Petualangan Ganesha bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis
—- Moh. Irmawan Jauhari
Antroposentrisme di satu sisi mampu mengantarkan manusia menjadi lebih baik dan memahami eksistensinya dalam kehendak bebas yang sistematis dan rasional. Akan tetapi, ketika perjalanan menjadi semakin jauh, hubungan manusia dengan alam cenderung eksploitatif dan tanpa kontrol karena semesta ada diperuntukkan buat manusia. Pengerukan SDA tanpa batas, pencemaran lingkungan, industrialisasi, adalah sebagian permasalahan yang bermula dari antroposentrisme. Ditambah globalisasi yang ingin melakukan percepatan putaran kapital sampai pelosok Negara Selatan menjadikan keadaan semakin rumit dan tidak semudah Shiva merubah keadaan dengan sepeda ajaibnya.
Petualangan Ganesha yang terbit pada Mei 2021 secara filosofis mencoba mengajak para pembaca untuk memahami hubungan alam dan manusia dengan lebih jernih. Buku ini mengambil latar Gunung Wilis dengan beberapa potensi wisata maupun folklore yang pernah penulis dapatkan ketika berkunjung ke Kawasan Lingkar Wilis. Semuanya disusun menjadi satu dalam bentuk dialektika fiksi sekaligus memberikan interpretasi akan makna antroposentris yang memperhatikan keseimbangan kosmik. Atau dalam mata kuliah Aliran Kepercayaan, keseimbangan manusia sebagai jagad alit dan semesta sebagai jagad ageng.
Tidak dapat dipungkiri hari ini atas nama keegoisan manusia, di Wilis sudah tidak terdapat hutan dalam arti kata yang sebenarnya. Sebabnya adalah banyaknya pembalakan liar beberapa tahun lalu, alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomi, serta kurang pedulinya kita semua akan keberadaan gunung sebagai paku dari dunia. Bagaimana jika beberapa paku dalam meja kita ambil dan rusak? Jawabannya pasti meja tersebut turut rusak.
Petualangan Ganesha singkatnya bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis. Alkisah, Ki Barda ingin mencabut segel gunung sehingga menjadikan Wilis sebagai salah satu gunung berapi. Kelima pelajar tersebut pada akhirnya terlibat dalam upaya menyadarkan Ki Barda agar tidak meneruskan perbuatannya karena membawa dampak yang merugikan bagi manusia dan penghuni Wilis lain.
Pesan moral yang ingin disampaikan adalah manusia dengan segenap perbuatannya berpotensi merusak alam sekaligus bisa memperbaikinya. Kerusakan di Kawasan Gunung Wilis tidak semata kerusakan fisik, namun juga budaya, ekonomi, dan ruang sosial masyarakatnya. Melalui Petualangan Ganesha, kerusakan-kerusakan tersebut disamarkan dalam bentuk cerita agar menarik untuk dibaca dan dipahami oleh anak-anak dan para remaja.
Sebagai sebuah karya fiksi, tentu langkah yang diambil bukan taktis menangani bencana atau pelestarian lingkungan. Akan tetapi ini adalah langkah strategis yang bisa jadi buahnya setelah sepuluh dan dua puluh tahun lagi, terdapat kesadaran kolektif untuk memelihara lingkungan khususnya masyarakat Wilis. Diperlukan benang merah Gerakan-gerakan taktis serta strategis untuk menanamkan spirit kepedulian lingkungan. Dalam pandangan penulis, fiksi berbalut ilmiah adalah salah satunya. Sehingga pada akhirnya terdapat sinergi gerak antara akademisi, pegiat lingkungan, dan para stakeholder lain dalam memberikan edukasi terkait merawat lingkungan untuk generasi mendatang.
Rencananya, seri Petualangan Ganesha akan berlanjut di beberapa gunung lain serta mengangkat mitos maupun potensi lain yang ada. Dengan harapan muncul kecintaan pada lingkungan, kepedulian pada basis sejarah dan budaya, serta menguatnya budaya literasi. Dan untuk mendukung Gerakan kepedulian lingkungan, penulis menyarankan jika ingin membeli buku ini bisa di google books sehingga tidak perlu versi cetak. Mengingat dengan membeli di portal online, Sebagian keuntungan akan didonasikan untuk kegiatan literasi dan pelestarian alam. [MFR]
Alumni SAA-2008 IAIN Kediri; Novelis dan Dosen di Nganjuk. Beberapa karyanya: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (LKiS, 2018); Pada Sebuah Episode (Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019).
