Petualangan Ganesha: Reinterpretasi Keseimbangan Kosmik

Petualangan Ganesha bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis

—- Moh. Irmawan Jauhari

Antroposentrisme di satu sisi mampu mengantarkan manusia menjadi lebih baik dan memahami eksistensinya dalam kehendak bebas yang sistematis dan rasional. Akan tetapi, ketika perjalanan menjadi semakin jauh, hubungan manusia dengan alam cenderung eksploitatif dan tanpa kontrol karena semesta ada diperuntukkan buat manusia. Pengerukan SDA tanpa batas, pencemaran lingkungan, industrialisasi, adalah sebagian permasalahan yang bermula dari antroposentrisme. Ditambah globalisasi yang ingin melakukan percepatan putaran kapital sampai pelosok Negara Selatan menjadikan keadaan semakin rumit dan tidak semudah Shiva merubah keadaan dengan sepeda ajaibnya.

Petualangan Ganesha yang terbit pada Mei 2021 secara filosofis mencoba mengajak para pembaca untuk memahami hubungan alam dan manusia dengan lebih jernih. Buku ini mengambil latar Gunung Wilis dengan beberapa potensi wisata maupun folklore yang pernah penulis dapatkan ketika berkunjung ke Kawasan Lingkar Wilis. Semuanya disusun menjadi satu dalam bentuk dialektika fiksi sekaligus memberikan interpretasi akan makna antroposentris yang memperhatikan keseimbangan kosmik. Atau dalam mata kuliah Aliran Kepercayaan, keseimbangan manusia sebagai jagad alit dan semesta sebagai jagad ageng.

Tidak dapat dipungkiri hari ini atas nama keegoisan manusia, di Wilis sudah tidak terdapat hutan dalam arti kata yang sebenarnya. Sebabnya adalah banyaknya pembalakan liar beberapa tahun lalu, alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomi, serta kurang pedulinya kita semua akan keberadaan gunung sebagai paku dari dunia. Bagaimana jika beberapa paku dalam meja kita ambil dan rusak? Jawabannya pasti meja tersebut turut rusak.

Petualangan Ganesha singkatnya bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis. Alkisah, Ki Barda ingin mencabut segel gunung sehingga menjadikan Wilis sebagai salah satu gunung berapi. Kelima pelajar tersebut pada akhirnya terlibat dalam upaya menyadarkan Ki Barda agar tidak meneruskan perbuatannya karena membawa dampak yang merugikan bagi manusia dan penghuni Wilis lain.

Pesan moral yang ingin disampaikan adalah manusia dengan segenap perbuatannya berpotensi merusak alam sekaligus bisa memperbaikinya. Kerusakan di Kawasan Gunung Wilis tidak semata kerusakan fisik, namun juga budaya, ekonomi, dan ruang sosial masyarakatnya. Melalui Petualangan Ganesha, kerusakan-kerusakan tersebut disamarkan dalam bentuk cerita agar menarik untuk dibaca dan dipahami oleh anak-anak dan para remaja.

Sebagai sebuah karya fiksi, tentu langkah yang diambil bukan taktis menangani bencana atau pelestarian lingkungan. Akan tetapi ini adalah langkah strategis yang bisa jadi buahnya setelah sepuluh dan dua puluh tahun lagi, terdapat kesadaran kolektif untuk memelihara lingkungan khususnya masyarakat Wilis. Diperlukan benang merah Gerakan-gerakan taktis serta strategis untuk menanamkan spirit kepedulian lingkungan. Dalam pandangan penulis, fiksi berbalut ilmiah adalah salah satunya. Sehingga pada akhirnya terdapat sinergi gerak antara akademisi, pegiat lingkungan, dan para stakeholder lain dalam memberikan edukasi terkait merawat lingkungan untuk generasi mendatang.

Rencananya, seri Petualangan Ganesha akan berlanjut di beberapa gunung lain serta mengangkat mitos maupun potensi lain yang ada. Dengan harapan muncul kecintaan pada lingkungan, kepedulian pada basis sejarah dan budaya, serta menguatnya budaya literasi. Dan untuk mendukung Gerakan kepedulian lingkungan, penulis menyarankan jika ingin membeli buku ini bisa di google books sehingga tidak perlu versi cetak. Mengingat dengan membeli di portal online, Sebagian keuntungan akan didonasikan untuk kegiatan literasi dan pelestarian alam. [MFR]

Bengawan Sore

“Bengawan Sore” merupakan kumpulan sembilan belas cerpen yang berisi beberapa hal. Pada garis besarnya terdapat lima arus utama dalam kumpulan cerpen ini di mana muatan nilai agama, kemanusiaan, pendampingan masyarakat, kritik sejarah dan nasionalisme membaur menjadi satu.

