan menuju ke sebuah ruangan di mana brangkas miliknya terletak. Dengan percaya diri dia membuka brangkas tersebut dan ia keluar menunjukkan surat asuransinya yang masih utuh.

Menuntut Perbuatan Tuhan

Kejadian tak terduga terjadi saat ia pergi ke kantor asuransi dan mengajukan klaim. Tidak diduga ternyata ia tidak bisa mendapatkan klaim asuransinya karena bencana alam yang diidentifikasi sebagai tindakan Tuhan atau Act of God tidak masuk dalam tanggungan asuransi. Kanji marah sekali melihat kenyataan ini. Ia merasa bahwa ia telah dipermainkan oleh asuransi dan membuatnya nekat menyerang agen asuransinya. Perkataan pihak asuransi tentang bencana alam sebagai Act of God membuatnya memutuskan akan menuntut Tuhan. Ini menjadi titik balik baginya untuk berurusan dengan Tuhan. “Kalau begitu saya akan menuntut Tuhan!” katanya kepada agen asuransi yang menolak klaimnya.

Perjalanannya menemukan pengacara untuk membela kasusnya pun bukan perkara mudah. Tak satu pun pengacara di kota itu yang mau membela kasusnya. Menurut mereka Kanji telah gila!. Kanji tidak menyerah hingga ia mendengar seorang pengacara bernama Hanif Bhai, seorang pengacara Muslim yang dapat membantunya. Ia melihat pengacara ini tidak bisa berjalan dan hanya bisa duduk di tempat tidurnya, ia hidup dalam kemiskinan ditemani oleh seorang anak perempuan yang beranjak dewasa. Pengacara ini pun tidak dapat menemani Kanji untuk menangani kasusnya karena keberadaannya yang tidak dapat berjalan. Tapi, ia memberikan saran agar Kanji mengajukan kasusnya sendiri karena secara hukum hal itu diperbolehkan. Sedangkan sang pengacara akan menyiapkan suratnya. Si pengacara pun bertanya, kepada siapa hendak ia akan menuntut, karena dalam pengadilan harus ada pihak yang dituntut. Maka Kanji menjawab mereka yang selama ini menjadi “agen Tuhan”. Setelah surat dakwaan ditulis, Kanji pun dengan langkah mantab mendaftarkan perkaranya ke pengadilan.

Kehebohan terjadi di seluruh pelosok kota, mereka para “agen Tuhan” dituntut dalam kasus ini. Leeladhar Maharaj (Mithun Chakraborty) yang menjadi pemimpin aliran spiritual keagamaan; Siddaswar Maharaj (Gocind Namdev), pendeta Hindu; Gopi Maiyya (Poonam Jhawer), pemimpin spritualitas keagamaan; pendeta kristen, dan lain sebagainya menerima surat dakwaan Kanji. Agak kaget mereka melihat dakwaan yang tidak biasa ini, tapi mereka tidak khawatir karena mereka yakin bahwa mereka akan memenangkan kasus ini. Walau sang pengacara menyatakan bahwa mereka tak perlu hadir untuk menanggapi kasus ini, tapi mereka memilih hadir sebagai bentuk show kepada masyarakat. Pengacaranya selalu menyarankan ‘rileks’ untuk para kliennya tersebut.

Mewarnai sidang pertama perkara Kanji, orang-orang agama mendemo Kanji dan mengepung kantor pengadilan di mana kasus Kanji digelar. Di saat bersamaan, di dalam pengadilan Kanji membacakan kasusnya sendiri dan membelanya sendiri. Sumpah serapah dari tokoh agama Hindu yang ia tuntut ia terima. Argumentasinya yang kuat membuat dakwaan Kanji menjadi dakwaan serius bagi para tokoh agama. Saat keluar pengadilan, Kanji melihat bahwa banyak kaum agamawan yang mendemonya.

Saat ia tertegun dengan tanggapan kaum agamawan tersebut, Leeladhar membisikinya dari belakang, “Kau bisa melarikan diri di sini dengan aman karena berada di gedung pemerintah, tapi siapa yang akan menjagamu dari mereka di luar sana?” kalimat tanya bernada ancaman itu dilontarkannya. Adegan ini juga mencitrakan bagaimana masyarakat kita sering kali enggan terhadap kritik. Apalagi kritik tersebut menyentuh hal yang sakral.

Menyadari bahwa dirinya terancam, Kanji meminta Mahadev, asistennya untuk pulang dan memberitahukan keluarganya agar tidak keluar rumah. Kanji sendiri kemudian dalam perjalanannya, dikejar oleh gerombolan orang tak dikenal.

Dalam pelariannya, ia bertemu dengan Ashay Kumar yang mengendara motor besar model Harley Davidson. Kanji diselamatkannya setelah melalui perjalanan melarikan diri yang tak masuk akal. Setelah Kanji hampir sampai rumahnya, Ashay menurunkannya, ia berkata kepada Kanji, “Terus saja kemudian belok kiri, lalu kanan, lalu kiri, dan engkau akan sampai rumahmu”. Kanji bertanya heran, “Kalau kau bisa menurunkanku di sini kenapa kau tak menurunkanku di rumah?” Ashay menjawab, “Tugasku hanyalah menunjukkan jalan. Sekarang adalah tugasmu menentukan tujuanmu”.

