Para civitas akademika tak boleh berpangku tangan dan membiarkan kasus pelecehan seksual menjadi kanker yang mengubah kampus menjadi tempat angker. Bantu dan dampingi para korban, lebih dengarkan suara mereka ketimbang para intelektual yang lebih terlatih untuk membual.
—-Khoirul Anam
Hingga saat ini, pelecehan seksual di lingkungan kampus masih menjadi tema yang kurang mendapat perhatian serius. Para pelaku pelecehan masih kerap mendapat perlindungan dari sejumlah pihak yang terus menyangkal dan lebih mementingkan nama baik ketimbang nasib korban yang tercabik. Kampus semestinya memang menjadi tempat aman yang mampu membebaskan mahasiswa dari kekhawatiran akan masa depan, tetapi sayangnya, tempat yang sakral ini justru tidak benar-benar bisa lepas dari kasus pelecehan seksual.
LBH Yogyakarta dalam “Kekerasan Seksual dalam Institusi Pendidikan”
menyebut pelecehan seksual di lingkungan kampus sebagai “rahasia umum yang
sengaja dilupakan oleh sebagian besar pihak di dalamnya.” Salah satu sebabnya,
pelecehan seksual di lingkungan kampus melibatkan faktor yang lebih dari
sekadar pelampiasan birahi, tetapi juga –dan ini yang sangat menyebalkan—relasi
kuasa antara pelaku dan korban pelecehan. Para pelaku kerap menggunakan
posisinya yang lebih tinggi (seperti dosen) untuk membungkam suara korban
(terutama mahasiswi). Karenanya tak heran, banyak kasus pelecehan yang tak
terlaporkan. Di beberapa kasus, teror kerap dialami
oleh korban ataupun pendamping agar kasus tak diungkapkan. Hal ini tentu menambah
panjang catatan suram penanganan kekerasan seksual di dunia pendidikan.
The Intellectual Seducer
Dzeich dan Weiner (1990) menjelaskan ada banyak jenis kekerasan seksual
di lingkungan pendidikan, salah satunya –dan ini yang khas pada kasus pelecehan
seksual di dunia pendidikan—adalah the intellectual seducer, yakni
penyalahgunaan kemampuan intelektual untuk mengelabuhi calon korban sebelum
akhirnya dilecehkan. Modus yang umum digunakan adalah, para pelaku pelecehan
menggunakan daya tarik intelektualnya untuk menjebak para korban. Mereka
membangun jebakan dalam bentuk relasi kuasa yang tak akan mudah dihindari oleh
para korban, akhirnya, setelah pelecehan terjadi, korban tetap lebih sering tak
bisa lepas dari jeratan ini.
Pihak kampus juga cenderung memberi perlindungan dengan lebih memihak
kepada aktor intelektual mereka; suara para intelektual ini lebih didengar
kampus ketimbang jeritan para korban pelecehan. Hal ini tampak misalnya dalam
penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan
kampus yang dilakukan oleh IM ketika dirinya masih menjadi mahasiswa di salah satu
kampus keagamaan di Yogyakarta. Salah satu penyintas, sebagaimana
dilaporkan Tirto dalam “Dugaan Kasus Kekerasan Seksual: Di Balik Citra Baik”, menyatakan, “Waktu kejadian, saya cuma mikir, pasti
orang-orang lebih percaya dia walaupun dia cuma sekali bilang ‘tidak’ dan saya menceritakan kasus itu berkali-kali. Pikiran
itu ada di kepala saya lama sekali,” ujarnya.
Laporan yang dikumpulkan oleh LBH Yogyakarta menyebut beberapa korban
pelecehan adalah mantan fans pelaku karena yang bersangkutan sangat
populer di kampus. Ia dikenal cukup berprestasi dan tampak saleh. Saat kasus
ini diusut pun, IM masih kerap memamerkan aktivitas intelektualnya; ia diundang untuk
mengisi berbagai kajian keagamaan dan sudah bergelar ustaz.
Maka pantas saja para korban merasa ragu untuk melaporkan kasus yang
menimpanya; suara mereka tak akan didengar, mereka pun tak akan mendapat
perlindungan. Bahkan
bukan tak mungkin, para korban justru dirundung serangan balik dan stigma. “Halah,
fitnah aja itu. Astgahfirullah” atau “Paling memang kamu yang menggoda, iya,
kan?”
Payung Hukum
Catatan-catatan penanganan kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus
menyebut banyak korban yang enggan melaporkan kasus yang menimpa mereka
lantaran tak yakin kasus mereka mendapat penanganan yang semestinya. Hal ini
diperparah dengan fakta banyaknya kampus yang tak memiliki aturan khusus
mengenai penanganan pelecehan seksual. Kalaupun ada, aturan itu hanya sebatas
panduan etik civitas akademik, bukan penanganan kasus yang pelik.
Jika kasus pelecehan seksual ini menimpa perempuan, aturan yang kerap
digunakan adalah Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014 yang
merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002, tetapi
–sebagaimana namanya—undang-undang ini hanya ditujukan untuk perlindungan anak,
yakni mereka yang masih berusia di bawah 18 tahun, karenanya jika korban
pelecehan seksual adalah mahasiswi yang berusia 18 tahun ke atas, mereka tak
memiliki perlindungan hukum yang jelas.
Mendikbudristek Nadiem Makarim yang sejak tahun lalu menyebut pelecehan seksual sebagai
satu dari tiga dosa besar di dunia pendidikan –dua lainnya adalah intoleransi
dan perundungan—, nyatanya belum juga menelurkan regulasi resmi yang mengatur
soal pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi hanya memberi keterangan bahwa pihaknya
telah selesai melakukan harmonisasi beberapa peraturan yang nantinya akan
diundangkan, salah satunya tentang pencegahan kekerasan seksual.