“Bengawan Sore” merupakan kumpulan sembilan belas cerpen yang berisi beberapa hal. Pada garis besarnya terdapat lima arus utama dalam kumpulan cerpen ini di mana muatan nilai agama, kemanusiaan, pendampingan masyarakat, kritik sejarah dan nasionalisme membaur menjadi satu.
—- Irmawan Jauhari (penulis)
“Bengawan Sore” merupakan kumpulan sembilan belas cerpen yang
berisi beberapa hal. Pada garis besarnya terdapat lima arus utama dalam
kumpulan cerpen ini di mana
muatan nilai agama, kemanusiaan, pendampingan
masyarakat, kritik sejarah dan nasionalisme membaur menjadi satu. Sebagai antologi
cerpen, buku ini juga tidak lepas dari kisah canda tawa maupun tangis haru
mahasiswa dan santri, mengingat penulis
ingin memberikan kesegaran suasana serta tidak terjebak pada konsep yang kaku. Bisa
jadi juga pembaca akan menemukan beberapa kisah dengan tema yang mungkin absurd
serta susah dicerna karena tidak jelas sama sekali arahnya.
Nilai yang pertama adalah agama, yang merupakan pondasi paling utama dalam melakukan
segala kegiatan manusia di dunia. Dengan memiliki pondasi yang kuat seseorang
akan mampu mengatasi problematika yang dihadapi. Penulis juga mencoba mengajak
pembaca memahami bahwa agama tidak sekedar bermakna kesalehan ritual, namun
juga terdapat dalam upaya-upaya memahami orang lain demi perubahan yang
berarti.
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan, artinya keberpihakan kepada manusia dan nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan merupakan Bahasa universal yang terdapat dalam semua agama dan
hukum moral. Pemahaman yang cukup baik mengenai manusia dan kemanusiaan akan
membawa pembaca menemukan korelasi sebab akibat dalam beberapa cerpen yang
disajikan. Dengan kemanusiaan pula seseorang akan mampu menemukan keseimbangan
dalam realitas sosial.
Nilai ketiga adalah pendampingan,
yang merupakan refleksi penulis dalam menghidangkan beberapa catatan kecil mengenai pendampingan yang pernah dilakukan beberapa
waktu lalu. Dengan menggunakan fiksi
diharapkan bahwa ide-ide pendampingan bisa
dibaca khalayak luas dan tidak menjadi beban khususnya para akademisi yang memiliki
tanggung jawab. Hal ini mengingat salah satu pilar Tridarma
adalah pengabdian yang bisa diterjemahkan dalam bentuk pendampingan masyarakat.
Penulis sengaja menggunakan mahasiswa dalam ruang lingkup KKN maupun PPL karena jika dikelola dengan baik oleh para akademisi dan
kampus, dua ruang tersebut bisa menjadi
pintu masuk strategis dalam merancang pemberdayaan berkelanjutan.
Nilai keempat adalah kritik
sejarah, di mana penulis melakukan penafsiran atas apa yang sudah
terjadi di masa lalu. Kritik sejarah yang dilakukan penulis mencoba menyajikan
sejarah dari sisi dikotomi sejarah itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri dalam beberapa
sumber yang ada, khususnya rujukan dari babad terdapat ketidaksamaan versi yang
dibuat. Terkait kritik sejarah, penulis pernah berdiskusi dengan beberapa tokoh
yang salah satunya adalah Bapak Qomarul Huda (Dosen SAA IAIN Kediri) yang memberikan banyak saran dan pertimbangan serta contoh.
Nilai kelima adalah nasionalisme, yang merupakan bentuk semangat kita terhadap bangsa dan Negara. Cerpen beraroma nasionalisme diperlukan agar terdapat transfer
pengetahuan mengenai bagaimana memosisikan nasionalisme dalam berbagai aspek
kehidupan. Lebih-lebih lagi, dewasa ini konsep dan konteks nasionalisme perlu
diberikan penjelasan yang lebih kompleks mengingat generasi yang mengalami era
globalisasi bisa saja terancam kedaulatan ekonomi dan budayanya. Maka, memahami nasionalisme di era globalisasi perlu pemahaman yang tuntas atas konsep awal, dinamika
yang berkembang dan berjalan di Indonesia, serta tantangan yang ada dalam
realita sekarang ini. Terutama lagi saat ini masyarakat
didorong untuk menjadi konsumen dengan
beragam pilihan kemudahan berbelanja daring.
