



Kunjungi: Kampus Kita
Mahasiswa Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Kediri turut berpartisipasi dalam agenda Gusdurian Nganjuk yang bertempat di Kedai Sae Jl. Wilis, Ds. Keramat, Kec. Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Acara yang dimaksud adalah peringatan haul satu dekade KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Acara tersebut dilakukan dalam rangka mengenang kembali jasa-jasa Gus Dur. Selama hidupnya beliau merupakan seorang tokoh pertama yang menyebarkan semangat pluralisme di Indonesia sehingga tak hayal beliau disebut sebagai Bapak Pluralisme Bangsa.
Peringatan Haul Gus Dur yang dilaksanakan oleh Gusdurian Nganjuk ini merupakan momen yang sangat krusial. Mahasiswa Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Kediri juga tidak lupa hadir, termasuk juga banyak peserta dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Di antara mereka adalah Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Majelis Lintas Kepercayaan terhadap Tuhan Indonesia (MLKI), Jemaat Gereja Katolik, Jemaat Gereja Kristen, Umat Gereja Sidang Jemaat Allah, Umat beragama Tionghoa, Tokoh Ahmadiyah, Tokoh Nahdlatul Ulama, Ikatan Mahasiswa Kota Angin (IMASKA), Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Komunitas Fotografi Nganjuk (KFN) dan Komunitas Motor. Acara ini juga didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Desa beserta BABINSA dan Polsek Kecamatan Sukomoro.
Acara Haul Gus Dur kali ini mengambil tema “Kerukunan untuk Pemberdayaan dalam Semangat Nganjuk Nyawiji.” Tema ini diangkat berdasarkan kondisi saat ini yang ada di negeri kita saat ini. Indonesia memiliki beragam masyarakat yang majemuk. Di dalamnya terdapat latar belakang yang berbeda-beda, baik suku, agama, ras, dan antar golongan. Dengan masyarakatnya yang majemuk sangat dimungkinkan perpecahan terjadi karena perbedaan paham dan pendapat, terutama di era globalisasi yang ditandai dengan disrupsi akibat semakin canggihnya teknologi. Dengan demikian, menghidupkan kembali pemikiran-pemikiran Gus Dur akan selalu relevan dan bahkan sebuah keniscayaan, seperti semangat pluralisme. Slogan “Nganjuk Nyawiji” menandakan bahwa artinya penerus perjuangan Gus Dur bukan hanya tanggung jawab Gusdurian Nganjuk, tapi juga seluruh masyarakat Nganjuk tanpa terkecuali. Dengan bersatu, cita-cita Gus Dur untuk Indonesia yang rukun bisa digapai.
Seluruh rangkaian acara Satu Dekade Haul Gus Dur ini berlangsung sukses. Acara dipimpin langsung oleh Bapak Tri Santoso sebagai ketua panitia. Acara diawali dengan pembukaan lalu sambutan-sambutan dari berbagai tokoh masyarakat lintas agama dan budaya. Dalam sambutannya, mereka menyampaikan masukan dan harapan demi terciptanya suatu kerukunan antar sesama masyarakat, wabilkhusus di Nganjuk. Kaum muda juga tidak ketinggalan. Para pemuda dari berbagai organisasi dan komunitas juga menyampaikan sepatah dua kata terkait membangun kerukunan atas dasar semangat kepemudaan. Acara diakhiri dengan doa bersama, dipimpin oleh Ustadz Sutikno, salah seorang tokoh dari Ahmadiyah. Sesi puncak ditandai dengan pemotongan tumpeng secara simbolik, dipimpin oleh Bapak Dr. Mohammad Arif, MA. selaku koordinator dari Gusdurian Nganjuk (Kontributor: Dema SAA)
Mahasiswa Prodi Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Kediri turut berpartisipasi dalam agenda Bakti Sosial dan Pelayanan Pengobatan Gratis dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke 63 Rumah Sakit Baptis Kediri di Desa Ngadirejo Tanjunganom Nganjuk. Kegiatan ini juga merupakan bentuk nyata kerjasama antara Prodi SAA IAIN Kediri dan Rs. Baptis yang sudah terjalin lama. Kegiatan ini juga didukung oleh Paguyuban Lintas Agama & Kepercayaan Kecamatan Tanjunganom, Gusdurian Nganjuk, Relawan kebersihan CTC, dan sejumlah relawan lainnya.