—- Irmawan Jauhari (penulis)

“Bengawan Sore” merupakan kumpulan sembilan belas cerpen yang berisi beberapa hal. Pada garis besarnya terdapat lima arus utama dalam kumpulan cerpen ini di mana muatan nilai agama, kemanusiaan, pendampingan masyarakat, kritik sejarah dan nasionalisme membaur menjadi satu. Sebagai antologi cerpen, buku ini juga tidak lepas dari kisah canda tawa maupun tangis haru mahasiswa dan santri, mengingat penulis ingin memberikan kesegaran suasana serta tidak terjebak pada konsep yang kaku. Bisa jadi juga pembaca akan menemukan beberapa kisah dengan tema yang mungkin absurd serta susah dicerna karena tidak jelas sama sekali arahnya.

Nilai yang pertama adalah agama, yang merupakan pondasi paling utama dalam melakukan segala kegiatan manusia di dunia. Dengan memiliki pondasi yang kuat seseorang akan mampu mengatasi problematika yang dihadapi. Penulis juga mencoba mengajak pembaca memahami bahwa agama tidak sekedar bermakna kesalehan ritual, namun juga terdapat dalam upaya-upaya memahami orang lain demi perubahan yang berarti.

Nilai yang kedua adalah kemanusiaan, artinya keberpihakan kepada manusia dan nilai kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan Bahasa universal yang terdapat dalam semua agama dan hukum moral. Pemahaman yang cukup baik mengenai manusia dan kemanusiaan akan membawa pembaca menemukan korelasi sebab akibat dalam beberapa cerpen yang disajikan. Dengan kemanusiaan pula seseorang akan mampu menemukan keseimbangan dalam realitas sosial.

Nilai ketiga adalah pendampingan, yang merupakan refleksi penulis dalam menghidangkan beberapa catatan kecil mengenai pendampingan yang pernah dilakukan beberapa waktu lalu. Dengan menggunakan fiksi diharapkan bahwa ide-ide pendampingan bisa dibaca khalayak luas dan tidak menjadi beban khususnya para akademisi yang memiliki tanggung jawab. Hal ini mengingat salah satu pilar Tridarma adalah pengabdian yang bisa diterjemahkan dalam bentuk pendampingan masyarakat. Penulis sengaja menggunakan mahasiswa dalam ruang lingkup KKN maupun PPL karena jika dikelola dengan baik oleh para akademisi dan kampus, dua ruang tersebut bisa menjadi pintu masuk strategis dalam merancang pemberdayaan berkelanjutan.

Nilai keempat adalah kritik sejarah, di mana penulis melakukan penafsiran atas apa yang sudah terjadi di masa lalu. Kritik sejarah yang dilakukan penulis mencoba menyajikan sejarah dari sisi dikotomi sejarah itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri dalam beberapa sumber yang ada, khususnya rujukan dari babad terdapat ketidaksamaan versi yang dibuat. Terkait kritik sejarah, penulis pernah berdiskusi dengan beberapa tokoh yang salah satunya adalah Bapak Qomarul Huda (Dosen SAA IAIN Kediri) yang memberikan banyak saran dan pertimbangan serta contoh.

Nilai kelima adalah nasionalisme, yang merupakan bentuk semangat kita terhadap bangsa dan Negara. Cerpen beraroma nasionalisme diperlukan agar terdapat transfer pengetahuan mengenai bagaimana memosisikan nasionalisme dalam berbagai aspek kehidupan. Lebih-lebih lagi, dewasa ini konsep dan konteks nasionalisme perlu diberikan penjelasan yang lebih kompleks mengingat generasi yang mengalami era globalisasi bisa saja terancam kedaulatan ekonomi dan budayanya. Maka, memahami nasionalisme di era globalisasi perlu pemahaman yang tuntas atas konsep awal, dinamika yang berkembang dan berjalan di Indonesia, serta tantangan yang ada dalam realita sekarang ini. Terutama lagi saat ini masyarakat didorong untuk menjadi konsumen dengan beragam pilihan kemudahan berbelanja daring.