Sambil menunggu peraturan di atas diundang-undangkan, para civitas
akademika tentu tak boleh berpangku tangan dan membiarkan kasus pelecehan
seksual menjadi kanker yang mengubah kampus menjadi tempat angker. Bantu dan
dampingi para korban, lebih dengarkan suara mereka ketimbang para intelektual
yang lebih terlatih untuk membual. Kita semua tentu tak ingin kasus kekerasan
seksual di lingkungan pendidikan tinggi hanya berakhir di meja mediasi, tanpa
ada sanksi yang berarti. Jika terus dibiarkan, pelaku pelecehan akan terus
berkeliaran sementara korban harus menanggung trauma dan kehancuran, entah
sampai kapan.[MFR]
Dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia, fikih menjadi salah satu rujukan bagi penyelesaian berbagai persoalan sosial-keagamaan di kalangan Muslim. Para perantara hukum (legal brokers)—mulai dari hakim di PA, penghulu dan penyuluh di KUA hingga tokoh agama di masjid dan musala—menjadikan fikih sebagai salah satu pijakan dalam memberikan putusan, fatwa, atau nasihat hukum. Di tengah realitas sosial-keagamaan yang bergerak dinamis dan memunculkan persoalan-persoalan hukum baru, para perantara hukum ini kerap dihadapkan pada hubungan ‘tak mesra’ antara fikih dan realitas kontemporer. Hukum-hukum fikih tradisional dianggap tak lagi bisa memberi jawaban yang memuaskan bagi problem keumatan kontemporer, termasuk dalam isu HAM.
Perdebatan mengenai kompatibilitas antara HAM dan Islam
(fikih) mewarnai diskursus baik di kalangan elit maupun awam. Kontestasi antara
universalitas vs relativitas HAM memicu beragam respons, dari yang ‘konservatif’,
‘liberal’, hingga ‘pragmatis atau moderat’. Kubu pertama menolak HAM karena
dianggap tidak sejalan dengan Islam, bahkan bagian dari ‘agenda’ Barat untuk
menundukkan Islam. Kubu kedua menilai HAM sebagai upaya manusia modern untuk
mengatasi persoalan kekinian; dengan demikian, konsep-konsep tradisional fikih
sudah tidak memadai lagi sehingga perlu direkonstruksi ulang. Kubu ketiga
mencari ‘jalan tengah’ dengan menerima HAM tanpa meninggalkan fikih; kubu ini
memilih setia pada fikih tapi melakukan perubahan signifikan agar lebih selaras
dengan HAM (Hudaeri, 2007).
Dari tiga respons di atas, corak ketiga lebih berterima
di kalangan mayoritas Muslim Indonesia. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari berbagai
pembaharuan hukum Islam yang digelorakan oleh sejumlah ahli fikih Indonesia,
misalnya Hasby Ash-Shiddy, Hazairin, Sahal Mahfudz, atau Ali Yafie. Peraturan
perundang-undangan (KHI, misalnya) terkait muslim di Indonesia, seperti
pembatasan poligami, pelarangan hak ijbar wali, penetapan batas usia nikah,
juga mencerminkan corak respons ini. Meskipun tidak seratus persen mengadopsi
ketentuan HAM internasional, upaya ini setidaknya memberikan ‘angin segar’ bagi
pemberlakuan hukum-hukum fikih yang semakin dekat pada prinsip-prinsip
universal HAM, terlepas dengan segala pro dan kontra yang ada.
‘Harmonisasi’ antara fikih dan prinsip-prinsip HAM tidak dilihat
dari sudut pandang mana yang lebih autoritatif, mana yang harus tunduk, apalagi
sebagai upaya membenturkan keduanya. Sebaliknya, inisiatif ini diletakkan dalam
konteks penegakan hak-hak asasi manusia melalui pembaharuan yang tetap bertumpu
pada konsep-konsep fikih konvensional (indoctrinal
reform) yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan kebanyakan muslim di
Indonesia. Melalui upaya ini, diharapkan hak-hak asasi manusia bisa lebih
berterima melalui bahasa-bahasa yang sudah diakrabi dan dipahami oleh
masyarakat awam. Bagaimanapun, seperti kata Jasser Auda, yang terpenting dari
wacana kompatibilitas HAM dan fikih adalah kesejahteraan atau terpenuhinya
hajat hidup masyarakat, bukan soal apakah keduanya selaras atau tidak.
Program ini merupakan bagian dari kerja sama SPs. UIN Sunan Kalijaga – Norwegian Center for Human Rigths (UNHCR), Oslo Coalition, Norwegia yang sudah berlangsung sejak 2013. Program ini berfokus pada adukasi publik, khususnya penghulu/penyuluh KUA, tentang pentingnya pembelaan dan penegakan hak-hak masyarakat rentan dalam isu-isu seperti hak-hak minoritas, keberagamaan, gender, dan isu-isu keluarga. Inisiatif ini berawal dari desakan akan pentingnya para penghulu/penyuluh di KUA maupun hakim PA memiliki bacaan praktis tentang nilai-nilai HAM yang digali dari khazanah fikih klasik. Diharapkan bacaan ini bisa memperkuat peran mereka dalam memberikan solusi hukum yang lebih berkeadilan, humanis, dan advokatif.