Kanji pun memberikan uang tips bagi Ashay; ia tak sadar bahwa sosok yang menyelamatkannya tersebut adalah Baghwan. Pesan tersirat dari dialog ini adalah kita adalah kita. Jangan berharap bahwa Tuhan akan menuntun kita hingga pada pilihan-pilihan yang kita buat. Tuhan hanya menunjukkan jalannya dan kita lah yang menentukan ke mana kita akan melaju. Pesan yang sedikit sama bisa kita lihat dalam film yang diperankan Tom Cruise dalam “The Last Samurai”. Di sana terdapat sebuah dialog antara Tom dengan seorang anak. Si anak bertanya, “apakah kau percaya pada takdir?” Tom menjawab, “yang saya tahu adalah saya akan berusaha sampai takdirku terlihat”.

Kembali ke OMG. Sesampainya Kanji di rumah, ia telah melihat semuanya berbeda. Rumahnya habis diserang orang-orang tak dikenal. Istrinya marah kepadanya dan memintanya untuk bertaubat. Istrinya akan membawa anak-anaknya mengungsi dari rumah Kanji karena tidak ingin anak-anak berada dalam suasana ketakutan dan teror. Kanji pun masuk ke dalam rumahnya dengan langkah gontai, tak bersemangat. Di sini, plot film mulai menanjak. Guncangan pribadi, kehilangan keluarga, dan kehilangan harta benda benar-benar menimpa Kanji. Ia digambarkan berada dalam titik terendah dalam perjuangannya menuntut Tuhan. Pilihan baginya adalah berhenti dan menjalani kehidupan layaknya manusia normal lainnya atau terus melawan untuk memperoleh haknya. Kanji benar-benar digambarkan sangat terpuruk.

Saat itulah seseorang datang memasuki rumah Kanji. “Hello!” sapanya. “Hai siapa itu?” kata Kanji. “Tuhan”. Kata sosok itu dengan enteng. “Apa?” ungkap Kanji tidak percaya. “Jika kau Muslim bisa jadi aku adalah seorang Nabi, jika kau Kristen maka aku adalah Jesus. Jika kau Hindu, maka aku Krisna”. Orang itu pun terus melangkah memasuki rumah Kanji yang ternyata adalah Ashay Kumar. Karakter Ashay Kumar dalam film ini sangat kuat. Kepiawaian aktor yang telah bermain film sejak tahun 1991 dan telah bermain dalam 168 bahkan lebih judul film terlihat di sini. Ashay sangat menjiwai karakter Krisna yang diperankannya. Peran Krisna yang lembut sekaligus gaul serta kekinian bisa kita lihat dalam karakter Krisna yang diperankan Ashay dalam film ini.

Mendengar penjelasan tak masuk akal orang yang ternyata telah menolongnya dari amukan massa tersebut, maka Kanji memanggil asistennya, dan bertanya, “Apakah kau melihatnya?” Mahadev menjawab, “Iya, aku melihatnya”. Lalu sosok itu mengenalkan diri sebagai Krisna Vasudev Yadar, dan meminta dirinya dipanggil Krisna saja. Lalu Kanji pun bertanya, “Apa kepentinganmu di sini?” Ashay menjawab, “Saya telah membeli rumahmu. Jadi secara hukum ini sekarang adalah rumahku. Tapi jangan khawatir kau boleh tinggal di sini” kata Krisna. Karena merasa rumahnya telah dibeli, maka Kanji pun mempersilahkan Krisna untuk menempati rumahnya dan Kanji tidur di luar ruangan. Tontonan keajaiban pun diperlihatkan dalam film ini melalui adegan di mana Krisna menyelimuti sinar bulan dengan awan sehingga Kanji dapat tidur dengan lelap.

Pagi-pagi benar, sebelum Kanji bangun, Krisna telah memainkan serulingnya. Kontan saja, Kanji merasa terganggu dengan suara seruling itu. Hampir ia akan protes tapi kemudian ia sadar bahwa saat ini ia bukanlah pemilik rumah.

Melihat Kanji yang melawan para kaum agamawan telah membuat orang-orang yang selama ini merasa menjadi korban Act of God mengajukan kasus yang sama dengan Kanji. Mereka pun mendatangi pengacara yang membantu Kanji mengajukan kasus ini. Sang pengacara pun dengan senang hati membantu mengetikkan kasus mereka. Gugatan ini kontan membuat klaim kerugian yang diajukan membengkak menjadi berlipat-lipat. Di sini lah Kanji mulai mendapatkan dukungan dari masyarakat yang selama ini menjadi korban Act of God.

Adegan peradilan kemudian berlanjut dalam cerita film. Permainan logika berlanjut di sini yaitu jika Tuhan yang dituduh lalu kenapa para pemimpin agama yang dituntut. Dengan cekatan, Kanji memberikan analogi, jika listrik mati apakah listrik yang akan dituntut, tentu tidak. Tapi yang dituntut adalah perusahaan penyedia listrik. Begitu pula dengan Tuhan, jika Tuhan yang menjadi tertuduh maka bukan Tuhan yang menjadi tertuntut tapi orang-orang yang menjadi “agen penyedia Tuhan” yaitu para pemimpin agama-agama.

Jalannya pengadilan sampai pada satu pertanyaan yang ditanyakan oleh pengacara lawan, “Apakah Anda punya bukti tertulis yang menyatakan bahwa yang bertanggung jawab atas kerusakan toko Anda adalah Tuhan?” Kanji pun tidak bisa menjawab. Sidang kemudian diskors selama satu bulan. Para kaum agamawan sudah merasa bahwa mereka akan menang karena Kanji tak dapat menunjukkan bukti apapun atas tuduhannya.