“Bengawan Sore” sebagai sebuah kumpulan cerpen tidak luput dari
proses panjang penulisan, refleksi dan diskusi dengan beberapa tokoh mengingat
penulis ingin menyajikan cerpen dengan lebih menarik serta tidak lepas dari
basis akademik penulis sendiri. Bengawan Sore ditulis mulai tahun 2014 sampai
2020. Tepatnya Agustus kemarin, salah satu cerpennya dengan judul “Merdeka” tuntas dikerjakan.
Meski proses kelahiran buku ini tergolong lama,
namun bagi penulis masih terdapat banyak kelemahan yang muncul. Dan kami
berharap terjadi dialektika dari pembaca agar memberikan koreksi serta
pembenahan agar kedepan tercipta karya baru yang lebih segar dan kreatif. Insyallah
perpustakaan IAIN Kediri akan mendapat donasi “Bengawan Sore” dari penulis. Semoga menambah koleksi, dan bisa
bermanfaat buat siapapun yang membacanya.
Hampir lupa, “Bengawan
Sore” bisa didapatkan di bukalapak, Tokopedia, Shoope, atau guepedia.com.[MFR]
Alumni SAA-2008 IAIN Kediri; Novelis dan Dosen di Nganjuk. Beberapa karyanya: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (LKiS, 2018); Pada Sebuah Episode (Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019).
Saya sering mendorong mahasiswa untuk melakukan giat literasi demi meningkatkan kreatifitas serta memiliki nilai lebih. Tidak berhenti mendorong, saya juga memberi contoh bahwa sebagai dosen, saya terlebih dahulu harus membuktikan diri menulis baik ilmiah dalam bentuk artikel jurnal, buku, serta beberapa karya fiksi.
—— Moh. Irmawan Jauhari
Ada dua cerpen dalam kumpulan cerpen Leo Tolstoy yang
akan saya coba sampaikan dan berikan analisis singkat. Pertama adalah Ziarah.
Novel ini bercerita tentang dua orang bernama Efim
Scheveloff dan Eliyah Bodroff yang memiliki niat beribadah ke Yerusalem.
Keduanya terpisah di sebuah kampung kecil yang tengah dilanda masalah. Efim
melanjutkan perjalanan dan sampai di Yerusalem, sedangkan Eliyah memilih
melayani umat di kampung itu. Uang sakunya untuk ziarah
digunakan untuk membantu masyarakat yang ada dan dia tidak
pernah sampai ke Yerusalem.
Ketika
keduanya pulang, Efim mencari Eliyah karena dia merasa
di Yerusalem bertemu dengannya di sana selama tiga kali. Sedangkan Eliyah
berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa dia pernah menolong
masyarakat yang membuatnya gagal ke Yerusalem. Efim memeroleh gambaran
dari masyarakat yang ditemuinya bahwa mereka kini menjadi lebih baik karena
pertolongan seorang musafir yang lewat. Efim pun mendapatkan pengalaman ruhani
yang luar biasa dari cerita yang dia
dengar dari masyarakat dan penglihatannya
di tanah suci. Akan halnya Eliyah menemukan makna dari ziarahnya yang gagal ke Yerusalem; dia menjadi lebih
merdeka secara jiwani.
Ziarah mencoba melakukan kritik pada masyarakat yang
cenderung mati-matian dalam ibadah yang
mahdlah
‘murni’ tapi melupakan yang ghayrumahdlah ‘umum;
sosial’. Kesalehan ritual yang
tidak didukung dan ditopang oleh kesalehan sosial. Betapa banyak umat beragama
memahami bahwa dimensi peribadatan cenderung melalui kesalehan ritual. Pada
dasarnya pendapat ini benar, akan tetapi perlu keseimbangan agar manusia tidak
sekedar menjadi seorang ‘abdun ‘hamba’;
dalam perspektif kesalehan spiritual, manusia juga mengemban mandat
sebagai khalîfah ‘pengganti’.
Keseimbangan konsep ini yang coba diungkap melalui cerpen Ziarah. Bisa saja, kegiatan-kegiatan
dalam bentuk kesalehan sosial justru memberikan dan meninggalkan kesan yang lebih mendalam bagi seseorang.
Kedua adalah Tuhan Mahatahutapi Dia Menunggu. Cerpen ini bercerita tentang seorang pengusaha
bernama Aksenov yang memiliki kegemaran minum alkohol yang
difitnah membunuh temannya sendiri. Meskipun dia merasa
tidak melakukannya tapi semua bukti mengarah padanya. Dia pun
menjalani hukuman selama berpuluh tahun sampai akhirnya si pelaku
pembunuhan tersebut satu penjara dengannya. Aksenov memang memiliki dendam yang
dalam pada pembunuh tersebut. Namun dengan kesadaran mendalam pada akhirnya dia
bisa menerima apa yang sudah terjadi padanya dan berlapang dada atas semuanya.