“Bengawan Sore” sebagai sebuah kumpulan cerpen tidak luput dari proses panjang penulisan, refleksi dan diskusi dengan beberapa tokoh mengingat penulis ingin menyajikan cerpen dengan lebih menarik serta tidak lepas dari basis akademik penulis sendiri. Bengawan Sore ditulis mulai tahun 2014 sampai 2020. Tepatnya Agustus kemarin, salah satu cerpennya dengan judul “Merdeka” tuntas dikerjakan.

Meski proses kelahiran buku ini tergolong lama, namun bagi penulis masih terdapat banyak kelemahan yang muncul. Dan kami berharap terjadi dialektika dari pembaca agar memberikan koreksi serta pembenahan agar kedepan tercipta karya baru yang lebih segar dan kreatif. Insyallah perpustakaan IAIN Kediri akan mendapat donasi “Bengawan Sore” dari penulis. Semoga menambah koleksi, dan bisa bermanfaat buat siapapun yang membacanya.

Hampir lupa, “Bengawan Sore” bisa didapatkan di bukalapak, Tokopedia, Shoope, atau guepedia.com.[MFR]

Tolstoy dan Cerita-Ceritanya

Saya sering mendorong mahasiswa untuk melakukan giat literasi demi meningkatkan kreatifitas serta memiliki nilai lebih. Tidak berhenti mendorong, saya juga memberi contoh bahwa sebagai dosen, saya terlebih dahulu harus membuktikan diri menulis baik ilmiah dalam bentuk artikel jurnal, buku, serta beberapa karya fiksi.

—— Moh. Irmawan Jauhari

Ada dua cerpen dalam kumpulan cerpen Leo Tolstoy yang akan saya coba sampaikan dan berikan analisis singkat. Pertama adalah Ziarah. Novel ini bercerita tentang dua orang bernama Efim Scheveloff dan Eliyah Bodroff yang memiliki niat beribadah ke Yerusalem. Keduanya terpisah di sebuah kampung kecil yang tengah dilanda masalah. Efim melanjutkan perjalanan dan sampai di Yerusalem, sedangkan Eliyah memilih melayani umat di kampung itu. Uang sakunya untuk ziarah digunakan untuk membantu masyarakat yang ada dan dia tidak pernah sampai ke Yerusalem.

Ketika keduanya pulang, Efim mencari Eliyah karena dia merasa di Yerusalem bertemu dengannya di sana selama tiga kali. Sedangkan Eliyah berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa dia pernah menolong masyarakat yang membuatnya gagal ke Yerusalem. Efim memeroleh gambaran dari masyarakat yang ditemuinya bahwa mereka kini menjadi lebih baik karena pertolongan seorang musafir yang lewat. Efim pun mendapatkan pengalaman ruhani yang luar biasa dari cerita yang dia dengar dari masyarakat dan penglihatannya di tanah suci. Akan halnya Eliyah menemukan makna dari ziarahnya yang gagal ke Yerusalem; dia menjadi lebih merdeka secara jiwani.

Ziarah mencoba melakukan kritik pada masyarakat yang cenderung mati-matian dalam ibadah yang mahdlah ‘murni’ tapi melupakan yang ghayru mahdlah ‘umum; sosial’. Kesalehan ritual yang tidak didukung dan ditopang oleh kesalehan sosial. Betapa banyak umat beragama memahami bahwa dimensi peribadatan cenderung melalui kesalehan ritual. Pada dasarnya pendapat ini benar, akan tetapi perlu keseimbangan agar manusia tidak sekedar menjadi seorang ‘abdun ‘hamba’; dalam perspektif kesalehan spiritual, manusia juga mengemban mandat sebagai khalîfah ‘pengganti’. Keseimbangan konsep ini yang coba diungkap melalui cerpen Ziarah. Bisa saja, kegiatan-kegiatan dalam bentuk kesalehan sosial justru memberikan dan meninggalkan kesan yang lebih mendalam bagi seseorang.

Kedua adalah Tuhan Mahatahu tapi Dia Menunggu. Cerpen ini bercerita tentang seorang pengusaha bernama Aksenov yang memiliki kegemaran minum alkohol yang difitnah membunuh temannya sendiri. Meskipun dia merasa tidak melakukannya tapi semua bukti mengarah padanya. Dia pun menjalani hukuman selama berpuluh tahun sampai akhirnya si pelaku pembunuhan tersebut satu penjara dengannya. Aksenov memang memiliki dendam yang dalam pada pembunuh tersebut. Namun dengan kesadaran mendalam pada akhirnya dia bisa menerima apa yang sudah terjadi padanya dan berlapang dada atas semuanya. Ketika si pembunuh itu meminta maaf dan berterus terang kepada penjaga penjara, Aksenov terlebih dahulu meninggal di dalam selnya.