Lebih jauh, sebenarnya ini bisa diartikan apakah ada bukti bahwa Tuhan itu ada. Cara berpikir tentang bukti keberadaan Tuhan inilah nanti yang akan menjadi kritik Krisna di akhir cerita film. Sebagaimana diketahui, ramai orang-orang modern meminta bukti tentang keberadaan Tuhan. Bagi mereka keberadaan Tuhan haruslah masuk akal, terlihat oleh mata, atau menunjukkan keajaiban-keajaiban yang melawan hukum alam kepadanya. Bagi mereka percaya kepada Tuhan seperti bussiness deal, di mana jika ia mengatakan ia telah ada bukti bahwa itu adalah Tuhan maka ia akan percaya.

Mencari Bukti Tertulis Keterlibatan Tuhan

Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah adegan di mana Kanji diminta untuk mencari bukti tertulis tentang keterlibatan Tuhan dalam kerusakan tokonya. Bagi yang pertama kali melihat film ini mungkin tidak akan terpikir bahwa ternyata jawaban atas hal tersebut bisa didapatkan dari berbagai kitab suci agama-agama. Ya, Tuhan sendirilah yang menyatakan bahwa Dia-lah yang bertanggung jawab atas kerusakan di atas muka bumi dan alam semesta.

Dengan langkah gontai, Kanji keluar dari persidangan. Ia pulang ke rumahnya dengan langkah gontai. Ia merasa bahwa ia akan kalah dalam perkara ini. Sampai di rumah, Krisna menasehatinya agar membaca kitab suci. Kanji menolaknya karena menurutnya ia bukanlah orang yang percaya kepada Tuhan dan bukanlah orang yang percaya kepada agama. Krisna tetap meyakinkannya agar mau membaca kitab suci dan menurut Krisna itu akan membantu Kanji dalam menuntaskan kasusnya.

Setelah berpikir lama, Kanji pun setuju atas usul Krisna agar ia membaca kitab suci. Berbagai kitab suci ia bawa siang dan malam. Setelah Bagavat Gita ia khatamkan, bacaannya berlanjut ke Alkitab, lalu ke Alquran. Setelah membaca semua kitab tersebut. Rupanya, Kanji telah mempunyai jawaban atas pertanyaan pengacara kaum agamawan. Dengan mantab ia melangkahkan kaki ke pengadilan.

Di pengadilan di mana banyak orang menyaksikan bahkan dari kursi pengadilan yang berada di lantai dua yang juga disaksikan oleh Krisna. Pengacara para pemimpin agama bertanya hal yang sama kepada Kanji, adakah bukti tertulis atas keterlibatan Tuhan dalam kerusakan tokonya. Hal itu juga dibenarkan oleh hakim, apakah Kanji mempunyai bukti keterlibatan Tuhan. Tak disangka Kanji kemudian menyebutkan tiga ayat dari tiga kitab suci. Ia mengutip Bagavat Gita Bab 2 Ayat 5, Bibel Ayat 8 Pasal 9, dan Al-Qur’an Surat Zalzalah Ayat 108, yang kesemua ayat tersebut menyatakan bahwa kerusakan atas alam semesta, termasuk tokonya adalah merupakan perbuatan Tuhan atau Act of God. Walau kalau lebih serius, maka sebenarnya akan terjadi perdebatan panjang dengan para penafsir profesional terhadap kutipan-kutipan kitab suci yang dibawa oleh Kanji, tapi spiritnya memang sama, bahwa Tuhan adalah aktor atas semua hal yang terjadi di alam semesta.

Bukti tertulis ini tentu saja memukul telak kaum agamawan yang selama ini “menjual” Tuhan kepada masyarakat. Pertanyaan lanjutan dari pengacara para agamawan ini juga menarik. “Lalu bukti apa yang Anda punyai sehingga Anda akan menggugat Tuhan?” Sang pengacara menganalogikan perusahaan listrik dapat digugat jika kita adalah pelanggan atau karyawannya tapi perjanjian kontrak dengan Tuhan yang bagaimana yang bisa ditunjukkan Kanji kepada hakim. Atas hal ini, Kanji kemudian mengeluarkan kliping bukti-bukti setorannya kepada lembaga agama, terdapat banyak kuitansi keagamaan yang ia punya yang semuanya menyatakan bahwa ia menyetorkan sejumlah uang kepada agen-agen agama, baik itu kepercayan, Hindu, Kristen, maupun Islam. Ia menyatakan bahwa dengan bersedekah kepada kuil maka ibu mertuanya akan selamat tapi kenyataannya tidak, dan berbagai bukti lain yang ia tunjukkan ke muka hakim.

Kritik Kanji terhadap agama juga hadir di sini, di mana ia menyatakan bahwa terdapat kemiskinan-kemiskinan di sekitar kuil-kuil agama tersebut. Ia mengaku bagaimana ia melihat susu yang diberikan kepada dewa Krisna yang terbuang secara sia-sia padahal banyak orang miskin di sekitar kuil yang membutuhkannya, ia juga mengkritik gereja yang banyak lilinnya padahal banyak rumah orang miskin yang hidup dalam kegelapan saat malam datang, ia juga mengkritik masjid yang beralaskan permadani mewah padahal di luar sana banyak orang-orang miskin yang tidur kedinginan.

Hal ini tentu membuat marah kaum agamawan. Dalam adegan ini diwakili dengan seorang pendeta Hindu, yaitu Saddaswar Maharaj, yang memang terkenal emosional, ia marah atas tindakan Kanji ini. Ia menyatakan bahwa apa yang dilakukan orang-orang adalah didasarkan keikhlasan dan Kanji tidak dapat melakukan itu kepada para pemimpin agama dan ia menyatakan bahwa Kanji tidak dapat melakukan itu karena merekalah pemilik copyright (hak cipta) Tuhan. Kanji pun melawannya, “Baru sekarang saya mendengar Tuhan ada copyright-nya?!”.