B. Subtema Tulisan
Kami mengundang akademisi, praktisi, dan publik secara
luas untuk turut berkontribusi pada buku dengan mengirimkan tulisan-tulisan
terbaik tentang isu-isu HAM dan fikih yang terkait langsung dengan problem
sosial-keagamaan di tengah masyarakat, khususnya dalam lingkup KUA. Topik tulisan
mencakup:
Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
(KBB);
Hak-hak kaum minoritas
Hak-hak perempuan dan penghapusan
kekerasan seksual;
Penegakan dan perlindungan hak anak;
Pernikahan dan perceraian;
Moderasi beragama dan radikalisme
agama
Topik-topik lain yang terkait.
C. Ketentuan Tulisan
Hasil penelitian lapangan; studi
literatur; studi dokumen atau yurisprudensi putusan hakim PA.
Belum pernah diterbitkan baik dalam
bentuk artikel jurnal atau buku;
Memiliki kesesuaian dengan isu-isu
spesifik dan praktis sesuai tema yang ditentukan;
Mencerminkan perspektif HAM dan fikih
klasik;
Memiliki kesesuaian dengan sasaran
pembaca: penyuluh/penghulu KUA, hakim di PA, dan publik umum;
Dikemas dalam bahasa Indonesia yang
baik dan benar, lugas, mudah dipahami, argumentatif, sesuai dengan tema yang
ditentukan, dan bebas dari unsur plagiarisme;
Berkisar 7.000-10.000 kata; Time-New
Roman 12pt; spasi 1,5; disertai catatan kaki dan daftar pustaka.
D. Jadwal dan Seleksi
Pengiriman abstrak: 01 sd. 15
September 2021
Seleksi dan penentuan abstrak
terpilih: 16-20 September 2021
Penulisan dan penyerahan naskah utuh: 30 Oktober 2021
E. Hak dan Kewajiban Penulis
Mendapatkan honorarium baik sebagai
penulis maupun keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan program;
Mendapatkan buku terbitan ber-ISBN
baik dalam bentuk hardcopy (10
ekslempar) dan softcopy;
Bersedia mengikuti FGD terkait
penulisan dan terlibat dalam rangkaian kegiatan program baik sebagai peserta
maupun nara sumber;
Bersedia merevisi naskah tulisan
sesuai masukan dari tim editor.
F. Pengiriman Abstrak
Abstrak dikirim melalui alamat email: melalui maufur@iainkediri.ac.id
dengan cc: nina.noor@uin-suka.ac.id.
Tak dulu tak sekarang, karakteristik radikalisme memang menunjukkan cacat logika yang akut
—Heru Harjo Utomo
Dalam khazanah budaya Jawa, orang radikal cukup disebut sebagai “pengung.” Setidaknya, hal itu terekam
dalam Serat Wedhatama yang mengawali
kupasan sufistiknya dengan pemblejetan karakteristik radikalisme yang saat serat itu ditulis sudah mewabah di Jawa.
Secara harfiah, “pengung” bermakna
“goblok.” Orang dikategorikan sebagai “goblok” adalah ketika otaknya memang tak
pernah dipakai. Jadi, radikalisme, dalam hal ini, memang identik dengan satwa
yang bertindak semata karena menuruti insting (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo
Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).
Tak dulu tak sekarang, karakteristik radikalisme
memang menunjukkan cacat logika yang akut (Agama
Sipil dan Sesat Pikir “NKRI Bersyariah”, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.id).
Yang terkini, “laskar pengung”
tersebut kembali memamerkan kegoblokan akutnya dengan tudung isu Palestina yang
menurut mereka dapat diselesaikan dengan jihad dan khilafah. Siapa pun pasti
terkekeh dan barangkali cukup berucap sinis seperti Kyai Semar ke Bathari Durga
dan para bajingannya, “Wis wani wirang?”
Sebagaimana yang kita tahu, khilafah adalah sebuah
sistem pemerintahan yang menolak nasionalisme dan demokrasi. Sedangkan
permasalahan mendasar Palestina adalah keinginan untuk mutlak diakui sebagai
sebuah negara dan bangsa dengan batas-batasnya yang jelas. Karena itu, jelas
isu-isu seperti ini memang permainan dari “laskar pengung” yang di Indonesia memang sudah berunjuk gigi dalam hal
kegoblokan sejak 2014 (Politik
Penyingkapan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Sebagaimana pula yang sudah banyak terjadi sejak 2014, “laskar pengung” semacam ini hanya akan menjelma opera sabun belaka. Mau bertingkah seperti apapun, mulai dari isu-isu yang berbingkai agama maupun politik praktis, pilkada dan pilpres, hasilnya tetap tak berubah karena struktur dan pola pergerakannya juga tak berubah: kegoblokan yang akut. Kita tak pernah tahu keseharian orang-orang seperti itu kecuali di media-media sosial. Di balik kesalehannya yang berapi-api, kehidupan mereka sebenarnya sangat bertolak-belakang (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Ketika tak punya kawan atau tetangga, apa yang biasanya dilakukan orang untuk mengisi kesepiannya? Omong-besar yang tak masuk akal alias umuk dan mencari musuh.
Si pengung nora nglegewa Sang sayarda denira cacariwis Ngandhar-andhar angendhukur Kandhane nora kaprah Saya elok alangka longkanipun Si wasis waskitha ngalah Ngalingi marang si pinging
[Si goblok yang tak sadar
Semakin berkobar dalam berkoar
Sungguh liar kesasar
Segala ujarnya ambyar
Semakin menonjol ketololannya
Si pintar yang jeli mengalah
Menutupi kegoblokan si goblok]
Gerakan-gerakan radikal yang massif dalam hal umuk dan bikin kekisruhan sejak 2014 semacam ini sebenarnya sudah kandheg di Indonesia. Ibarat bajingan yang sudah dalam posisi terdodong, mereka tinggal menanti kesungguhan komitmen kita pada kebhinekaan, Pancasila, dan UUD 1945, dibiarkan bermasturbasi ria membikin kekisruhan atau dieksekusi. Demi kehidupan produktif para anak-cucu di masa mendatang, rasanya opsi terakhir memang sudah semestinya ditempuh. [MFR]
Konon, hantu ta’un menghampiri rumah-rumah; mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama korbannya di malam buta. Orang-orang tua menasehati agar jangan sekali-kali menyahuti panggilan itu jika besoknya tak mau mati.