Ketika si pembunuh itu meminta maaf dan berterus terang kepada
penjaga penjara, Aksenov
terlebih dahulu meninggal di dalam selnya.
Cerpen ini seakan memberikan kisah tragis bagi orang
beriman dengan ujian berat yang datang kepadanya. Akan tetapi bukankah dalam al-Qur’an
dinyatakan bahwa manusia tidak dibiarkan sekedar mengaku beriman tanpa pernah
diuji terlebih dahulu? Sebagaimana juga emas murni harus melalui beberapa
ujian demi mengetahui kualitasnya?
Kedua cerpen tersebut saya kaitkan dengan beberapa
pandangan teoritis seperti akidah, revolusi, teologi
pembebasan, fikih
sosial, hingga postkolonialisme. Buku-buku karangan Hassan Hanafi, Asghar Ali
Engineer, Freire, Tan Malaka, dan tokoh semisal, adalah bacaan wajib mahasiswa
untuk memompa pengetahuan mereka. Tanpa baca, mahasiswa akan kering dari
pandangan teoritis. Tanpa memahami mereka, mahasiswa akan kering dengan kemampuan
menganalisis sebuah peristiwa dengan berbasis teori yang dibacanya. Maka dari itu, membaca sangatlah penting. Selain itu, harus ada
kepedulian dan keberpihakan kepada kemanusiaan dalam bentuk kesejahteraan sosial.
Kepedulian sosial semacam
ini sangat baik dan mendasar
bila juga dilandasi oleh ajaran-ajaran agama.
Sejarah telah membuktikan
bahwa perubahan sosial yang sekadar
berpijak pada ideologi rasio manusia semata hanya akan melahirkan nestapa; betapa kita kecewa bagaimana komunisme
dan kapitalisme di penghujung abad ke-20 bermufakat
dalam menggasak Dunia Ketiga.
Padahal lepas PD II, kedua
ideologi ciptaan manusia ini
terlibat perang dingin
dengan negara-negara satelit sebagai korbannya.
Saya sering mendorong mahasiswa untuk melakukan giat
literasi demi meningkatkan kreatifitas serta memiliki nilai lebih. Tidak
berhenti mendorong, saya juga
memberi contoh bahwa sebagai
dosen, saya terlebih dahulu harus
membuktikan diri menulis
baik ilmiah dalam bentuk artikel jurnal, buku, serta beberapa karya fiksi. Saya
pun kerap mengajak mahasiswa untuk membuat antologi karya bersama, apapun
bentuk tulisan mereka. Namun betapa tidak sedikit mahasiswa yang mengalami
kemandegan ide dalam menulis. Ketika mereka bingung untuk menulis apa, dan
bertanya bagaimana cara menulis yang baik, saya tegaskan terlebih dahulu untuk
merasa butuh baca. Tanpa baca, apa yang akan ditulis? Ibaratnya ketika kita
tidak punya beras untuk dimasak, apa yang akan diolah menjadi makanan?
Dalam beberapa kesempatan ketika menjadi fasilitator pelatihan tulis menulis, saya pernah bertanya kepada para peserta,
lebih enak mana membaca buku teori dengan buku fiksi? Semua sepakat fiksi
dengan berbagai genre. Saya bertanya lagi, lebih enak mana membaca buku dengan
melihat film? Mereka juga menjawab lebih enak menonton film.
Saya tegaskan bila fiksi dan novel sebenarnya berkaitan dengan buku teori.
Tanpa pemahaman yang tuntas mengenai sebuah teori, seorang penulis tidak akan
mampu membuat sebuah cerita yang baik. Dan tanpa analisis yang kuat berdasar
teori, sebuah film tidak akan memiliki ruh yang kuat untuk menarik para
penonton. Saya sebutkan sebuah film berjudul 3 Idiots yang banyak mengandung teori-teori pendidikan dan juga perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan.
Semua melongo dan seperti tidak percaya bahwa
sebuah film disusun dari beberapa teori. Dan saya biarkan keterkejutan tersebut
dengan menyebutkan beberapa film lain yang berasal dari produsen Indonesia. Oh
iya, dalam cerpen Ziarah mungkin bisa
menjadi refleksi religius ketika Kementerian Agama memutuskan
untuk tidak mengirimkan jamaah haji tahun ini. Sedangkan Tuhan Mahatahutapi
Dia Menunggu, menurut saya,
bisa menjadi sebuah alternatif jawaban ketika Prof. H.