Di akhir pengadilan, Kanji kemudian hilang kesadaran dan ia dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma. Setengah tubuh bagian kanannya mati. Dalam keadaan demikian itulah kemudian Krisna datang kepadanya dan menyembuhkan sakitnya hanya dengan menyentuhkan bulu merak yang dibawanya. “Kau selalu berbuat keajaiban, Krisna?” dan Krisna pun menjawab dengan senyum khasnya, “Aku adalah Krisna, itulah mengapa aku melakukan keajaiban… bukan karena aku melakukan keajaiban maka aku Krisna”.

Dialog ini mengingatkan kita pada dalil-dalil keimanan pada agama-agama. Keimanan bukanlah sesuatu yang harus dibuktikan dengan terjadinya keajaiban-keajaiban. Tapi keimanan adalah keimanan, baik di dalamnya terjadi keajaiban ataupun tidak. Dalam konteks Islam dan Yahudi misalnya, terdapat sebuah kritik atas perilaku orang-orang Israel kepada Musa. Mereka meminta bukti tentang kehadiran Tuhan maka mereka percaya. Pada akhirnya, walaupun telah diberikan bukti keajaiban itu kepada mereka tetap ada sebagian dari mereka yang tidak beriman.

Kutipan Krisna di atas sangatlah dalam. Kadang beragama itu bukan masalah sebuah kebenaran itu terbukti atau dapat dibuktikan tapi itu semata-mata karena keimanan. Memang salah satu kekurangan dari sifat mencari adalah ketenangan karena orang yang mencari dia sering kali dihinggapi kegelisahan tapi ketenangan yang dihasilkan dari proses pencarian akan lebih menenangkan dan mencerahkan.

Akhirnya, Krisna menunjukkan dirinya dalam perwujudan tradisionalnya seperti yang biasa orang India lihat di gambar-gambar tentang Tuhan. Saat itulah, Kanji mencapai titik balik dari yang semula tidak percaya Tuhan menjadi orang yang percaya Tuhan. Kanji pun kemudian berpendapat bahwa untuk menemukan Tuhan tak perlu seseorang menjadi beragama. Krisna menjawab, itu tidak bisa. Karena saat satu agama ditiadakan maka akan muncul agama lainnya karena sifat manusia yang akan selalu memuja sesuatu yang mengagumkan. Kanji masih tidak terlalu paham dengan maksud perkataan Krisna. Hal itu tampak dalam wajah yang ia hadapkan pada Krisna.

Krisna lalu menunjukkan kabar televisi tentang Kanji yang dikabarkan meninggal di media dan dibuatkan patungnya dalam bentuk dewa lengkap dengan sketsa wajahnya, dan sekuter miliknya yang ia kendarai setiap hari, plus dengan tangan terbuka tanda memberikan berkah kepada orang lain dalam ukuran yang sangat besar, untuk dihormati dan dipertuhankan.

Para pendeta-pendeta yang menjadi rivalnya di pengadilanlah yang melakukannya, tentu untuk kepentingan bisnis semata. Krisna menyatakan sekarang terserah Kanji apakah ia akan membiarkan orang akan menuhankannya ataukah ia akan menghancurkan patung dirinya. Dengan dibonceng oleh Krisna, Kanji menuju peresmian kuilnya, di sana ia menghancurkan patung dirinya dan menyatakan bahwa ia bukan Tuhan dan tak perlu dipertuhankan.

Film sebagai Kritik Sosial Agama

Ketika saya melihat film ini, sebenarnya saya berharap bahwa ini adalah film kritik agama seperti Peekay yang diperankan oleh Aamir Khan (yang sudah saya review minggu lalu). Tetapi sosok Krisna yang diperankan oleh Ashay Kumar membuatnya berbeda total dengan Peekay yang tetap menghadirkan Tuhan sebagai yang tak tampak. Film ini juga menjadi berbeda dengan versi aslinya “The Man who Sued God” yang tidak menghadirkan Tuhan secara personal. Rupanya, latar belakang penulis naskah yang berlatar India dan hidup dalam budaya Hindu tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam film ini. Karakter khas Hindu sangat kentara di sini. Mulai dari pemilihan aktor yang hidup dalam latar belakang Hindu, dikelilingi oleh keluarga Hindu, dan yang paling mencolok adalah kehadiran personal Baghwan (Tuhan) dalam sosok Krisna. Sehingga, film ini terasa perpaduan antara film “The Man who Sued God” dengan “Bruce the Almighty” yang juga menghadirkan personafikasi Tuhan.

Terlepas dari itu semua, ada dua kekuatan dalam film OMG ini yang menjadikan film OMG ini menjadi layak tonton. Pertama, adalah pada isu yang diangkat adalah isu yang tabu, tidak saja bagi orang India tapi juga bagi orang-orang dengan budaya kehidupan agama yang kuat termasuk Indonesia. Melihat film ini akan membuat keimanan “dipukul-pukul” untuk menghadirkan esensi keagamaan seseorang. Banyak hal-hal yang selama ini tidak disadari oleh kaum beragama. Walau para pemimpin agama di film ini dihadirkan secara ikonik dan bersifat antagonis tapi sebenarnya film hendak mengetengahkan tentang hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dikhutbahkan oleh para pemuka agama di dunia dan apa yang diajarkan dalam kitab-kitab suci mereka.