Cerpen ini seakan memberikan kisah tragis bagi orang beriman dengan ujian berat yang datang kepadanya. Akan tetapi bukankah dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia tidak dibiarkan sekedar mengaku beriman tanpa pernah diuji terlebih dahulu? Sebagaimana juga emas murni harus melalui beberapa ujian demi mengetahui kualitasnya?

Kedua cerpen tersebut saya kaitkan dengan beberapa pandangan teoritis seperti akidah, revolusi, teologi pembebasan, fikih sosial, hingga postkolonialisme. Buku-buku karangan Hassan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Freire, Tan Malaka, dan tokoh semisal, adalah bacaan wajib mahasiswa untuk memompa pengetahuan mereka. Tanpa baca, mahasiswa akan kering dari pandangan teoritis. Tanpa memahami mereka, mahasiswa akan kering dengan kemampuan menganalisis sebuah peristiwa dengan berbasis teori yang dibacanya. Maka dari itu, membaca sangatlah penting. Selain itu, harus ada kepedulian dan keberpihakan kepada kemanusiaan dalam bentuk kesejahteraan sosial. Kepedulian sosial semacam ini sangat baik dan mendasar bila juga dilandasi oleh ajaran-ajaran agama. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan sosial yang sekadar berpijak pada ideologi rasio manusia semata hanya akan melahirkan nestapa; betapa kita kecewa bagaimana komunisme dan kapitalisme di penghujung abad ke-20 bermufakat dalam menggasak Dunia Ketiga. Padahal lepas PD II, kedua ideologi ciptaan manusia ini terlibat perang dingin dengan negara-negara satelit sebagai korbannya.

Saya sering mendorong mahasiswa untuk melakukan giat literasi demi meningkatkan kreatifitas serta memiliki nilai lebih. Tidak berhenti mendorong, saya juga memberi contoh bahwa sebagai dosen, saya terlebih dahulu harus membuktikan diri menulis baik ilmiah dalam bentuk artikel jurnal, buku, serta beberapa karya fiksi. Saya pun kerap mengajak mahasiswa untuk membuat antologi karya bersama, apapun bentuk tulisan mereka. Namun betapa tidak sedikit mahasiswa yang mengalami kemandegan ide dalam menulis. Ketika mereka bingung untuk menulis apa, dan bertanya bagaimana cara menulis yang baik, saya tegaskan terlebih dahulu untuk merasa butuh baca. Tanpa baca, apa yang akan ditulis? Ibaratnya ketika kita tidak punya beras untuk dimasak, apa yang akan diolah menjadi makanan?

Dalam beberapa kesempatan ketika menjadi fasilitator pelatihan tulis menulis, saya pernah bertanya kepada para peserta, lebih enak mana membaca buku teori dengan buku fiksi? Semua sepakat fiksi dengan berbagai genre. Saya bertanya lagi, lebih enak mana membaca buku dengan melihat film? Mereka juga menjawab lebih enak menonton film. Saya tegaskan bila fiksi dan novel sebenarnya berkaitan dengan buku teori. Tanpa pemahaman yang tuntas mengenai sebuah teori, seorang penulis tidak akan mampu membuat sebuah cerita yang baik. Dan tanpa analisis yang kuat berdasar teori, sebuah film tidak akan memiliki ruh yang kuat untuk menarik para penonton. Saya sebutkan sebuah film berjudul 3 Idiots yang banyak mengandung teori-teori pendidikan dan juga perlawanan terhadap kapitalisasi pendidikan.

Semua melongo dan seperti tidak percaya bahwa sebuah film disusun dari beberapa teori. Dan saya biarkan keterkejutan tersebut dengan menyebutkan beberapa film lain yang berasal dari produsen Indonesia. Oh iya, dalam cerpen Ziarah mungkin bisa menjadi refleksi religius ketika Kementerian Agama memutuskan untuk tidak mengirimkan jamaah haji tahun ini. Sedangkan Tuhan Mahatahu tapi Dia Menunggu, menurut saya, bisa menjadi sebuah alternatif jawaban ketika Prof. H. Fauzan Saleh, Ph.D bulan puasa kemarin mengirimkan tulisan yang cukup menarik dengan judul “Covid-19, Problem Teodisi, dan Sinar terang Iman”. Semoga saja.[MFR]

Ibu Bukanlah Ratu

Mengenal manusia sebagai dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.