—- Achmad Bahrur Rozi
Saya tidak tahu persis kapan kisah ta’un ini bermula, sehingga sangat
menakutkan bagi orang Madura. Yang jelas sejak berhembus isu tentang ta’un masyarakat di desa saya
mulai resah. Sejak pengumuman kematian melalui toa di masjid-masjid semakin
sering, ibu-ibu di desa saya mulai sibuk membuat ketupat dan serabi sejumlah
anggota keluarganya.
Konon, ta’un
menghampiri rumah mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama korbannya di malam
buta. Orang-orang tua menasehati agar jangan sekali-kali menyahuti panggilan itu
jika besoknya tak mau mati. Begitu konon cara kerja ta’un. Ini cerita yang berkembang di
kampung dan desa saya. Mungkin saja di daerah lain ceritanya berbeda.
Ta’un
(tha’un) sesungguhnya
bahasa agama. Setidak-tidaknya termenologi tersebut telah diabadikan oleh
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani dala kitab Badzlul
Maun Fi Fadhlil Thaun. Kitab ini membahas tentang wabah penyakit, termasuk
wabah ta’un di dalamnya.
Pembahasan Ibnu Hajar perihal wabah dan ta’un sesungguhnya dalam konteks yang
sangat saintifik. Dia mendasarkan analisisnya pada pendapat para ulama ahli
bahasa maupun kedokteran, semisal al-Khalil (pengarang kitab An-Nihayah), Abu Bakar Ibnu al-Arabi,
Abul Walid al-Baji, al-Mutawalli, al-Ghazali, dan Ibnu Sina.
Menurutnya, ta’un
itu lebih khusus ketimbang wabah. Ta’un
adalah pandemi karena bisa menimpa dan menulari begitu banyak orang. Tak
pandang jenis kelamin, usia, kebangsaan, atau agama dalam suatu wilayah atau
bahkan meluas ke banyak wilayah. Sementara wabah merujuk pada penyakit menular
itu sendiri. Intinya, setiap ta’un
adalah wabah, tapi tidak sebaliknya.
Tetapi ta’un
yang berkembang dalam imajinasi kultural orang Madura memiliki narasi yang,
khas, unik, dan bernuansa magis. Dalam imajinasi saya, berdasarkan
cerita-cerita orang tua yang diwariskan turun-temurun, ta’un tak ubahnya seperti mahluk pencabut
nyawa yang bergentayangan di malam hari. Si korban lalu mati pagi harinya tanpa
sebab dan penjelasan apapun, kecuali dimangsa ta’un itu sendiri.
Betapa melekatnya kisah ta’un
versi lokal ini dalam benak dan imajinasi orang Madura; mereka bahkan tidak percaya jika angka
kematian yang meningkat tidak wajar akhir-kahir ini adalah akibat tertular Cobid-19. Mereka hanya percaya ta’un, lebih-lebih ketika kabar tentang ta’un itu disampaikan oleh ulama dan kiai
berpengaruh.
Ini menjadi satu indikasi
bahwa dalam masyarakat Madura kesenjangan antara bahasa agama dan bahasa sains masih sangat tinggi; tidak hanya di kalangan awam tetapi juga
berlaku di kalangan elit, kaum kiai dan agamawan. Kegagalan menerjemahkan
bahasa agama ke dalam bahasa sains
sedikit banyak berdampak pada kegagalan
upaya pembatasan yang diprogramkan pemerintah sejak pandemi Covid-19 yang melanda negeri
ini.
Meskipun tidak menafikan
faktor lain seperti ketidaksukaan terhadap penguasa/pemerintah, luka politik yang
begitu mendalam pascapilpres yang lalu bisa juga berperan. Residu politik pilpres tersebut mengemuka dalam
bentuk perdebatan panas antara kelompok pendukung kebijakan pemerintah dan kelompok anti-Covid di media sosial dan WAG.
Yang jelas,
hingga detik ini masyarakat terbelah; mereka
yang mendukung dan mau mematuhi prokes dan mereka yang menolak dengan penuh kecurigaan plus tuduhan-tuduhan yang bernuansa konspiratif. Kesulitan
pemerintah, khususnya di Madura,
untuk meyakinkan masyarakat, bukan tidak mungkin karena keberadaan kelompok yang
kedua ini tidak sedikit atau
bahkan mungkin lebih banyak dari kelompok pertama.
Ironisnya,
kebijakan PPKM Darurat Jawa-Bali oleh masyarakat Madura lebih dimaknai sebagai
agenda pembatasan akses ekonomi dan pemiskinan daripada ikhtiyar membatasi
penularan virus Covid-19. Padahal tidak sedikit kiai dan
ulama yang menjadi panutan mereka yang menjadi korban keganasan covid.
Tingginya intensitas kiai-kiai di Madura dalam berinteraksi
dengan masyarakat luas memungkinkan kiai dan pimpinan pondok pesantren menjadi
mangsa empuk Covid-19. Sayangnya, kiai-kiai di Madura sampai detik ini
belum satu suara, beberapa bahkan ada yang menjadi kompor dan provokator agar
masyarakat anti virus corona.