Hal kedua yang sangat kuat dalam film OMG ini adalah banyaknya kutipan atau kata-kata hikmah(t) yang diselipkan dalam perbincangan para aktor di dalamnya. Kata-kata indah itu akan mudah kita jumpai bahkan sejak awal film ini diputar. Inilah yang membedakan dengan Peekay yang lebih sering mengajak orang untuk mencari Tuhan. Film “Oh My God” memang film perlawanan terhadap institusi agama-agama.

Kaum agamawan yang ditempatkan dalam situasi status quo dan menikmati statusnya di masyarakat dibongkar dalam film ini. Melihat perjalanan film-film India yang saat ini tak lagi mengandalkan nyanyian mendayu-dayu, tidak lagi menyuguhkan inspektur polisi yang jahat atau sering terlambat, serta tuan Takur tuan tanah yang rakus, telah membawa film India telah menempuh jalan baru terhadap isu-isu yang lebih global. Film ini telah melawan itu semua. Tak ada tokoh utama cantik. Ashay Kumar pun tidak dihadirkan sebagai tokoh utama dalam film ini tapi Paresh Rawal yang tidak tampan dan selama ini hanya menjadi pemeran pembantu baik sebagai pembantu sungguhan, sebagai paman, atau sebagai orang jahat.

Akhirnya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk menonton film OMG ini. Terutama bagi Anda yang ingin menikmati kritik sosial agama dengan santai. [MFR]

Hitam Putih Manusia Super

Nietzsche berkata lewat Pak Tua, “Jangan percaya pada mereka yang berbicara melebihi kehidupan di dunia ini, sebagaimana penceramah agama. Tetaplah setia pada hidup di dunia ini. Mereka yang berbicara seperti itu, hanyalah terpenjara oleh janji-janji para nabi”. “Kalian umat manusia harus menentukan sendiri hidupmu, meskipun itu sakit”.

—- “The Turin Horse”

Di Turin, filsuf besar Nietzsche menjadi gila. Melihat seorang petani tua memecuti kuda, Nietzsche berlari melindungi kuda tersebut dengan memeluk leher si kuda dengan penuh kasih sayang. Nietzsche begitu sedih. Sejak saat itu dia melakukan topo bisu, tidak mau bicara. Semua orang mengira Nietzsche menjadi gila. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1900 Nietzsche meninggal dunia. Di nisannya, di kota kelahirannya di Jerman tertulis, “Tuhan sudah mati. Nietzsche membunuhnya. Nietzsche juga mati. Di sini dikuburkan”.

Begitu cerita episode akhir hidup filsuf besar dan penting asal Jerman ini yang terkenal dengan kredonya, “Tuhan sudah mati”. Selain kredonya itu, Nietzsche dikenal dengan karya “Dan Berkata Zaratustra” dan pemikiran tentang Uebermens, “Manusia Super”.

Film “The Turin Horse” karya Bella Tarr, sutradara asal Hongaria ini, bukanlah film biopik, seperti “Bohemian Rhapsody”  yang merekam sejarah kehidupan Nietzsche, melainkan sisi hidup kuda Turin yang menyebabkan si filsuf kita itu menjadi gila dan hubungannya dengan tuan pemilik, petani tua dan miskin dan perempuan pendamping hidupnya.

Yang menarik sekali dari film ini, sutradara memproyeksikan filsafat dan seluruh pemikiran Nietzsche pada petania tua dan miskin itu, serta kudanya, sesuatu yang membuat Nietzsche menuju akhir hidupnya tamat. Sekilas wajah dan penampilan petani tua dan miskin itu seperti aslinya Nietzsche, tapi bukan.

Bagaimana si petani tua menjalani keseharian hidup,  hubungannya dengan benda sekitar: kentang, perempuan pendamping, alam, sumur-sember air, orang lain atau gypsy adalah refleksi filsafat dan buah-buah pemikiran pokok Nietzsche, yaitu soal “kebutuhan untuk percaya”, serta kesadaran akan kebertubuhan dan perlunya merayakan hidup.

Dengan memproyeksikan pemikiran pada obyek, benda—dalam hal ini, pak tua dan kuda, sesuatu yang berarti dalam hidup Nietzsche—sutradara yang juga menulis skripnya, memberi ruang untuk menganalisa filsafat Nietzsche dan sekaligus mempersilakan untuk mengkritisi pemikiran Nietzsche sendiri. Inilah jeniusnya Tarr, penonton seperti sedang mengikuti kuliah filsafat.

Film dalam format hitam-putih ini dibuka dengan sosok kuda. Hampir sepuluh menit kamera menyorot kuda dan lelaki tua yang naik di atas kereta yang ditarik kuda tersebut. Hanya itu. Hampir tanpa musik pengiring, hanya suara angin yang gemuruh di musim gugur.

Sampai di rumah tunggal di kota sunyi. Pak tua memasukkan kuda ke kandang. Kamera berganti mengarah ke perempuan mengambil air di sumur timba, bolak-balik. Scene seperti ini akan banyak sekali kita jumpai, seolah ingin menyampaikan pemikiran Nietzsche soal menyintai hadup atau nasib seutuhnya, “amor fati”; bahwa menjalani hidup ini, sekalipun menderita, meskipun mengandung kepedihan dan kekecewaan, harus tetap diterima. Penderitaan adalah bagian dari yang indah dan sejatinya keseluruhan hidup.