Fauzan Saleh, Ph.D bulan puasa kemarin mengirimkan tulisan yang cukup menarik
dengan judul “Covid-19, Problem Teodisi, dan Sinar terang Iman”.
Semoga saja.[MFR]
Alumni SAA-2008 IAIN Kediri; Novelis dan Dosen di Nganjuk. Beberapa karyanya: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (LKiS, 2018); Pada Sebuah Episode (Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019).
Mengenal manusia sebagai dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.
—–Fitri Handayani
Hari ini, untuk ke sekian
kalinya, Fitri terlibat konflik
dengan ibunya. Ini adalah konflik panjang yang pasti akan menguras banyak
tenaga jika harus diceritakan detailnya. Ibu dan anak ini sudah terlalu sering
bertengkar; ada saja yang menjadi bahan bakarnya. Tiap kali pertengkaran
terjadi, sang ibu selalu menimpakan kesalahan pada Fitri. Ibu juga tampak mudah saja menimpakan kesalahan pada
adik-adik Fitri; dalam segala
kondisi, ibu tak pernah salah; selalu anak-anaknya.
Meski begitu, kisah nyata
ini tak hendak membahas cerita tentang konfliknya, tetapi justru ingin
mendalami dinamika relasi anak yang sudah dewasa dengan orangtuanya.
Jatuh-bangun dan pahit-manis dinamika hubungan orangtua—anak adalah masalah universal
yang harus dihadapi oleh semua orang. Suka atau tak suka. Cepat ataupun lambat.
Setidaknya, tulisan ini adalah analisis dari sudut pandang atas keadaan yang
dialami oleh Fitri.
Pola asuh kebanyakan
orangtua seringkali hanya meneruskan warisan nilai-nilai dari orangtua mereka
sebelumnya. Padahal belum tentu pola asuh itu adalah pola terbaik untuk tumbuh
kembang anaknya, yang masing-masingnya unik dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Sayangnya, pola asuh ala “warisan” itu berlangsung dari generasi
ke generasi. Termasuk pada kita saat kebagian giliran menjadi orangtua.
Belum lagi kalau ternyata
pola-pola tersebut meninggalkan trauma. Belitan trauma akibat pola asuh masa
kecil bisa mencengkeram seseorang meski usianya sudah lanjut. Tak pernah
benar-benar selesai. Mungkin itu pula yang terjadi pada ibu Fitri. Sejak kecil,
Fitri adalah tipe
anak yang frontal, lebih suka speak up daripada memendam rasa; sangat
vokal menyuarakan kehendak. Hal ini tentu bertentangan dengan pola asuh
orangtuanya yang diktator, yang memaksa anak untuk menurut meski tak rela.
Tak jarang, deraan siksa
fisik dialamatkan ke tubuh Fitri dan adik-adiknya jika mereka dianggap bersalah. Apa
saja yang sedang nampak di pandangan, bisa rotan kemoceng, gayung, selang,
semua sudah pernah kami rasakan sakit dan perihnya. Fitri menginginkan dialog, orangtuanya inginnya menekan.
Maka begitu Fitri merasa
menemukan seseorang yang dia rasa bisa memerdekakannya, dia tak ragu untuk
memutuskan menikah di usia muda, 22 tahun. “Lari” dari kungkungan orang tua.
Hidup rumah tangga Fitri tak pernah mudah,
tapi dia merdeka. Fitri merasa benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri, berkompromi dalam
banyak hal, meski kadang tak memungkiri banyak pertengkaran. Fitri dan suami adalah pribadi yang sama-sama kuat. Tapi Fitri bebas, tak lagi
merasa tertekan. Di rumah tangganya itu,
Fitri bisa berdiskusi
apa saja, bertengkar tentang apa saja tanpa merasa terintimidasi karena apapun
yang terjadi, Fitri merasa tetap
dimanusiakan.
Aspek lainnya lagi adalah
kejujuran yang utuh dan lengkap dalam relasi orangtua dan anak. Seringkali,
karena takut sekali dicap sebagai anak durhaka, tekanan normatif dari
lingkungan, dsb, kita, para anak, memilih untuk tidak terbuka seratus persen
pada orangtua. Akibatnya, sebagai anak kita tetap tidak bisa menunjukkan
otentisitas sebagai individu, dan orangtua pun terus ‘terperangkap’ dalam ilusi
bahwa anaknya, mau berapa pun usianya sekarang, bahkan ketika uban sudah mulai
menghiasi kepalanya, tetaplah Gendhuk dan Thole yang harus terus
menerus dikendalikan, dipaksa menuruti kehendak dan terus menerus diawasi.