Masyarakat menjadi bingung karena kiai dan ulama sebagai
tokoh panutan dan sangat dihormati satu sama lain tidak memiliki kesepahaman.
Saya yakin, haqqul yakin, masyarakat
Madura akan manut andai saja para kiai dan ulama bersinergi dengan pemerintah
menggunakan bahasa yang sama tentang bahaya penularan virus corona ini sehingga persoalan penanganan wabah
covid 19 tidak berlarut-larut seperti yang kita lihat saat ini.
Bahasa agama sebagai domain kiai dan ulama seharusnya
bergandeng tangan dengan bahasa sain yang menjadi domain pemerintah. Tetapi
jalan ke arah itu nampaknya masih jauh panggang dari api. Sekarang tidak hanya
kiai dan ulama yang gagal dalam proses kontekstualisasi bahasa agama dalam
konteks kekinian, sebaliknya justru pemerintah malah offside, terjebak dalam pola permainan bahasa agama.
Seolah hendak mengambil peran kiai dan ulama, pemerintah
terjebak ke dalam penggunaan bahasa agama melalui edaran-edaran yang intinya
menghimbau masyarakat dalam situasi gawat darurat ini untuk menyelenggarakan solawat
tibbil qulub, solawat burdah dan doa lainnya secara berjamaah.
Memang tidak ada yang salah. Sekali lagi, instruksi untuk
berdoa dan membaca solawat adalah hal yang baik, sangat baik. Tetapi, apakah
tidak sebaiknya pemerintah fokus terhadap edukasi dan penanganan dampak
penularan virus corona?
Sementara itu,
pemerintah terus menjalin komunikasi dengan tokoh masyarakat, ulama, dan kiai
terkait pandemi ini. Serahkan fungsi himbauan-himbauan religius itu kepada
ulama dan kiai. Tetapi sebelum itu perlu kesamaan persepsi bahwa ta’un yang dimaksud itu adalah virus
corona itu sendiri; masing-masing dengan bahasa yang
berbeda tetapi tetap bersinergi.
Mari kita berdoa dan mematuhi protokol kesehatan. Semoga
dengan demikian badai corona segera
berlalu, amin! [MFR]
Meraih gelar Doktor dalam Bidang Studi Islam dari IAIN Sunan Ampel Surabaya; Penulis Buku Madura dalam Pertaruhan Harga Diri; saat ini menjadi dosen tetap pada sebuah PTAI di Madura
Petualangan Ganesha bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis
—- Moh. Irmawan Jauhari
Antroposentrisme di satu sisi mampu mengantarkan manusia menjadi lebih baik dan memahami eksistensinya dalam kehendak bebas yang sistematis dan rasional. Akan tetapi, ketika perjalanan menjadi semakin jauh, hubungan manusia dengan alam cenderung eksploitatif dan tanpa kontrol karena semesta ada diperuntukkan buat manusia. Pengerukan SDA tanpa batas, pencemaran lingkungan, industrialisasi, adalah sebagian permasalahan yang bermula dari antroposentrisme. Ditambah globalisasi yang ingin melakukan percepatan putaran kapital sampai pelosok Negara Selatan menjadikan keadaan semakin rumit dan tidak semudah Shiva merubah keadaan dengan sepeda ajaibnya.
Petualangan Ganesha yang terbit pada Mei 2021 secara filosofis mencoba mengajak para pembaca untuk memahami hubungan alam dan manusia dengan lebih jernih. Buku ini mengambil latar Gunung Wilis dengan beberapa potensi wisata maupun folklore yang pernah penulis dapatkan ketika berkunjung ke Kawasan Lingkar Wilis. Semuanya disusun menjadi satu dalam bentuk dialektika fiksi sekaligus memberikan interpretasi akan makna antroposentris yang memperhatikan keseimbangan kosmik. Atau dalam mata kuliah Aliran Kepercayaan, keseimbangan manusia sebagai jagad alit dan semesta sebagai jagad ageng.
Tidak dapat dipungkiri hari ini atas nama keegoisan manusia, di Wilis sudah tidak terdapat hutan dalam arti kata yang sebenarnya. Sebabnya adalah banyaknya pembalakan liar beberapa tahun lalu, alih fungsi hutan menjadi lahan ekonomi, serta kurang pedulinya kita semua akan keberadaan gunung sebagai paku dari dunia. Bagaimana jika beberapa paku dalam meja kita ambil dan rusak? Jawabannya pasti meja tersebut turut rusak.
Petualangan Ganesha singkatnya bercerita tentang lima pelajar yang melakukan ekspedisi ke Gunung Wilis untuk mengisi liburan semester. Alih-alih mendapatkan pengalaman menikmati alam, mereka justru terlibat dalam pertentangan dua kelompok pada dimensi lain Gunung Wilis. Alkisah, Ki Barda ingin mencabut segel gunung sehingga menjadikan Wilis sebagai salah satu gunung berapi. Kelima pelajar tersebut pada akhirnya terlibat dalam upaya menyadarkan Ki Barda agar tidak meneruskan perbuatannya karena membawa dampak yang merugikan bagi manusia dan penghuni Wilis lain.
Pesan moral yang ingin disampaikan adalah manusia dengan segenap perbuatannya berpotensi merusak alam sekaligus bisa memperbaikinya. Kerusakan di Kawasan Gunung Wilis tidak semata kerusakan fisik, namun juga budaya, ekonomi, dan ruang sosial masyarakatnya. Melalui Petualangan Ganesha, kerusakan-kerusakan tersebut disamarkan dalam bentuk cerita agar menarik untuk dibaca dan dipahami oleh anak-anak dan para remaja.