Masyarakat menyambut antusis kegiatan bakti sosial dan pelayanan pengobatan gratis ini. Bahkan, kursi yang sudah disiapkan tidak mampu menampung jumlah peserta yang membludak selama acara. Kegiatan ini sendiri diselenggarakan pada hari Sabtu, 15 Februari 2020, di Balai Desa Ngadirejo Tanjunganom Nganjuk, dimulai pada pukul 08.00 hingga selesai. Warga masyarakat di kawasan Ngadirejo ini umumnya menderita penyakit darah tinggi dan gula batu. Sambil memberikan pengobatan gratis, para perawat juga menyosialisasikan pola hidup sehat yang benar kepada warga yang hadir. dr.E.grace l.sp.M, direktur Rumah Sakit Baptis Kediri berpesan bahwa sekecil apapun penyakitnya harus segera ditangani. Bahwa kesehatan bisa di berlakukan dan dibiasakan melakukan pola hidup sehat.
Pengobatan gratis ini, selain memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, juga menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah di atas segalanya. Keterlibatan sejumlah organisasi yang berasal dari latar agama yang berbeda seolah-olah ingin menegaskan pesan universal bahwa, “mereka yang tidak seiman adalah saudara dalam kemanusiaan.” Kegiatan ini perlu dilestarikan karena selain membantu masyarakat bawah, pengobatan gratis semacam ini adalah bentuk dialog agama dalam kehidupan nyata. Dialog agama tidak selalu harus dilakukan dalam bentuk diskusi teologis di acara-acara resmi, tapi terpenting lagi adalah dialog melalui perjumpaan sosial (dialogue of life) di tengah masyarakat. Paradigma dialog agama harus bergeser dari melulu teologis pada dialog soal isu-isu bersama seperti kesehatan, kemiskinan, lingkungan, pendidikan, dan sebagainya (Dema SAA).
Tak hanya komunitas Lintas Agama saja yang ada di Kota Nganjuk yang turut meramaikan Jalan sehat perayaan imlek, Dema Studi Agama Agama (SAA) IAIN Kediri pun turut serta berpartisipasi dalam acara jalan sehat perayaan imlek. Antusiasme terhadap acara ini mencerminkan bahwa toleransi antar umat beragama di junjung sangat tinggi oleh masyarakat berbeda agama, tak terkecuali di Nganjuk.
Perayaan jalan sehat pasca Imlek kali ini nampak berbeda. Peserta bukan hanya berasal dari kalangan umat Klenteng saja, tapi juga masyarakat umum, termasuk Gusdurian Nganjuk yang mewadahi berbagai macam lintas agama yang di nahkodai oleh Dr.Mohammad Arif. Tidak ketinggalan juga ikut berpartisipasi adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Nganjuk, Ikatan Mahasiswa Nganjuk (Imaska) dan Dema Studi Agama – agama IAIN Kediri tak mau ketinggalan ikut andil berpartisipasi.
Beberapa kelompok dari Dema Studi Agama – agama IAIN Kediri. Mereka tampak kompak, akrab, dan membantu kesuksesan acara jalan sehat ini.
Kegiatan ini dihelat di Alun – alun Nganjuk, tepatnya di depan Pendopo Nganjuk sebagai bagian memeriahkan jalan sehat pasca imlek pada hari Minggu 09 Februari 2020. Diharapkan kemeriahan dan keakraban dalam acara ini semakin membuat warga Nganjuk guyub dan rukun.
Seorang Mahasiswa dari IAIN Kediri Sahabat Agus Alvianto, keterlibatan dalam kegiatan jalan santai pasca imlek ini merupakan satu sikap penghormatan, untuk menjalin harmonisasi sesama umat beragama. Senang dan merasa terhormat dapat membantu serta partisipasi di acara jalan sehat pasca imlek Karena tidak semua orang dapat menjadi panitia” ujarnya.
Bagus Rozikun, Ketua Dema SAA IAIN Kediri yang juga anggota Gusdurian Nganjuk mengatakan bahwa perbedaan merupakan keniscayaan. Sikap saling menghormati dan menghargai agama atau keyakinan lainnya adalah perwujudan nilai kebangsaan dan kemanusiaan, ujarnya. (DemaSAA).
