Berpikir Komputasi dalam Beragama

Berpikir komputasi menuntut seseorang untuk berpikir kritis, logis, dan efektif. Nugraha dkk. (2020) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis berbanding lurus dengan sikap toleransi beragama.

—- Lucky Eno Marchelin

Permasalahan yang dihadapi manusia di era globalisasi dan digitalisasi saat ini semakin kompleks sehingga mengharuskan setiap orang meningkatkan kemampuan dirinya. Menurut Dede (2010), kemampuan tersebut meliputi pemecahan masalah, berpikir kritis, kolaborasi, dan lain sebagainya. TOKI (2017) menambahkan bahwa seseorang harus menguasai keterampilan berpikir, content knowledge, dan kompetensi sosial dan emosional dalam menghadapi Abad ke-21.

Masalahnya adalah apakah manusia Indonesia mampu mengarungi Abad ke-21? PISA (Program for International Student Assessment) pada 2018 melaporkan bahwa siswa usia 15 tahun (setara SMP) di Indonesia menduduki peringkat ke 72 dari 77 negara dalam kemampuan membaca dan peringkat 72 dari 78 negara dalam kemampuan sains dan matematik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia masih tergolong rendah padahal tuntutan atas memecahkan masalah semakin tinggi. Salah satu teknik pemecahan masalah yang luas penerapannya adalah berpikir komputasi atau computational thinking (CT).

Berpikir komputasi (CT) menurut Malik, dkk (20218) bukan berarti berpikir seperti komputer, tetapi berpikir untuk merumuskan masalah dalam bentuk masalah komputasi, menyusun langkah penyelesauan yang baik (algoritma) atau menjelaskan alasan apabila tidak ditemukan solusi yang sesuai. TOKI (2018) merangkum indikator kemampuan berpikir komputasi meliputi dekomposisi, abstraksi, algoritma, dan pola.

Dekomposisi diartikan sebagai kemampuan memecah masalah yang kompleks menjadi masalah yang lebih kecil dan rinci. Misalnya, “kopi susu” yang dipecah berdasarkan komponennya yaitu kopi, gula, susu, dan air panas. Abstraksi adalah kemampuan untuk menyeleksi informasi mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak dibutuhkan. Informasi tersebut digunakan untuk menyelesaikan masalah yang serupa. Algoritma adalah kemampuan menyusun langkah-langkah yang terstruktur dalan efisien dalam penyelesaian masalah. Pola adalah kemampuan untuk mengenali permasalahan yang sama pada kasus yang berbeda.

Permasalahan komputasi yang cukup terkenal diilustrasikan dalam kisah petani, sayuran, kambing, dan srigala: Pada suatu hari, terdapat seorang petani yang memiliki seekor kambing dan srigala. Pada saat itu, ia baru saja memanen sayurannya. Petani tersebut hendak menjual sayuran, kambing, dan srigala ke pasar. Untuk sampai ke pasar, ia harus menyeberangi sungai menggunakan perahu. Permasalahannya adalah, perahu yang tersedia hanya satu yang dapat memuat paling banyak dua penumpang (petani dan salah satu dari sayuran, kambing, dan srigala). Apabila sayuran, kambing, dan srigala ditinggal oleh petani, maka kambing akan memakan sayuran, dan serigala akan memakan kambing. Bagaimana cara supaya petani, sayuran, kambing, dan srigala dapat menyebrangi sungai dengan selamat?

Berpikir komputasi menuntut seseorang untuk berpikir kritis, logis, dan efektif. Nugraha dkk. (2020) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis berbanding lurus dengan sikap toleransi beragama. Melimpahnya informasi di media sosial, khususnya informasi yang berkaitan dengan agama dan beragama mengharuskan seseorang untuk menerapkan CT. Kemampuan berpikir inilah yang akan menentukan sikap dan perilaku seseorang dalam beragama.

CT sendiri bukan merupakan hal baru, diperkenalkan pertama kali pada 1996 oleh Seymour Papert dan dipopulerkan oleh Jeanette Wing pada 2006 (Dagiene dan Setance, 2016). Di Indonesia, berpikir komputasi dipopulerkan oleh Prof. Inggriana Liem. Penerapan CT sangat luas lingkupnya, termasuk dalam beragama. Contoh sederhana penerapan CT dalam beragama, misalnya, bagaimana  membuat bak mandi sesuai kaidah supaya air tetap suci di lahan yang terbatas. Atau bagaimana cara membagi zakat supaya tepat sasaran di lingkungan yang hampir semua warganya menengah ke atas, atau bagaimana bank syariah menjalankan usahanya supaya mendapat keuntungan maksimal.[MFR]