Padahal ketika anaknya punya
masalah berat, orang tua cenderung abai; tak mengulurkan tangan, tak memberi
solusi untuk membantu kesulitan, malah memberi masalah baru. Padahal jika tak
bisa membantu, orang tua cukup diam dan mendoakan saja, itu lebih dari cukup.
Fitri, sebagaimana
juga banyak anak lainnya, pasti tak ingin orangtuanya terlalu ikut campur dalam
urusan rumah tangganya. Terlebih tentang keputusan-keputusan yang sifatnya
besar dan pribadi.
Pagi tadi, usai pertengkaran
hebat itu, Fitri menyadari;
relasi hubungannya dengan ibu mengalami pergeseran; perubahan peran “anak” dan
peran “orang tua” menuju individu-individu yang real, sejajar, dan apa adanya.
Kita jarang atau bahkan tak
pernah mengenal orangtua kita sebagai manusia per se. Tentang sosok ibu
sebagai manusia biasa, yang terikat embel-embel sebagai sosok yang
mengandung kita, menyusui kita, melindungi kita, dsb. Sebaliknya, orangtua kita
pun jarang, bahkan mungkin tak pernah, mengenal anak-anaknya sebagai manusia
saja, bukan properti yang menyejukkan mata, sosok yang saleh/saleha, yang
berguna bagi nusa dan bangsa, dst. Semua predikat tadi memang terdengar luhur
dan mulia, tapi juga membius, melenakan dan membebani jika kita terus terjebak
di dalamnya.
“Saya ini anak yang besar di
luar rumah,” begitu kata Fitri tiap kali dia berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Nyatanya memang begitu. Sebagai anak yang dikenal paling cuek di antara tiga
bersaudara, Fitri memang
menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Segala macam kegiatan di luar rumah
dia ikuti. Mulai dari menjadi bagian dari remaja masjid, kelompok ilmiah
remaja, pencak silat, menari, OSIS, bermusik dan nyanyi, dkk. Fitri serius
menekuni hampir semua kegiatan yang dia ikuti, utamanya menyanyi, hingga
seringkali dia punya uang sendiri atas hasil menyanyi di berbagai kesempatan.
Semua itu dia lakukan untuk
mengambil jarak dengan orangtua. Fitri merasa nyaman berada di luar rumah, jauh dari orang
tuanya. Di luar rumah, Fitri mendapatkan apresiasi atas prestasi dan pencapaian
yang ia peroleh. Sementara di rumah, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali
orang tuanya memuji. Fitri justru akrab dengan berbagai cercaan dan kata-kata kasar karena
dianggap tak cukup membuat bangga orangtua. Di rumah, Fitri dianggap pemalas sebab tak menyapu rumah, tak cuci
piring, dst.
Selama bertahun-tahun,
banyak jawaban dan alasan yang sudah ia renungi. Namun hari ini, renungan itu
kian menggenap. Fitri sepertinya sadar, konflik yang seringkali pecah dengan sang ibu
semata-mata terjadi karena ia belum mengenal ibunya (bapaknya sudah lama wafat)
sebagai manusia —titik. Dan yang paling menyakitkan adalah, setiap kali Fitri ingin mengenal
sang ibu, dia selalu terbentur dengan tembok tebal yang diciptakan oleh aneka
peran yang dimainkan ibu dalam hidupnya. Ditambah lagi dengan tameng dari
posisi Fitri sebagai
anaknya.
Selama Fitri hidup, dia hanya mengenal perempuan
yang telah melahirkannya itu sebagai ibu. Fitri tidak kenal perempuan itu sebagai sosok dengan nama lain. Dan
sebaliknya, Fitri pun merindu
dan meradang untuk ia kenali sebagai manusia—saja. Bukan semata sebagai anak
sulungnya yang hobi menulis dan menyanyi. Fitri ingin dilihat ibu dengan apresiasi atas segala
tingkah-polahnya yang juga sudah bertransisi menjadi perempuan dewasa, lengkap
dengan segala konflik, jatuh bangun dengan trial and error dan
pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut. Dalam empat puluh enam
tahun mereka berinteraksi, keduanya belum sempat menanggalkan topeng-topeng
sebagai ibu dan anak, saling bergandeng tangan, berpelukan atau sekadar
mengerti satu sama lain sebagai dua individu yang otentik, yang sejajar, yang
real. Mereka belum bertransisi dari ibu dan anak menjadi manusia dan manusia,
dengan segala kurang dan lebihnya.