—–Fitri Handayani

Hari ini, untuk ke sekian kalinya, Fitri terlibat konflik dengan ibunya. Ini adalah konflik panjang yang pasti akan menguras banyak tenaga jika harus diceritakan detailnya. Ibu dan anak ini sudah terlalu sering bertengkar; ada saja yang menjadi bahan bakarnya. Tiap kali pertengkaran terjadi, sang ibu selalu menimpakan kesalahan pada Fitri. Ibu juga tampak mudah saja menimpakan kesalahan pada adik-adik Fitri; dalam segala kondisi, ibu tak pernah salah; selalu anak-anaknya.

Meski begitu, kisah nyata ini tak hendak membahas cerita tentang konfliknya, tetapi justru ingin mendalami dinamika relasi anak yang sudah dewasa dengan orangtuanya. Jatuh-bangun dan pahit-manis dinamika hubungan orangtua—anak adalah masalah universal yang harus dihadapi oleh semua orang. Suka atau tak suka. Cepat ataupun lambat. Setidaknya, tulisan ini adalah analisis dari sudut pandang atas keadaan yang dialami oleh Fitri.

Pola asuh kebanyakan orangtua seringkali hanya meneruskan warisan nilai-nilai dari orangtua mereka sebelumnya. Padahal belum tentu pola asuh itu adalah pola terbaik untuk tumbuh kembang anaknya, yang masing-masingnya unik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sayangnya, pola asuh ala “warisan” itu berlangsung dari generasi ke generasi. Termasuk pada kita saat kebagian giliran menjadi orangtua.

Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut meninggalkan trauma. Belitan trauma akibat pola asuh masa kecil bisa mencengkeram seseorang meski usianya sudah lanjut. Tak pernah benar-benar selesai. Mungkin itu pula yang terjadi pada ibu Fitri. Sejak kecil, Fitri adalah tipe anak yang frontal, lebih suka speak up daripada memendam rasa; sangat vokal menyuarakan kehendak. Hal ini tentu bertentangan dengan pola asuh orangtuanya yang diktator, yang memaksa anak untuk menurut meski tak rela.

Tak jarang, deraan siksa fisik dialamatkan ke tubuh Fitri dan adik-adiknya jika mereka dianggap bersalah. Apa saja yang sedang nampak di pandangan, bisa rotan kemoceng, gayung, selang, semua sudah pernah kami rasakan sakit dan perihnya. Fitri menginginkan dialog, orangtuanya inginnya menekan. Maka begitu Fitri merasa menemukan seseorang yang dia rasa bisa memerdekakannya, dia tak ragu untuk memutuskan menikah di usia muda, 22 tahun. “Lari” dari kungkungan orang tua.

Hidup rumah tangga Fitri tak pernah mudah, tapi dia merdeka. Fitri merasa benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri, berkompromi dalam banyak hal, meski kadang tak memungkiri banyak pertengkaran.  Fitri dan suami adalah pribadi yang sama-sama kuat. Tapi Fitri bebas, tak lagi merasa tertekan.  Di rumah tangganya itu, Fitri bisa berdiskusi apa saja, bertengkar tentang apa saja tanpa merasa terintimidasi karena apapun yang terjadi, Fitri merasa tetap dimanusiakan.

Aspek lainnya lagi adalah kejujuran yang utuh dan lengkap dalam relasi orangtua dan anak. Seringkali, karena takut sekali dicap sebagai anak durhaka, tekanan normatif dari lingkungan, dsb, kita, para anak, memilih untuk tidak terbuka seratus persen pada orangtua. Akibatnya, sebagai anak kita tetap tidak bisa menunjukkan otentisitas sebagai individu, dan orangtua pun terus ‘terperangkap’ dalam ilusi bahwa anaknya, mau berapa pun usianya sekarang, bahkan ketika uban sudah mulai menghiasi kepalanya, tetaplah Gendhuk dan Thole yang harus terus menerus dikendalikan, dipaksa menuruti kehendak dan terus menerus diawasi.

Padahal ketika anaknya punya masalah berat, orang tua cenderung abai; tak mengulurkan tangan, tak memberi solusi untuk membantu kesulitan, malah memberi masalah baru. Padahal jika tak bisa membantu, orang tua cukup diam dan mendoakan saja, itu lebih dari cukup. Fitri, sebagaimana juga banyak anak lainnya, pasti tak ingin orangtuanya terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Terlebih tentang keputusan-keputusan yang sifatnya besar dan pribadi.