Bangkitkan Idealisme Generasi Emas, DEMA SAA Gelar Lomba Ilmiah

Pada Minggu 9 Juli sehari yang lalu Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Studi Agama-Agama IAIN Kediri telah mengadakan event Lomba Esai bertajuk “Bangkitnya Idealisme Pemuda Menuju Generasi Emas 2045”. Tujuan dari acara ini tak lain dan tak bukan yakni untuk mengasah kreativitas menulis para mahasiswa ketika diharuskan produktif di rumah ketika masa pandemi. Maksud dari tema yang diambil dalam lomba ini yaitu fokus pada kepemudaan mengingat peran pemuda saat ini akan sangat berpengaruh pada 35 tahun yang akan datang. Kemudian apa yang harus dilakukan para pemuda saat ini yaitu harus membangkitkan idealisme mereka. Paradigma para pemudalah yang nanti menentukan apakah generasi yang akan datang lebih baik dalam arti mampu membuat sebuah perubahan positif bagi negaranya atau bahkan sebaliknya. Jadi, mulai sekarang para pemuda setidaknya harus berpikir lebih dewasa lagi dan membuang segala hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya apalagi dengan orang-orang disekitarnya.

Lomba ini dimulai pendaftaran pada tanggal 20 Juli sampai 27 Juli 2020. Tak hanya Mahasiswa Studi Agama-Agama saja melainkan para peserta di berbagai jurusan dan antar kampus turut antusias dalam event ini. Jadi dengan begitu tingkat persaingan dalam hal kreativitas menulis sangatlah ketat bagi para peserta tersendiri. Salah satu contohmya dari Mahasiswa SAA IAIN Kediri. Dia sangat terkejut dengan peserta yang ada dalam lomba ini dan membuatnya sedikit grogi. Namun, hal itulah yang menjadi motivasi bagi dirinya untuk lebih baik dalam menulis esai nanti. Kemudian berlanjut dalam proses pengumpulan karya pada tanggal 21 Juli hingga 02 Agustus 2020. Para peserta diwajibkan mengikuti aturan kepenulisan dari pihak panitia dan mengikuti beberapa syarat-syarat lain yang ada khususnya harus sesuai dengan tema yang ada. Setelah itu karya dikumpulkan lewat email yang tersedia yaitu di Gmail saaiainkediri@gmail.com. Setelah itu tahap berikutnya adalah penjurian yang dilaksanakan pada tanggal 03 sampai 07 Agustus 2020. Dalam penjurian ini dilakukan oleh 2 Dewan Juri 1 yaitu Lukman Hakim, S.I.Kom., M.Sos. Beliau adalah dosen Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Kediri juga merupakan Koordinator Lingkar Dosen Menulis (LDM). Kemudian Dewan Juri 2 yaitu M. Thoriqul Huda, M. Fil.I. Beliau merupakan dosen Studi Agama-Agama IAIN Kediri juga seorang peneliti lepas. Dalam proses penjurian yang dinilai yaitu:

  1. Kesesuaian tema “Bangkitnya Idealisme Pemuda Menuju Generasi Emas 2045” dengan nilai 1 sampai 25
  2. Pengaturan dokumen esai pada umumnya dengan nilai 1 sampai 15
  3. Rasionalitas ide, observasi dengan nilai 1 sampai 30
  4. Kaidah penulisan, penggunaan bahasa dengan nilai 1 sampai 30

Tahap berikutnya adalah pengumuman pada tanggal 9 Agustus 2020. Dalam pengumuman ini diberitahukan lewat WhatsApp grub Lomba Esai SAA IAIN Kediri, Facebook Perbandingan Agama dan Instagram saa_iainkediri. Pengumuman tersebut menghasilkan nama-nama pemenang lomba esai. Total nilai tertinggi dari kedua dewan juri adalah juara pertama. Nama-nama tersebut ialah:

  1. Juara 1 dimenangkan oleh Ibnu Akbar Maliki dengan judul esai “Sosial Media untuk Demokrasi Indonesia: Upaya Meningkatkan Partisipasi Politik di Era Teknologi” mendapatkan total nilai 178.
  2. Juara 2 dimenangkan oleh Binti Khoirun Nisak dengan judul “Membangkitkan Sikap Idealisme untuki Indonesia Lebih Jaya dengan Generasi Emas 2045” mendapatkan total nilai 165.
  3. Juara 3 dimenangkan oleh Dzikron Rachmadi dengan judul “Harapan Besar Bangkitnya Idealisme Pemuda Menuju Generasi Emas Indonesia 2045” mendapatkan total nilai 161.