Sebagai sebuah karya fiksi, tentu langkah yang diambil bukan taktis menangani bencana atau pelestarian lingkungan. Akan tetapi ini adalah langkah strategis yang bisa jadi buahnya setelah sepuluh dan dua puluh tahun lagi, terdapat kesadaran kolektif untuk memelihara lingkungan khususnya masyarakat Wilis. Diperlukan benang merah Gerakan-gerakan taktis serta strategis untuk menanamkan spirit kepedulian lingkungan. Dalam pandangan penulis, fiksi berbalut ilmiah adalah salah satunya. Sehingga pada akhirnya terdapat sinergi gerak antara akademisi, pegiat lingkungan, dan para stakeholder lain dalam memberikan edukasi terkait merawat lingkungan untuk generasi mendatang.
Rencananya, seri Petualangan Ganesha akan berlanjut di beberapa gunung lain serta mengangkat mitos maupun potensi lain yang ada. Dengan harapan muncul kecintaan pada lingkungan, kepedulian pada basis sejarah dan budaya, serta menguatnya budaya literasi. Dan untuk mendukung Gerakan kepedulian lingkungan, penulis menyarankan jika ingin membeli buku ini bisa di google books sehingga tidak perlu versi cetak. Mengingat dengan membeli di portal online, Sebagian keuntungan akan didonasikan untuk kegiatan literasi dan pelestarian alam. [MFR]
Alumni SAA-2008 IAIN Kediri; Novelis dan Dosen di Nganjuk. Beberapa karyanya: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (LKiS, 2018); Pada Sebuah Episode (Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019).
Pesan Paus, “Datang dan Lihatlah”, mengajak kepada seluruh pembuat berita untuk menyampaikan kabar kebenaran.
— Rosita Sukadana
Pada Idulfitri
kali ini, media sosial diramaikan dengan hoax lonjakan kasus Covid-19 di beberapa kabupaten/kota di Jatim. Hal ini
mengingatkan pada hoax yang juga terjadi semasa Idulfitri tahun lalu. Informasi
yang tidak benar tentang lima anak yatim
piatu dan miskin. Ayah mereka meninggal dunia karena Covid-19. Foto jenazah dan
anak-anak tersebut melengkapi hoax yang tersebar melalui sejumlah media sosial.
Pada
kenyataannya, kakak beradik yang diberitakan adalah anak-anak dari sepasang
suami istri yang mendapat pendampingan dari tim Relawan Paliatif dan
Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) paroki Kristus Raja Surabaya. Pendampingan
sudah dilakukan beberapa tahun lalu dan semakin aktif pada saat hubungan suami
istri ini sedang bermasalah. Persoalan mereka berawal dari lumpuhnya kedua kaki
kepala rumah tangga akibat Hernia Nukleus Pulposus (HNP). Tidak berfungsinya
anggota badan menjadi penyebab si istri pergi meninggalkan
rumah sehingga mengharuskan si suami mengurus kelima anak mereka.
Situasi ini membuat si suami bertekad untuk
dapat berjalan kembali. Keinginan untuk sembuh direalisasikan dengan menjalani
operasi tulang belakang. Pada masa pemulihan pascaoperasi, terjadi infeksi yang
akhirnya menjalar ke otak. Keadaan yang menyebabkannya menghembuskan nafas
terakhir. Kondisi ini membuat tim melakukan pendampingan intensif pada kelima
anaknya. Proses pendampingan meliputi pegurusan jenazah, pencarian ibunya dan juga kerabat, sampai
penyediaan tempat untuk bermalam; tempat tinggal sementara selama masa berkabung.
Pada hari kedua
setelah kematian ayah mereka, ibunya ditemukan di Jogja. Sesudah proses
negosiasi yang alot, akhirnya ibu mereka menyetujui permintaan tim dengan
bersedia kembali ke Surabaya untuk mengasuh kelima anaknya. Keadaan yang sangat
berbeda dengan hoax yang beredar.
Hoax tentang
anak-anak ini, menyebabkan pastor kepala paroki Kristus Raja, RP. Dodik Ristanto, CM., terdorong untuk
melakukan klarifikasi. Penjelasan secara tertulis mengenai kondisi yang
sebenarnya, berdasarkan kronologi pendampingan. Tulisan dibuat menurut peristiwa
yang sungguh-sungguh terjadi, berupa pengalaman tim pendamping selama bersama
dengan sumber berita. Surat klarifikasi ini kemudian disebarkan secara resmi di
media sosial.
Beredarnya surat klarifikasi menangkal hoax seputar
peristiwa itu. Penangkalan yang meredakan peredaran dan akhirnya berhenti
dengan sendiri. Berhentinya hoax
tersebut karena surat klarifikasi mempunyai kekuatan dari kebenaran informasi.
Apalagi, kebenaran tersebut mendapat dukungan dari instansi resmi.
Kebenaran informasi menjadi perhatian Paus; pemimpin umat katolik sedunia. Terlihat pada pesannya dalam rangka hari Komunikasi Sosial Sedunia ke 55, tahun ini. Pesan Paus, “Datang dan Lihatlah”, mengajak kepada seluruh pembuat berita untuk menyampaikan kabar kebenaran. Kebenaran diperoleh dengan cara mendatangi dan melihat langsung di tempat peristiwa sebagai riset dan observasi, serta mewawancarai sumber berita sebagai verifikasi.
Pada masa
pandemi, kaidah tersebut tetap wajib dilakukan dengan mematuhi protokol
kesehatan. Di samping itu, ia juga dapat dijalankan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi
akan memberi dampak positif—asal tidak membuat terlena, yang kemudian mengabaikan cara
untuk mendapat informasi yang benar.