Pagi tadi, usai pertengkaran hebat itu, Fitri menyadari; relasi hubungannya dengan ibu mengalami pergeseran; perubahan peran “anak” dan peran “orang tua” menuju individu-individu yang real, sejajar, dan apa adanya.

Kita jarang atau bahkan tak pernah mengenal orangtua kita sebagai manusia per se. Tentang sosok ibu sebagai manusia biasa, yang terikat embel-embel sebagai sosok yang mengandung kita, menyusui kita, melindungi kita, dsb. Sebaliknya, orangtua kita pun jarang, bahkan mungkin tak pernah, mengenal anak-anaknya sebagai manusia saja, bukan properti yang menyejukkan mata, sosok yang saleh/saleha, yang berguna bagi nusa dan bangsa, dst. Semua predikat tadi memang terdengar luhur dan mulia, tapi juga membius, melenakan dan membebani jika kita terus terjebak di dalamnya.

“Saya ini anak yang besar di luar rumah,” begitu kata Fitri tiap kali dia berusaha menguatkan dirinya sendiri. Nyatanya memang begitu. Sebagai anak yang dikenal paling cuek di antara tiga bersaudara, Fitri memang menghabiskan banyak waktu di luar rumah. Segala macam kegiatan di luar rumah dia ikuti. Mulai dari menjadi bagian dari remaja masjid, kelompok ilmiah remaja, pencak silat, menari, OSIS, bermusik dan nyanyi, dkk. Fitri serius menekuni hampir semua kegiatan yang dia ikuti, utamanya menyanyi, hingga seringkali dia punya uang sendiri atas hasil menyanyi di berbagai kesempatan.

Semua itu dia lakukan untuk mengambil jarak dengan orangtua. Fitri merasa nyaman berada di luar rumah, jauh dari orang tuanya. Di luar rumah, Fitri mendapatkan apresiasi atas prestasi dan pencapaian yang ia peroleh. Sementara di rumah, ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali orang tuanya memuji. Fitri justru akrab dengan berbagai cercaan dan kata-kata kasar karena dianggap tak cukup membuat bangga orangtua. Di rumah, Fitri dianggap pemalas sebab tak menyapu rumah, tak cuci piring, dst.

Selama bertahun-tahun, banyak jawaban dan alasan yang sudah ia renungi. Namun hari ini, renungan itu kian menggenap. Fitri sepertinya sadar, konflik yang seringkali pecah dengan sang ibu semata-mata terjadi karena ia belum mengenal ibunya (bapaknya sudah lama wafat) sebagai manusia —titik. Dan yang paling menyakitkan adalah, setiap kali Fitri ingin mengenal sang ibu, dia selalu terbentur dengan tembok tebal yang diciptakan oleh aneka peran yang dimainkan ibu dalam hidupnya. Ditambah lagi dengan tameng dari posisi Fitri sebagai anaknya.

Selama Fitri hidup, dia hanya mengenal perempuan yang telah melahirkannya itu sebagai ibu. Fitri tidak kenal perempuan itu sebagai sosok dengan nama lain. Dan sebaliknya, Fitri pun merindu dan meradang untuk ia kenali sebagai manusia—saja. Bukan semata sebagai anak sulungnya yang hobi menulis dan menyanyi. Fitri ingin dilihat ibu dengan apresiasi atas segala tingkah-polahnya yang juga sudah bertransisi menjadi perempuan dewasa, lengkap dengan segala konflik, jatuh bangun dengan trial and error dan pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut. Dalam empat puluh enam tahun mereka berinteraksi, keduanya belum sempat menanggalkan topeng-topeng sebagai ibu dan anak, saling bergandeng tangan, berpelukan atau sekadar mengerti satu sama lain sebagai dua individu yang otentik, yang sejajar, yang real. Mereka belum bertransisi dari ibu dan anak menjadi manusia dan manusia, dengan segala kurang dan lebihnya.

Usai perenungan ini, Fitri meneguhkan tekad dalam diri, persembahan terbaik yang kelak bisa dia berikan bagi anaknya dan manusia di sekelilingnya adalah dikenali sebagai manusia. Mungkin tak selamanya berujung indah, tapi mengakui otentisitas antarjiwa sebagai manusia adalah satu-satunya jembatan antarhati yang tulus dan jujur. Hanya dengan demikian kita benar-benar tahu rasanya “dihargai”. Dan sungguh, itu adalah pengalaman yang nyaris punah, yang dia sendiri hingga kini masih berjuang mendapatkannya dari sang ibu.