Usai perenungan ini, Fitri meneguhkan
tekad dalam diri, persembahan terbaik yang kelak bisa dia berikan bagi anaknya
dan manusia di sekelilingnya adalah dikenali sebagai manusia. Mungkin tak
selamanya berujung indah, tapi mengakui otentisitas antarjiwa sebagai manusia
adalah satu-satunya jembatan antarhati yang tulus dan jujur. Hanya dengan
demikian kita benar-benar tahu rasanya “dihargai”. Dan sungguh, itu adalah
pengalaman yang nyaris punah, yang dia sendiri hingga kini masih berjuang
mendapatkannya dari sang ibu.
Selama ibu dan anak masih
bersembunyi dan terperangkap dalam topeng-topeng peran, selama itu pulalah
interaksi yang terjadi hanya sebatas kewajiban dan tampak indah di permukaan.
Hanya terjadi karena kondisi mengharuskan demikian. Seiring berjalannya waktu,
bisa saja merasakan cinta, kedamaian, keindahan, dan perasaan positif lainnya.
Namun ada sesuatu yang lebih dari itu semua.
Fitri, dan barangkali kita semua, tak tahu apakah hingga
maut menjemput nanti, dia dan ibu masih memiliki kesempatan untuk dapat
menanggalkan tembok-tembok peran dan bertransisi menjadi manusia saja, tanpa
tembok-tembok itu lagi. Sungguh dia tak tahu sebab untuk ini, diperlukan
kemauan dan usaha dari kedua belah pihak. Sementara ibu selalu menganggapnya
dan adik-adiknya adalah anak-anak yang tak tahu diri. Ibu sanggup dan punya
segudang koleksi cercaan untuk merendahkan mereka hingga ke titik nadir
kemanusiaan jika mereka berselisih pendapat.
Mengenal manusia sebagai
dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk
dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua
orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita
akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.[MFR]
Kini, Idul hanya bisa berharap agar sang ibu mengerti, anak-anaknya sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, serta untuk menjunjung nilai-nilai dalam kehidupan keluarga mereka masing-masing. Tak apa jika Idul tak jadi Imam pilihan, Tuhan tahu, Idul tak seburuk tuduhan ibu.
——Idul (suami Fitri)
Pagi itu, tepatnya 24 Mei 2020, adalah lebaran 1
Syawal 1441 H. Idul, pria paruh baya, sudah siap sejak pagi; sejak
selepas subuh ia sudah bergilir mengumandangkan takbir. Dia dan keluarga
kecilnya juga sudah tampak bersiap berangkat menunaikan ibadah salat Idulfitri
di lapangan perumahan tempat mereka tinggal. Salat ini diikuti tak lebih dari
20 orang saja, dengan tetap menjaga jarak.
Warga di komplek sini tidak berani ke masjid untuk
salat dalam jamaah yang lebih besar, mereka memilih ikuti anjuran pemerintah
untuk salat di komplek rumah saja, tentu karena korona.
Selepas salat, seperti biasa, tradisi di keluarga
kecil Idul adalah makan ketupat dan opor ayam beserta
teman-temannya, dilanjutkan dengan bermaaf-maafan dalam keluarga kecil yang
sudah dia bina selama 25 tahun. Bagian dari tradisi itu adalah ritual istri
mencium tangan suami, disusul dengan empat anaknya yang melakukan hal sama;
meminta maaf kepada orang tua, juga sebaliknya.
Perayaan tahun ini agak berbeda, korona memaksa
keluarga kecil ini merayakan lebaran dengan cara yang sedikit garing; harus
silaturahmi secara daring. Tak ada kunjungan ke rumah-rumah sanak saudara dan
tetangga; semuanya dilakukan di sebalik layar kaca.
Usai makan dan bermaaf-maafan, Idul merasa letih. Dia lihat istrinya juga sudah mendahului berbaring di
kasur. Malam hari sebelumnya dia memang kurang tidur karena menyiapkan hidangan
lebaran buat Idul dan anak-anak. Perlahan Idul pun naik ke tempat tidur dan merebahkan badan di samping istrinya.
Sekilas dia dengar jawab “Iya, ntar” dari istrinya. Dari nada suaranya, terdengar getar keengganan, seperti
tak mau walau kata yang terucap adalah “iya”. Namun Idul tak pikir panjang, kantuk sudah keburu menyerang.
Hari pun berlalu. Idul masih tak tahu apakah istrinya sudah menelpon ibunya atau belum. Yang
ia tahu, beberapa hari kemudian, sepulang kerja, Idul diberondong cerita dari istrinya yang marah besar terhadap ibu. Idul duduk di sebelah perempuan yang telah menemaninya puluhan tahun itu
sambil berusaha menjadi pendengar yang baik. Ternyata istri Idul baru saja “berkelahi” dengan
ibunya melalui WA.