Kebenaran
informasi layak menjadi prioritas. Hal ini berlaku tidak hanya bagi jurnalis. Pembuat berita di media
sosial, termasuk penyebar dan penerima, layak mengutamakan kebenaran sebagai
bentuk tanggung jawab moral. Semua yang terkait, perlu berubah, mengganti
kebiasaannya dengan menjalankan riset, observasi, dan verifikasi untuk menulis
ulang apa yang terjadi sesungguhnya.
Memperoleh
informasi peristiwa yang sesungguhnya terjadi memang perlu waktu. Kecepatan menyampaikan sebuah berita bukanlah yang
utama, meskipun menjadi tuntutan konsumen. Konsumen juga perlu mendapat edukasi
dalam hal ini.
Dampak negatif
dari hoax sudah banyak, bahkan ada yang menyangkut nyawa. Menghentikan hoax
dengan mengabarkan berita yang benar adalah tugas bersama; tugas yang mulia.[MFR]
Pandangan egoisme keagamaan yang mengabaikan kesehatan dan terkait langsung dengan kemudaratan, pada akhirnya akan berpotensi memberikan dampak buruk kepada umat manusia.
—– Bethriq Kindy Arrazy
Seandainya sejak awal negara India mampu menahan diri dari kegiatan yang bersifat massal di tengah upaya vaksinasi penduduknya, barangkali krisis gelombang kedua pandemi Covid-19 di negara tersebut tidak akan berakhir nahas seperti yang terjadi pada dua pekan terakhir ini.
Pemilihan umum, demonstrasi politik, dan kegiatan keagamaan Kumbh Mela diduga sebagai faktor terbesar lonjakan kasus Covid-19 di India. Kegiatan massal keagamaan yang menjadi sorotan adalah Kumbh Mela. Pemerintah India tidak mampu membendung dengan melahirkan kebijakan larangan untuk meniadakan sementara waktu kegiatan tersebut karena kuatnya tekanan agamawan setempat.
Lemahnya kepemimpinan tersebut menyebabkan Kumbh Mela tidak terbendung lagi untuk diselenggarakan. Kita bisa melihat euforia keagamaan berlangsung secara bebas; protokol kesehatan nampak tidak berlaku di sana. Warga India yang berjumlah ratusan ribu bahkan mencapai jutaan terlihat bersuka cita menjalani setiap prosesi Kumbh Mela.
Tentang Kumbh Mela
Kumbh Mela, sebagaimana dikisahkan dalam mitologi Hindu, mencitrakan Dewa Wisnu sebagai penjaga alam semesta yang melakukan pertempuran dengan setan-setan di atas kendi berisi amrit. Dalam pertarungan tersebut Dewa Wisnu keluar sebagai pemenang dengan membawa candi tersebut terbang bersama makluk besar menyerupai burung garuda. Saat terbang itulah, empat tetes nektar jatuh ke empat kota kuno yakni Prayagraj, Nashik, Haridwar, dan Ujjain.
Kumbh Mela pada bagian kata Mela dalam bahasa Hindi memiliki arti adil. Di keempat kota kuno itulah kemudian tradisi Kumbh Mela diadakan secara bergilir sebagai manifestasi keadilan dalam penyelenggaraan. Selama 12 tahun, Kumbh Mela diadakan sebanyak empat kali. Artinya, dalam penyelenggaraan dilakukan sebanyak 3 tahun sekali di masing-masing keempat kota tersebut.
Secara ritus keagamaan, Kumbh Mela sesungguhnya memerintahkan umat Hindu di India untuk membasuh beberapa bagian tubuh hingga mandi di perairan suci tempat Sungai Gangga, Yamuna, dan Saraswati bertemu. Ini yang diyakini oleh sebagian besar umat Hindu di India dapat mencapai moksha atau penyelamatan dari siklus hidup dan mati.
Dalam sepanjang waktu terselenggaranya Kumbh Mela, terdapat tiga atau empat hari yang dianggap spesial seperti membawa keberuntungan dan membebaskan dosa masa lalu. Hari-hari yang dianggap spesial ini memiliki kesamaan dengan malam Lailatul Qodar, dalam keyakinan agama Islam yang turun pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan pada tanggal-tanggal ganjil.
Pada 2019, Kumbh Mela turut dihadiri sebanyak 120 juta penduduk India. Ini yang menyebabkan tradisi Kumbh Mela termasuk salah satu tradisi ziarah terbesar di dunia. Berdasarkan keunikannya itulah, UNESCO pada 2017 memasukannya sebagai daftar Intangible Cultural Heritage of Humanity.
Jadi kemudian dapat dipahami betapa sakral dan pentingnya tradisi Kumbh Mela bagi warga India. Sekalipun sesungguhnya memaksakan kegiatan keagamaan yang bersifat massal di tengah kondisi pandemi Covid-19 juga tidak tepat untuk dilakukan, terlebih bila tanpa standar protokol kesehatan yang ketat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan gelombang penyebaran Covid-19 di India semakin meluas dan memakan korban
Konteks Indonesia
India dikenal sebagai negara dengan penduduk beragama Hindu terbesar di dunia. Sama seperti Indonesia yang dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Kedua negara memiliki kesamaan sebagai negara dengan penduduk yang taat dengan agamanya masing-masing. Termasuk sekaligus mempercayai bahwa ajaran agama bisa menjadi solusi atas permasalahan di dunia, salah satunya pandemi Covid-19.