Diperlihatkan juga pak tua yang mengalami sakit. Memang Nietzsche bereksperimen dengan tubuh yang mengalami. Lewat pengamatan pada tubuh yang mengalami segala rasa, termasuk sakit, dia membangun filsafatnya. Tubuh adalah ekspresi demokrasi. Dari sini Nietzsche membuat simpulan betapa bernilainya kehidupan. Sakit adalah sesuatu yang niscaya, tak dapat dielakkan. Dalam kesakitan akan ada pemaknaan baru. Karenanya, sakit atau apapun rasa yang timbul dari tubuh tidak perlu ditolak, malah perlu dikembangkan sikap menerima, memeluk. Seperti dalam meditasi ala Sumarah-Laura Romano di Borobudur Writers and Cultural Festival yang baru saja lewat.

Bagi Nietzsche, tubuh dengan segala kontradiksinya punya kearifan. Karena lewat tubuh yang merasa dan mengalami dan menghasilkan naluri itu bukanlah sesuatu yang rendah dan nista, penuh najis, tapi tubuh sebagai kekuatan hidup dan sumber kehendak. Dari sinilah istilah “Uebermens” lahir.

Kehidupan keseharian Pak Tua dan perempuan pendampingnya yang terlihat monoton, dari ruang dalam rumah, mengambil air, berulang adalah gambaran filsafat Nietzsche yang merupakan antitesa dari Plato dan agama. Nietzsche atau Bella Tarr, lewat Pak Tua mau mengatakan bahwa hidup di dunia ini sesungguhnya sangat menggairahkan, karenanya tidak diperlukan lagi akhirat. Ini jelas terlihat dalam scene ketika rombongan gypsy datang, mengajak ikut dan memberi kitab suci, dan oleh Pak Tua rombongan itu diusir. Nietzsche berkata lewat Pak Tua, “Jangan percaya pada mereka yang berbicara melebihi kehidupan di dunia ini, sebagaimana penceramah agama. Tetaplah setia pada hidup di dunia ini. Mereka yang berbicara seperti itu, hanyalah terpenjara oleh janji-janji para nabi”. “Kalian umat manusia harus menentukan sendiri hidupmu, meskipun itu sakit”.

Diperlihatkan pada suatu scene, setelah rombongan gypsy pergi dan sumur air sat, kering tidak ada lagi air, Pak Tua dan perempuan pendamping pindah, mencari tempat baru. Mereka boyongan, menaiki bukit. Tapi kita juga diperlihatkan, kemudian, mereka berdua kembali lagi. Adegan ini seperti mitologi Yunani, “The Myth Of Sisyphus”, Sisyphus yang mendorong batu ke bukit. Setiap mendekat puncak, batu itu akan menggelinding turun lagi, begitu seterusnya… Hidup di dunia ini sangat menggairahkan. Akhirat tidak diperlukan! Itulah tesisnya. Bagi sebagian orang, itulah atesime Nietzsche.

Pada lima belas sampai sepuluh menit sebelum film berakhir, dan Pak Tua sakit. Masih tanpa bicara, si perempuan menyuguhkan kentang rebus lagi, dan lagi. Saling berpandangan dalam diam. Sekali-sekali wajahnya berpaling ke luar, sebelum layar gelap, hanya suara benda bergeser. Dan baru film selesai. Namun, hidup masih tetap mengalir tak tepermanai, tetap penuh misteri. Nietzsche mau mengatakan, dengan Tuhan, segala berhala dan apapun yang diberhalakan mati, dan manusia menentukan sendiri, maka tidak ada kebenaran yang tunggal. Siapa saja bisa menentukan kebenaran. Dan kebenaran itu bisa di mana saja. Dan Tarr pun, seperti Nietzsche, dia mau bilang ke penonton, “Anda penonton punya kebenaran sendiri. Bebas menafsirkan film saya ini”.

Akan tetapi, sebagi sutradara, Tarr tidak otoriter memaksakan interpretasinya atas pemikiran Nietzsche dalam film ini sebagai final utuh, dan merasa paling benar. Dia memberi ruang juga pada kita penonton untuk mengkiritik pemikiran Nietzsche dan juga interpretasinya pada Nietzsche lewat karya filmnya ini. Kita bisa menikmati dialog atas dialog karena Tarr menyediakan ruang untuk itu lewat kamera yang intens menangkap setiap gestur, olah tubuh pemain dan dari sudut-sudut yang menyokong untuk menghasilkan gambar-gambar yang menawan dan kaya akan pemaknaan, termasuk angin keras dan segala kekuatan alam yang bisa dimaknai sisi spiritualitas Nietzshe. Jadi, apakah Nietzshe ateis? Nah, ini buah perenungan lain kali.

Selain interpretasi posmodernis ala Tarr pada pemikiran Nietzsche, film ini tiba tepat pada saat di Eropa, Amerika, atau dunia umumnya, “sayap kanan” dan populis memenangi pemilihan dan gairah keagamaan menguat dengan bermodalkan simbol-simbol ketuhanan dan bersinergi dengan kekuasaan politik. Tuhan yang diperalat untuk kekuasaan.

Selebihnya, silakan menonton saja.[MFR]

“Burning”: Cerita Cinta Murakami di Sinema Korea

Jangan dikira sinema Korea hanya sinetron seri melodrama. Minimal dalam empat tahun terakhir, selalu ada film Korea memperebutkan Palm d’Or, penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes. Puncaknya, film “Parasite” karya Bong Joon-ho menjadi film terbaik festival film bergengsi ini (Kompas, 28 Mei 2019). Tahun sebelumnya, sutradara Korea lainnya Lee Chang-dong, lewat film “Burning” mendapat penghargaan FIPRESCI sebagai kritik film terbaik, bahkan terbaik sepanjang sejarah Festival Film Cannes, selain masuk nominasi film berbahasa asing terbaik di Academy Award. Film yang dibahas kali ini adalah film “Burning”.