Selama ibu dan anak masih bersembunyi dan terperangkap dalam topeng-topeng peran, selama itu pulalah interaksi yang terjadi hanya sebatas kewajiban dan tampak indah di permukaan. Hanya terjadi karena kondisi mengharuskan demikian. Seiring berjalannya waktu, bisa saja merasakan cinta, kedamaian, keindahan, dan perasaan positif lainnya. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu semua.

Fitri, dan barangkali kita semua, tak tahu apakah hingga maut menjemput nanti, dia dan ibu masih memiliki kesempatan untuk dapat menanggalkan tembok-tembok peran dan bertransisi menjadi manusia saja, tanpa tembok-tembok itu lagi. Sungguh dia tak tahu sebab untuk ini, diperlukan kemauan dan usaha dari kedua belah pihak. Sementara ibu selalu menganggapnya dan adik-adiknya adalah anak-anak yang tak tahu diri. Ibu sanggup dan punya segudang koleksi cercaan untuk merendahkan mereka hingga ke titik nadir kemanusiaan jika mereka berselisih pendapat.

Mengenal manusia sebagai dirinya sendiri, tanpa sekat-sekat yang menjerat, sangat penting untuk dilakukan. Bukan karena tak mau menghormati, tetapi untuk menyadari bahwa semua orang mengalami fase transisi. Hormati dan hargai tiap fase itu hingga kita akhirnya tahu, ibu tak selalu menjadi ratu.[MFR]

Bukan Imam Pilihan

Kini, Idul hanya bisa berharap agar sang ibu mengerti, anak-anaknya sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, serta untuk menjunjung nilai-nilai dalam kehidupan keluarga mereka masing-masing. Tak apa jika Idul tak jadi Imam pilihan, Tuhan tahu, Idul tak seburuk tuduhan ibu.

——Idul (suami Fitri)

Pagi itu, tepatnya 24 Mei 2020, adalah lebaran 1 Syawal 1441 H. Idul, pria paruh baya, sudah siap sejak pagi; sejak selepas subuh ia sudah bergilir mengumandangkan takbir. Dia dan keluarga kecilnya juga sudah tampak bersiap berangkat menunaikan ibadah salat Idulfitri di lapangan perumahan tempat mereka tinggal. Salat ini diikuti tak lebih dari 20 orang saja, dengan tetap menjaga jarak.

Warga di komplek sini tidak berani ke masjid untuk salat dalam jamaah yang lebih besar, mereka memilih ikuti anjuran pemerintah untuk salat di komplek rumah saja, tentu karena korona.

Selepas salat, seperti biasa, tradisi di keluarga kecil Idul adalah makan ketupat dan opor ayam beserta teman-temannya, dilanjutkan dengan bermaaf-maafan dalam keluarga kecil yang sudah dia bina selama 25 tahun. Bagian dari tradisi itu adalah ritual istri mencium tangan suami, disusul dengan empat anaknya yang melakukan hal sama; meminta maaf kepada orang tua, juga sebaliknya.

Perayaan tahun ini agak berbeda, korona memaksa keluarga kecil ini merayakan lebaran dengan cara yang sedikit garing; harus silaturahmi secara daring. Tak ada kunjungan ke rumah-rumah sanak saudara dan tetangga; semuanya dilakukan di sebalik layar kaca.

Usai makan dan bermaaf-maafan, Idul merasa letih. Dia lihat istrinya juga sudah mendahului berbaring di kasur. Malam hari sebelumnya dia memang kurang tidur karena menyiapkan hidangan lebaran buat Idul dan anak-anak. Perlahan Idul pun naik ke tempat tidur dan merebahkan badan di samping istrinya.

“Kamu nggak telpon ibu? Telpon, gih,” kata Idul sambil memejamkan mata.

Sekilas dia dengar jawab “Iya, ntar” dari istrinya. Dari nada suaranya, terdengar getar keengganan, seperti tak mau walau kata yang terucap adalah “iya”. Namun Idul tak pikir panjang, kantuk sudah keburu menyerang.

Hari pun berlalu. Idul masih tak tahu apakah istrinya sudah menelpon ibunya atau belum. Yang ia tahu, beberapa hari kemudian, sepulang kerja, Idul diberondong cerita dari istrinya yang marah besar terhadap ibu. Idul duduk di sebelah perempuan yang telah menemaninya puluhan tahun itu sambil berusaha menjadi pendengar yang baik. Ternyata istri Idul baru saja “berkelahi” dengan ibunya melalui WA.