Ceritanya cukup panjang, dan cerita ini bukan dimulai
dari istrinya yang ternyata tidak menelpon ibu di saat Idulfitri, tapi jauh
sebelumnya. Istri Idul menilai sang ibu terlalu
mencampuri urusan rumah tangganya. Sang Ibu bahkan menilai Idul, selaku imam di keluarganya, tidak cukup pantas mendampingi anaknya.
Ternyata Idul menjadi salah satu topik
pertengkaran mereka.
Ya Tuhan…. ternyata begitu cara sang ibu mertua
menilai Idul. Sang ibu mencerca Idul dari banyak sudut, mulai dari pekerjaannya yang dinilai tidak cukup
layak, sampai anggapan bahwa dia dan keluarganya tidak cukup memiliki adab
terhadap orang tua. Idul dan keluarganya yang bertumbuh selama 25
tahun ini memang sepakat untuk lebih mengedepankan logika dan rasionalitas
dalam bersikap terhadap apapun, mungkin ini yang dinilai sang ibu sebagai sikap
kurang beradab.
Seperti contohnya, banyak orang yang sepakat dengan
pernyataan “surga berada di telapak kaki ibu”. Idul bukannya menolak pernyataan itu, dia hanya ingin menekankan ibu seperti
apa dulu yang di telapak kakinya ada surga. Tentu tidak semuanya. Kalau
pernyataan itu diterima mentah-mentah, itu merendahkan intelektualitas. Tidak
masuk akal dan sangat tidak rasional kalau di setiap telapak kaki ibu terdapat
surga.
Orang tua tidak selalu benar; usia tua tidak sama
dengan selalu benar. Orang tua bisa saja salah, karena salah bisa terjadi
kepada siapa saja. Fakta ini yang kadang sulit diterima kebanyakan
orang tua. Mereka berpikir orang tua selalu benar dan harus selalu dituruti
kata-katanya. Bukan begitu cara Idul membangun rumah tangga. Idul tak mendidik keempat anaknya dengan nilai-nilai tersebut.
Meski pedih dan sakit hati, Idul memilih diam daripada harus berseteru dengan mertua. Apakah sakit hati?
Sebagai manusia yang dikaruniai perasaan, tentu Idul tersinggung, teringat kembali kejadian-kejadian terdahulu, di saat
fitnah-fitnah keji juga pernah dialamatkan kepada menantunya itu, yang
kebetulan dulu pernah menolong dan membiayai seorang pelacur yang melahirkan
anak tanpa pasangannya karena sama sekali tidak memiliki biaya untuk bersalin.
Saat itu dia dan istri membantu benar-benar didasarkan
pada rasa kemanusiaan saja, tidak lebih. Mungkin saat itu istrinya bercerita
kepada ibunya. Lalu beliau mengatakan kepada anaknya bahwa sangat mungkin
suaminya punya “saham” terhadap pelacur itu,
makanya mau membantu persalinannya. Wow, bisa dibayangkan betapa tersinggungnya
Idul dengan tuduhan itu. Sangat menyakitkan dan
merendahkan harga diri. Toh, Idul tetap diam, biarlah
Tuhan yang tahu.
Kalau saat ini belahan jiwanya memilih jalan untuk
tetap berseteru dengan ibunya dalam rangka memberi pembelajaran terhadap orang
yang berpendapat “orang tua selalu benar”, itu
adalah pilihannya, Idul tidak akan melarang ataupun mendukung. Karena
dalam kasus ini, lagi-lagi, Idul memilih untuk kembali
diam.
Mungkin ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi yang
membaca tulisan ini, bahwa suami istri sangat boleh berbeda pilihan dalam
menyikapi suatu hal. Intinya jangan memaksakan pendapat satu dengan lainnya.
Kalau memang berbeda, ya berjalanlah bersama dalam perbedaan. Kuncinya saling
menghargai dan bertoleransi. Ini mungkin salah satu sebab usia perkawinan bisa
mencapai 25 tahun atau bahkan lebih, di samping cinta kasih tentunya.
Kini, Idul hanya bisa berharap agar sang ibu mengerti, anak-anaknya sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, serta untuk menjunjung nilai-nilai dalam kehidupan keluarga mereka masing-masing. Tak apa jika Idul tak jadi Imam pilihan, Tuhan tahu, Idul tak seburuk tuduhan ibu.[MFR]