Setelah Jepang, perfilman Korea telah sangat maju dan cepat berkembang. Seperti juga di bidang ekonomi. Perlahan tapi pasti, Korea telah menjadi macan Asia di kancah dunia. Namun, setiap kemajuan ekonomi tanpa disertai usaha pemerataan dan keadilan akan menciptakan gap dan berpotensi merenggangkan kohesi masyarakat serta perasaan alienasi manusia-manusia yang berdiam di dalamnya.

Film “Burning” adalah upaya sutradara Chang-dong  mengeksplorasi cerita pendek sastrawan Jepang nominee Nobel, Haruki Murakami, “Barn Burning” ke dalam film layar lebar. Sebuah cerita tentang individu-individu, hubungan antarmanusia, persahabatan, cinta, dan hubungan keluarga dalam bingkai dekonstruksi sosial dari fenomena ekonomi Japan.Inc yang mengeksplorasi sistem ekonomi dengan kebebasan penuh kepada setiap orang untuk berproduksi dan mendapatkan keuntungan.

Korea adalah Jepang saat ini di bidang ekonomi pembangunan. Jika tahun 70-an mobil merek Toyota, Honda merajai jalan-jalan di seluruh dunia, khususnya di negara-negara dunia ketiga, sekarang ini produk asal Korea, antara lain handphone Samsung telah akrab di genggaman tangan orang seluruh dunia. Selain karena kedekatan budaya Korea dan Jepang, sepertinya tidak ada kesulitan bagi sutradara memindahkan setting cerita Jepang Murakami ke dalam suasana masyarakat Korea.

Tokoh utama dalam film ini adalah Jong-su, pemuda baru selesai kuliah. Dia mewakili pekerja serabutan yang mengalami keresahan seperti dalam suara menyayat Iwan Fals dalam lagu  “Sarjana Muda”. Dia bertemu dengan gadis Hae-mi, pekerja rendahan, teman sekampung di Paju, sebuah desa di perbatasan dengan Korea Utara.

Dalam fotografi, dikenal rumus jitu mengambil obyek foto, yaitu 1/3 emas, di mana obyek ditempatkan pada 1/3 frame. Film ini dibuka dengan gambar 3/4 layar diblok warna kuning. Sepertiganya warna remang, cenderung gelap dan (hanya) jari-jari dengan sebatang rokok yang mengepulkan asap. Sebuah pembukaan yang menjanjikan, seolah mengingatkan penonton akan kandungan misteri di cerita selanjutnya sampai selesai.

Itulah tangan tokoh protagonis, Jong-su yang sesaat kemudian muncul dengan wajah utuh, mematikan rokok, mengangkat kardus. Kamera kemudian mengikuti terus dari belakang dia mengantar ke tujuan. Pengambilan gambar dari belakang seolah pesan dari sutradara pada semua penonton akan kandungan misteri film ini dan perlu diikuti, dicermati. Kamera berganti kepada dua gadis berpakaian minim menari-nari di depan took, mengajak orang lewat untuk membeli. Salah satu dari dua gadis itu adalah Hae-mi. Suatu teknik pengenalan tokoh-tokoh karakter di film yang dilalui dengan smooth dan manis.

Jong-su tidak mengenali Hae-mi yang telah melakukan operasi plastik. Korea memang terkenal sebagai negeri yang bisa mengubah wajah dan penampilan fisik seseorang. Operasi plastik menjadi begitu banyak dan lumrah, mudah dijumpai di banyak orang, di banyak tempat, seperti nantinya kita akan melihat banyaknya greenhouse yang terbuat dari plastik di sekitar rumah Jong-su di kampung Paju.

Hae-mi meminta tolong kepada Jong-su untuk merawat kucing peliharaan di apartemennya, sementara dia akan traveling ke Kenya. Di unit apartemen yang sempit, Hae-mi membangkitkan ingatan Jong-su akan perkawanan mereka waktu kecil, antara lain dengan mengatakan bahwa Jong-su pernah bilang bahwa dirinya buruk rupa (ugly), dan pernah menolong dia ketika terperosok ke sumur. Sepertinya Hae-mi ingin membuat ada rasa bersalah Jong-su dengan dengan maksud tersembunyi ingin “menguasai” Jong-su. Sampailah kemudian mereka bermain seks—yang sepertinya pengalaman pertama bagi Jong-su. Dialog dan scene ini penting untuk memahami hubungan antarindividu yang timpang dan makna exploitation de l’homme par l’homme, ekploitasi manusia atas manusia dalam kapitalisme seperti dalam banyak karya Murakami.

Pulang dari traveling, Hae-mi datang bersama Ben, sesama orang Korea yang bertemu saat ada kerusuhan di Kenya. Cerita bergulir semakin intens dengan kehadiran Ben, lelaki tampan, kaya raya dan mapan, tapi misterius. Drama dibangun di antara mereka bertiga.