Ceritanya cukup panjang, dan cerita ini bukan dimulai dari istrinya yang ternyata tidak menelpon ibu di saat Idulfitri, tapi jauh sebelumnya. Istri Idul menilai sang ibu terlalu mencampuri urusan rumah tangganya. Sang Ibu bahkan menilai Idul, selaku imam di keluarganya, tidak cukup pantas mendampingi anaknya.

Ternyata Idul menjadi salah satu topik pertengkaran mereka.

Ya Tuhan…. ternyata begitu cara sang ibu mertua menilai Idul. Sang ibu mencerca Idul dari banyak sudut, mulai dari pekerjaannya yang dinilai tidak cukup layak, sampai anggapan bahwa dia dan keluarganya tidak cukup memiliki adab terhadap orang tua. Idul dan keluarganya yang bertumbuh selama 25 tahun ini memang sepakat untuk lebih mengedepankan logika dan rasionalitas dalam bersikap terhadap apapun, mungkin ini yang dinilai sang ibu sebagai sikap kurang beradab.

Seperti contohnya, banyak orang yang sepakat dengan pernyataan “surga berada di telapak kaki ibu”. Idul bukannya menolak pernyataan itu, dia hanya ingin menekankan ibu seperti apa dulu yang di telapak kakinya ada surga. Tentu tidak semuanya. Kalau pernyataan itu diterima mentah-mentah, itu merendahkan intelektualitas. Tidak masuk akal dan sangat tidak rasional kalau di setiap telapak kaki ibu terdapat surga.

Orang tua tidak selalu benar; usia tua tidak sama dengan selalu benar. Orang tua bisa saja salah, karena salah bisa terjadi kepada siapa saja. Fakta ini yang kadang sulit diterima kebanyakan orang tua. Mereka berpikir orang tua selalu benar dan harus selalu dituruti kata-katanya. Bukan begitu cara Idul membangun rumah tangga. Idul tak mendidik keempat anaknya dengan nilai-nilai tersebut.

Meski pedih dan sakit hati, Idul memilih diam daripada harus berseteru dengan mertua. Apakah sakit hati? Sebagai manusia yang dikaruniai perasaan, tentu Idul tersinggung, teringat kembali kejadian-kejadian terdahulu, di saat fitnah-fitnah keji juga pernah dialamatkan kepada menantunya itu, yang kebetulan dulu pernah menolong dan membiayai seorang pelacur yang melahirkan anak tanpa pasangannya karena sama sekali tidak memiliki biaya untuk bersalin.

Saat itu dia dan istri membantu benar-benar didasarkan pada rasa kemanusiaan saja, tidak lebih. Mungkin saat itu istrinya bercerita kepada ibunya. Lalu beliau mengatakan kepada anaknya bahwa sangat mungkin suaminya punya “saham” terhadap pelacur itu, makanya mau membantu persalinannya. Wow, bisa dibayangkan betapa tersinggungnya Idul dengan tuduhan itu. Sangat menyakitkan dan merendahkan harga diri. Toh, Idul tetap diam, biarlah Tuhan yang tahu.

Kalau saat ini belahan jiwanya memilih jalan untuk tetap berseteru dengan ibunya dalam rangka memberi pembelajaran terhadap orang yang berpendapat “orang tua selalu benar”, itu adalah pilihannya, Idul tidak akan melarang ataupun mendukung. Karena dalam kasus ini, lagi-lagi, Idul memilih untuk kembali diam.

Mungkin ini juga bisa menjadi pembelajaran bagi yang membaca tulisan ini, bahwa suami istri sangat boleh berbeda pilihan dalam menyikapi suatu hal. Intinya jangan memaksakan pendapat satu dengan lainnya. Kalau memang berbeda, ya berjalanlah bersama dalam perbedaan. Kuncinya saling menghargai dan bertoleransi. Ini mungkin salah satu sebab usia perkawinan bisa mencapai 25 tahun atau bahkan lebih, di samping cinta kasih tentunya.

Kini, Idul hanya bisa berharap agar sang ibu mengerti, anak-anaknya sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup mereka sendiri, serta untuk menjunjung nilai-nilai dalam kehidupan keluarga mereka masing-masing. Tak apa jika Idul tak jadi Imam pilihan, Tuhan tahu, Idul tak seburuk tuduhan ibu.[MFR]