Pengumuman tersebut disambut meriah oleh para peserta meskipun hanya sebatas online melalui grup WhatsApp. Para peserta begitu lega dengan keputusan yang ada dan sangat bersikap positif juga saling mengucapkan selamat kepada para pemenang. Ucapan selamat juga diberikan oleh Mohamad Bagus Rozikun selaku Ketua DEMA SAA IAIN Kediri. Berikut adalah pesa-pesanya:

“Saya ucapkan selamat kepada juara 1, 2 dan 3 lomba esai SAA IAIN kediri. Pesan untuk para juara yakni tetap tingkatkan terus prestasi kalian! Kemudian pesan untuk para peserta yang belum beruntung yakni jangan menyerah dan cobalah kesempatan di lain waktu.” Ketua DEMA SAA IAIN Kediri.

Kemudian salah satu juri yaitu Lukman Hakim juga menyampaikan pesan-pesan kepada para juara dan peserta:

“Kepada seluruh peserta. Saya secara khusus perlu mengapresiasi atas kerja keras dan semangat dalam menghasilkan karya. Perlombaan ini tidak boleh menjadi akhir, tapi awal pemantik untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Perlu saya sampaikan, bahwa di bawah kolong langit manapun di dunia ini, penulis yang menghasilkan karya monumental selalu punya kebiasaan membaca yang mendarah daging. Mustahil menulis bagus tanpa pernah membaca. Hal lain yang tidak kalah penting, sebagus apapun karya yang dihasilkan tapi hasil mencaplok karya orang lain itu kejahatan intelektual. Setara dengan koruptor dan pencuri. Jadi menulislah dengan proses, tak ada jalan instan untuk menjadi penulis.” Lukman Hakim (Juri).

#saamantab
#salamtoleransi
#saaiainkediri

Hidup ‘Selow’ dengan Filosofi Tao

“Setiap orang adalah jenius, tapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidupnya dia akan memercayai kalau dia bodoh”

——Albert Einstein

Pernahkah Anda mendengar ungkapan, “Setiap orang adalah jenius, tapi jika kamu menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka seumur hidupnya dia akan memercayai kalau dia bodoh”? Konon kalimat ini keluar dari mulut seorang fisikawan besar Albert Einstein; tapi tak soal dari mana ungkapan itu berasal. Jika Anda pernah, apa yang pertama kali terbesit di benak Anda?

Kita bisa saja menjadi manusia yang bernasib sama dengan ikan tersebut. Kita menjadi seekor ‘ikan’ yang terlanjur masuk ke dalam kubang penilaian orang lain; kita dibilang tidak punya bakat, tidak terampil, dan bodoh. Penilaian semacam itu tentunya  sangat menyakitkan dan membuat hidup kita tertekan.

Sebaliknya, kita juga bisa menjadi si ‘penilai’ yang secara angkuh mendaku sebagai penguasa atas segala hal. Kita merasa berhak menjatuhkan siapapun dan merusak apapun atas dalih memenuhi keinginan yang sayangnya tidak akan pernah merasa terpuaskan tersebut.

Lalu, bagaimana mengatasi tekanan dan keinginan berlebih sehingga hidup kita bisa damai dan bahagia? Filosofi Tao bisa jadi sebuah jawaban. Filosofi ini mengajarkan kita untuk bisa lepas dari “keruwetan” yang tampak semakin hari semakin berat.

Sebelum itu, mari kita lihat sejenak pengertian filosofi Tao sebagai pondasi pengetahuan untuk mengurai masalah pelik di atas. Taoisme merupakan kepercayaan tua asal Cina. Ia diperkiran telah ada sejak abad ke-6 SM. Tokohnya yang terkenal adalah Lao Zi/Lao Tzu (Pitoyo, 2006). Lao Tzu diyakini juga sebagai pengarang kitab masyhur rujukan penganut Taoisme: Tao Te Ching.

Tao/Dao sendiri berarti “jalan” ; suatu cara untuk bertindak. Konfusius memakai istilah Tao untuk mengacu pada cara bertindak yang benar dalam sekup moral, sosial, dan politik (Creel, 1989). Tao juga bisa diartikan sebagai jalan yang tidak kaku dan luwes; memberi kesempatan kepada manusia untuk mengubahnya sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing (Lasio, 1983). Pengertian di atas memberi arti secara eksplisit bahwa Tao bekerja dalam koridor filsafat etika. Di kalangan filsuf kontemporer, Tao terbagi ke dalam dua macam; Tao sebagai agama (Tao Chiao) dan Tao sebagai filsafat (Tao Chia).