*Disarikan oleh Mohamad Bagus Rozikun (mahasiswa SAA, sem 1/2019)
Pada hari Senin tanggal 09 Desember 2019 pukul 13.00 WIB, Laboratorium Studi Agama-Agama atau kerap disebut eLSAA melanjutkan diskusi rutinnya. Kali ini diskusi eLSAA mengangkat tema melawan radikalisme agama yang lagi ramai diperbincangkan. Radikalisme agama tidak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa setiap agama punya klaim kebenaran (truth claim) mereka sendiri-sendiri, dan klaim ini berpotensi memicu perselisihan bahkan konflik apabila setiap pemeluk agama tidak bisa menempatkannya dengan baik atau menganggap paling benar dengan menafikan kebenaran pihak lain. Bertindak sebagai pemantik diskusi adalah Bapak Maufur, alumni Center for Religion and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan juga dosen di Prodi SAA IAIN Kediri. Diharapkan dengan diskusi ini, mahasiswa SAA IAIN Kediri sadar dan peka terhadap isu-isu radikalisme agama dan berperan aktif menangkalnya.
Istilah ‘radikal’ seringkali dikaitkan dengan tindakan yang menggebu-gebu dan kerap disertai dengan aksi kekerasan. Tidak hanya itu, ‘radikal’ dewasa ini bukan hanya sebatas tindakan atau aksi saja, melainkan ia telah menjadi suatu paham (“isme”) bagi individu atau kelompok tertentu. Sebagai sebuah faham, istilah “radikalisme” menyeruak sebagai wacana publik yang mengalami kontestasi makna di kalangan banyak pahak. Bagaimanapun sebuah istilah didefinisikan, ia selalu mengandung nilai yang kadang memihak kepentingan tertentu. Dengan demikian, sebuah istilah tidak akan pernah netral atau bebas nilai (value-free).
Apa sih sebenarnya radikalisme itu sendiri? Sampai sekarang belum ada definisi mutlak atau final mengenai makna radikalisme. Sejatinya, radikalisme dulu memiliki pengertian yang positif. Misalnya di Barat, radikalisme dinisbatkan kepada kelompok kiri yang melawan status quo (rezim yang berkuasa). Kelompok kiri artinya mereka yang kritis atas kebijakan penguasa yang dianggap tidak memihak pada rakyat kecil. Di Indonesia, radikalisme dulunya dipakai oleh penjajah untuk menyebut mereka yang tidak mau tunduk dan selalu menentang mereka. Karena mengumandangkan resolusi jihad melawan penjajah Belanda, misalnya, KH Hasyim Asy’ari dan pengikutnya kerap dipanggil kelompok radikal oleh Belanda.
Saat ini, maraknya aksi teror dan kekerasan atas nama agama menggeser makna radikalisme pada konotasi negatif. Radikalisme agama, misalnya, diartikan sebagai pemahaman keagamaan yang ‘keras’ dan ‘fanatik’ serta menghalalkan kekerasan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengaitkan radikalisme sebagai embrio terorisme. Ia adalah suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal adalah: intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain); fanatik (selalu merasa benar sendiri); menganggap orang lain salah; eksklusif (membedakan diri dari umat pada umumnya); dan revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Menurut narasumber, kita tidak boleh menggunakan radikalisme secara gegabah, apalagi dalam konteks beragama. Alih-alih menyelesaikan persoalan, pemakaian istilah ini secara membabi-buta bisa kontraproduktif dan malah memicu kebencian pada negara dari umat yang merasa dipojokkan dengan istilah ini. Radikalisme bukan eksklusif milik agama tertentu, tapi ada di semua agama maupun ideologi lain. Upaya melawan radikalisme harus diawali dari pencegahan dan deteksi dini. Pemahaman terhadap karakteristik radikalisme agama di kalangan anak muda, misalnya, bisa menjadi benteng bagi infiltrasi ideologi-ideologi radikal yang menyusup dalam doktrin-doktrin keagamaan. Terakhir, Pak Maufur mengingatkan kepada mahasiswa SAA untuk selalu mengedepankan moderatisme dalam keberagamaan. Moderatisme artinya jalan tengah (middle-path), pilihan antara dua kutub ekstrem. Dalam literatur Islam, istilah ini dipadankan dengan tawassut (tengah-tengah), al-qist (adil), at-tawazun (seimbang), dan i’tidal (lurus).[]
Setelah berlangsung selama beberapa pekan, Praktikum Pengkajian Sosial Keagamaan (PPSK) Prodi SAA Tahun 2019 akhirnya memasuki tahap akhir dari semua rangkaian pelaksanaannya. Bertempat di Aula Lt. Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, panitia menggelar kegiatan “Ekspose Hasil PPSK SAA 2019” pada hari Selasa, 3 Desember 2019. Dalam kegiatan ini, setiap kelompok memaparkan hasil kajian mereka selama satu bulan di empat KUA di Kab. Kediri: Banyakan, Kandat, Grogol, dan Ngadiluwih. Kegiatan ini dibuka oleh Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Dr. Asror Yusuf dan dihadiri oleh mahasiswa praktikum, dosen pembimbing lapangan, dan sejumlah dosen lain. Selain itu, ajang ini juga menjadi bahan evaluasi bagi pelaksanaan praktikum prodi SAA di tahun-tahun mendatang.