Dalam banyak karya Murakami, tokoh-tokohnya dibangun dengan obsesi untuk mengeksplorasi dan memahami inti dari identitas manusia. Tokoh yang dihadirkan sepertinya kerap melalui sebuah perjalanan ke tanah kematian, dunia mimpi, ke dunia metafisika yang digunakan untuk menelusuri lebih jauh ingatan akan sesuatu yang pernah dimiliki.  Karena itu, sutradara sangat cekatan menghadirkan benda-benda atau peristiwa dan tempat ke dalam scene yang semuanya memiliki makna dan terkait satu sama lainnya dengan keseluruhan cerita, dan kemudian mencoba masuk ke dalam pikiran dan kemauan Murakami yang terefleksi dalam layar, seperti jam tangan pink pemberian Jong-su kepada Hae-mi; mobil sport Porsche milik Ben yang kontras dengan mobil butut Jong-su sebagai simbol pertentangan kelas, sumur, kucing yang bernama “Boil”, propaganda politik Korea Utara yang terdengar di kampung Paju dan lebih terasa sebagai teror, koleksi pisau ayah Jong-su, greenhouse, jari-jari tangan membentuk burung terbang, semua memiliki makna semiotik dan saling-terkait.

Pengalaman pertama bercinta sepertinya sangat berkesan bagi Jong-su. Rasa itu menimbulkan cemburu Jong-su pada Ben yang dengan kepemilikan mobil mewah dan ketampanan “telah merebut” hati Hae-mi. Ben bagi Jong-su, bukan hanya penuh misteri: hidup sendiri, rumah mewah dan tertata rapi, bermobil mahal, tapi juga seperti sumur tanpa dasar yang menarik Hae-mi terserap masuk dan membikin Jong-su hanya bisa masturbasi setiap keinginan bercinta lagi dengan Hae-mi namun secara fisik tidak ada. Suatu reaksi dari sebuah fantasi guna menghadirkan pengalaman semu ke dalam pikiran namun gagal. Jong-su tidak berdaya. “Aku terjatuh ke dalam sumur”, kata Hae-mi.

Telah terbangun cinta segitiga yang ganjil dan tidak seimbang. Dari pembukaan film yang lambat dan monoton, ritme menjadi meningkat seiring konflik hubungan yang memanas seperti mendidihnya rasa cemburu Jong-su. Ingat nama kucing Hae-mi, “Si Boil” “Si Mendidih”, yang diberi nama karena ditemukan dekat pusat tungku pemanas di kompleks apartemennya.

Rasa sial Jong-su semakin menjadi ketika Ben dan Hae-mi pulang kampung ke Paju mengunjungi Jong-su. Bertiga mengisap ganja dan teror kata-kata Ben pada Jong-su tentang kerjaannya membakar greenhouse setiap dua bulan sekali tanpa pernah ketahuan sekali pun, “You can make it disappear as if it never existed,” seperti dikatakan Murakami sendiri.

Suatu kali Jong-su menerima telpon dari Hae-mi tapi segera terputus, untuk selanjutnya dia tak pernah bisa lagi menghubungi.

Jong-su menguntit Ben dengan bermain di sekitar rumah Ben. Dalam suatu dialog, Jong-su yang pernah mengaku ingin menjadi penulis dan mengidolakan William Foulkner, penulis Amerika, diperlihatkan oleh Ben novel Faulkner “Great Gatsby”. Secara halus Ben telah memberi peringatan pada Jong-su. Lewat Foulkner, Ben berkata, “The past is not dead. In fact, it is not even past. Fact and truth really don’t have much to do with each other”.

Dalam usaha pencarian, Jong-su bertemu keluarga Hae-mi yang berjualan mie. Ada dialog di antara mereka yang menyinggung cara mendapatkan uang dengan menjual organ tubuh. Apakah Ben yang kaya raya itu terlibat human trafficking dengan berbisnis organ tubuh? Wallahualam. Masih misteri. Inilah yang membuat film semakin asyik karena kepiawaian sutradara menjalin puzzle dan beberapa gambar yang cantik. Jong-su seperti masuk ke dalam lorong misteri karena terngiang ucapan Ben, “If you play with fire, you will get burned”.

Dalam jalinan cinta yang berbumbu misteri sutradara bersama kameramen masih bisa menghasilkan gambar-gambar efektif, berarti dan tetap cantik. Puncak gambar sinema indah adalah saat bertiga sambil menghisap ganja, selama empat menit lebih, dengan latar belakang senja lembayung, Hae-mi menari topless dengan iringan terompet Miles Davis membawakan “Generique”, membuat gestur tangan seperti elang terbang, sebagai signal perpisahan menuju ke kematian.

Dendam Jong-su pada Ben terus terbawa. Penggambaran pertentangan kelas dan polarisasi dalam masyarakat yang timpang dan menyedihkan. Setelah Jong-su menikam Ben dengan pisau yang dibawa dari desa Paju, dimasukkannya mayat Ben ke Porsche, Jong-su melucuti bajunya sendiri hingga telanjang bulat dan membakar mobil ikon kemewahan itu. Berlari ke mobil busuknya, dan menyetir, menjauh. Dari depan kamera menyorot wajah Jong-su dengan masih terlihat kobaran api mobil Ben namun udara masih berselimut dengan kabut. Seolah membayar tuntas dendamnya. Seolah tidak ada beban. Seolah mematikan “diri” dan egonya sendiri untuk memasuki dunia metafisik, persis juga apa yang pernah dikatakan Murakami, “Death is not the opposite of life, but a part of it”. Gambar yang puitis, seperti puisi masterpiece Chairil Anwar: “Aku”

Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri/

Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku ingin hidup seribu tahun lagi/

Peringatan sutradara pada penonton di awal lewat pengambilan gambar yang mengikuti Jong-su, seperti juga mau mengatakan pada dunia bahwa sinema Korea bukan hanya sinetron yang membikin nangis penonton.[MFR]