Untuk memahami Taoisme sebagai filsafat etika, perlu merunut pengertian Tao dari sisi metafisika. Tao adalah sumber yang unik dari segala sesuatu; ia polos, tak berkehendak, murni, tanpa tujuan, “spontanitas” (Tzu Jan), dan impersonal (Pitoyo, 2006). Singkatnya, Tao adalah apa yang kita kenal dengan Yang Mutlak ‘Supreme Being’.  Di Jawa, istilah ini mungkin bisa disepadankan dengan ungkapan “Tan Kena Kinaya Ngapa” “Yang Tak Dapat Direka-reka dengan Pikiran” atau “Sang Hyang Suwung” “Yang Tak Terkatakan”.

Tao sebagai prinsip dasar realitas memberi ‘percikan’ kepada seluruh realitas yang ada. Percikan dari Tao disebut juga sebagai “Te”, artinya “daya” atau “kebajikan” (Fung Yu-Lan, 1990). Te terdapat dalam segala benda sebagai kepanjangan “diri” Tao. Dalam buku Chung Tzu Bab II dijelaskan bahwa Te ini pula yang kemudian menempatkan manusia setara dengan belut, ikan, monyet, dan burung (Creel, 1989).

Kebajikan dalam Te tidak diartikan sebagai lawan dari keburukan. Ia lebih tepat dimaknai “sederhana”, “kepolosan”, “kemurnian”, “kewajaran”, dan “kealamian”. Te adalah sintesis dari paradoks alam (Jawa: Rwabinedha) yang kemudian disimbolkan dengan Ying dan Yang. Ia adalah sesuatu yang menangkal segala “keruwetan” yang disebabkan oleh hal-hal yang saling kontradiktif dan berlebihan. Asumsi ini didasarkan pada esensi manusia yang merupakan bagian dari Tao. Te ibarat “rem” yang menghendaki manusia bertindak wajar, alamiah, polos, dan sederhana sesuai watak dari Tao.

Bagi Taoisme, segala hal yang direkayasa itu palsu. Tao sebagai filsafat etika bersumber dari sesuatu yang bersifat metafisik. Ia menegasikan klaim bahwa manusia adalah subjek dari alam semesta yang bisa dengan pongah mengeksploitasi alam dan berperilaku superior atas manusia yang lain.

Secara praksis, Taoisme menawarkan konsep  “wu wei” sebagai solusi atas segala tekanan dan keinginan berlebih manusia. Istilah ini dapat diterjemahkan sebagai “tanpa bertindak”, “jangan berbuat apapun”, “tidak berbuat”, dan “jangan mencampuri” (Pitoyo, 2006). Namun agaknya pengertian ini tidak bisa dimaknai sebagai seruan bersikap pasif saja. Wu wei sebenarnya adalah anjuran untuk bersikap sewajarnya, sesuai dengan kodrat, alamiah, dan tidak mengejar pemuasan keinginan (baca: woles). Konsekuensi dari kewajaran melakukan sesuatu adalah tiada melakukan “agresi” terhadap apapun (Yosef, 1993). Segala sesuatu dibiarkan berlangsung apa adanya tanpa perlu disiasati, dicampuri,  atau dibuat-buat. Sederhananya, wu wei juga dapat diartikan sebagai “bertindak dengan tanpa tindakan”.

Kebijaksanaan wu wei sering diidentikan dengan air. Air adalah unsur terlemah sekaligus terkuat. Maksudnya, kelemahan dapat mengalahkan kekerasan, dan kelembutan dapat mengalahkan kekakuan (Tao Te Ching, Bab 78). Di India, filosofi ini mirip dengan konsep Ahimsa-nya Mahatma Gandhi.

Fahruddin Faiz menjelaskan dalam serial “Ngaji Filsafat” bahwa Taoisme mengajarkan tujuh prinsip: simplicity ‘kesederhanaan’; sensitivity ‘kepekaan’; flexibility ‘kelenturan’; independence ‘kemerdekaan’; focused ‘berpikir jelas’; cultivated ‘matang’; dan joyous ‘gembira’. Penganut Taoisme meyakini ketujuh prinsip ini mampu mendatangkan kehidupan yang bahagian dan alamiah.

Bila Taoisme diilustrasikan sebagai seni bela diri, ia mungkin serupa dengan Aikido asal Jepang. Dalam Aikido, orang bergerak mengikuti gerakan musuh dan sama sekali tidak melakukan perlawanan sedikit pun. Cara mengalahkan musuh bukanlah menyerangnya dengan kekerasan, melainkan secara pasif dan luwes menggunakan kekuatan musuh tersebut  untuk menjatuhkannya di saat yang tepat (Reza, 2010). Silakan temukan Tao Anda!