Dalam sambutannya, Dr. Asror Yusuf mengungkapkan harapannya bahwa mahasiswa bisa belajar banyak hal dari praktikum ini sehingga menguatkan kompetensi mereka nanti ketika berkiprah di masyarakat. Kaprodi SAA, Dr. Mohammad Arif, dalam sambutannya mengatakan bahwa KUA dipilih sebagai tempat praktikum karena secara historis KUA dan Prodi SAA memiliki hubungan yang erat dan mutualis. Dia juga menegaskan bahwa KUA punya peran yang sangat krusial dalam pembangunan kehidupan sosial keagamaan masyarakat karena institusi ini berada di garda depan dalam berurusan dengan semua persoalan sosial keagamaan di akar rumput.
Berdasar pemetaan masalah yang berhasil dilakukan oleh setiap kelompok, ada beberapa isu penting yang mengemuka. Konversi agama, aliran kepercayaan, keberagamaan PSK, intoleransi, nikah di bawah umur dan perceraian adala beberapa persoalan yang sampai saat ini masih menjadi tantangan dan pekerjaan rumah di masing-masing KUA di Kab. Kediri. Namun demikian, mahasiswa peserta praktikum juga berhasil mengidentifikasi bentuk-bentuk ketahanan sosial (social resilience) di tengah masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul di era disrupsi ini. Contohnya, di beberapa KUA kaum perempuan sekarang mulai aktif terlibat dalam upaya membangun kerukunan antar umat beragama di lingkungan mereka. Beberapa penyuluh KUA juga aktif melakukan upaya pendampingan keberagamaan bagi pekerja seks komersil yang diorganisasi dalam satu wadah bernama pondok pesantren.
Penguatan kelembagaan dan sumber daya manusia, debirokratisasi layanan, dan tersedianya data-base terkait kehidupan sosial-keagamaan adalah beberapa rekomendasi kebijakan bagi KUA dalam menjalankan peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Dalam sesi diskusi, muncul usulan agar transfer pengetahuan dari hasil praktikum ini dilakukan dalam bentuk publikasi hasil kajian yang telah dilakukan mahasiswa. Seyogianya hasil praktikum ini tidak hanya mengendap di rak-rak kampus tapi harus disosialisasikan kepada masyarakat sebagai sumbangsih nyata prodi SAA. Prodi SAA mulai harus memikirkan bagaimana hasil praktikum ini dipublikasikan di website, jurnal, ataupun buku sehingga bisa dibaca oleh semua stakeholders yang ada.
Bagi peserta praktikum, berakhirnya pelaksanaan PPSK SAA 2019 ini juga berarti mereka telah menyelesaikan satu fase penting dalam penyelesaian studi mereka. Penulisan skripsi adalah tahap berikutnya yang harus mereka tempuh sebelum merengkuh gelar sarjana. Diharapkan pengalaman mereka selama praktikum bisa menjadi inspirasi dalam menentukan fokus riset skripsi mereka. Satu tahapan telah terlampaui, tantangan berikutnya menanti. Selamat dan Semangat, Adik-Adik Mahasiswa!