Berkaca pada hal tersebut, dalam beberapa hari terakhir ini kita juga dikejutkan dengan peristiwa pengusiran seorang jamaah oleh pengurus Masjid Al-Amanah di Medan Satria, Kota Bekasi, pada Selasa lalu, 3 Mei. Hal ini disebabkan karena jamaah tersebut salat dengan menggunakan masker. Meski kemudian pengusiran berlangsung secara keras dengan dalih adab dalam salat, sekaligus pembeda antara di masjid dan di pasar.
Tak hanya itu, kita juga perlu mengingat bahwa sejak kasus Covid-19 masuk di Indonesia pada Maret 2020 —sebagian agamawan kita juga menyerukan agar lebih takut Tuhan daripada virus bernama Covid-19. Akibatnya, kasus Covid-19 klaster masjid bermunculan pada pertengahan 2020. Ketakutan sebagai bentuk manifestasi keimanan kepada Tuhan, rasanya tidaklah tepat bila disandingkan dengan keberadaan Covid-19.
Di sinilah kemudian sebaiknya nalar keagamaan juga perlu membaca realitas sosial dalam kacamata keduniawian secara progresif dan komprehensif. Bahwa yang tengah terjadi saat ini, dunia sedang tidak dalam kondisi baik yakni tengah terjadi pandemi Covid-19. Wabah ini menyebar secara sporadis di hampir seluruh sudut dunia. Ajaran agama, termasuk Islam harus memberikan kesadaran pentingnya menjaga jiwa dan raga umatnya.
Di tempat lain seperti di Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi, juga memberlakukan peraturan menggunakan masker saat salat berlangsung. Setahun lalu misalnya, banyak ulama ternama di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Palestina, Lebanon, Yordania, yang memberikan fatwa tentang kelonggaran Salat Jumat digantikan Salat Zuhur dan Salat Idulfitri digantikan salat di tempat masing-masing.
Progresifitas nalar keagamaan di negara-negara Timur Tengah tersebut, tentu dilakukan berdasarkan pertimbangan yang mendalam berdasarkan aspek agama yang berkelindan dengan aspek sosial. Pandangan egoisme keagamaan yang mengabaikan kesehatan dan terkait langsung dengan kemudaratan, pada akhirnya akan berpotensi memberikan dampak buruk kepada umat manusia.
Kita bisa ambil contoh, sebagaimana kasus Covid-19 klaster Tarawih yang terjadi di Dusun Yudomulyo, Desa Ringintelo, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi. Setidaknya sebanyak 53 orang dinyatakan positif Covid-19. Dari jumlah tersebut sebanyak tujuh orang dirawat secara intensif di rumah sakit, enam orang dinyatakan meninggal dunia —sedangkan sisanya sebagai orang tanpa gejala dianjurkan untuk isolasi mandiri dengan pengawasan yang ketat. Artinya, situasi gejolak pandemi yang terjadi saat ini, terutama dalam kegiatan keagamaan perlu untuk memperhatikan aspek kesehatan dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat.
Dalam kurang dari seminggu ke depan umat muslim akan menyambut Idulfitri umat muslim, hari raya Idulfitri merupakan momen kemenangan spiritual setelah sebulan penuh umat muslim melawan hawa nafsu di bulan Ramadan. Dalam kesempatan tersebut juga akan berpeluang terjadinya euforia keagamaan yang berpotensi menciptakan kerumunan massal atau transmisi lokal melalui aktivitas mudik ke kampung halaman.
Saya termasuk yang mendukung kebijakan pemerintah terkait larangan mudik yang di sepanjang tanggal 6 Mei hingga 17 Mei mendatang. Pasalnya, Presiden Jokowi menyebutkan berdasarkan pengalaman mudik Idulfitri pada Mei 2020, secara akumulasi terdapat peningkatan kasus Covid-19 sebesar 93 persen.
Angka tersebut tidaklah kecil mengingat kenaikan nyaris menyentuh 100 persen. Kenaikan kasus Covid-19 tersebut dapat diketahui pada dua pekan setelah puncak libur panjang hari raya Idulfitri. Terlebih saat ini Covid-19 mengalami beragam mutasi yang tengah terjadi di Inggris, India, Brazil, dan Afrika Selatan.
Rasanya dengan pengalaman Idulfitri tahun lalu dan tsunami Covid-19 yang menerjang India bisa menjadi pelajaran dan pertimbangan kita bagaimana memaknai euforia keagamaan dalam hal ini Idulfitri di Indonesia. Tidak mudik bukan berarti akan mereduksi makna hari kemenangan kita. Setidaknya spirit bulan Ramadan, ihwal menahan diri dan menahan hawa nafsu tetap bertahan hidup dalam diri kita masing-masing. Selain menjaga diri, kita juga wajib menjaga keluarga kita di kampung halaman. Pilihan kembali kepada Anda. Dan, pilihan terbaik adalah berdasarkan perenungan yang mendalam.[MFR]
Paralelisme merujuk pada penekanan akan pentingnya mengeksplorasi kemiripan-kemiripan doktrin dalam tradisi agama yang berbeda, daripada mencari potensi penyatuan antara doktrin-doktrin tersebut.
—-Ali Ilham Almujaddidy
Di Indonesia, jurusan Studi Agama-Agama (SAA) adalah salah satu jurusan yang fokus mempelajari agama di dunia akademik, baik di PTS maupun PTN. Terlepas dari “polemik” akan penamaan jurusan—baik teologi, studi agama-agama, atau perbandingan agama[1]—paradigma yang dipakai umumnya cenderung mengikuti paradigma agama-agama dunia, yang derivasinya diturunkan dari pendekatan agama Kristen terhadap agama-agama lain. Sebagaimana dibahas oleh Masuzawa (2005),[2] paradigma ini cukup bermasalah setidaknya karena tiga hal; pertama, bias Kristianitas dan kolonialisme; kedua, pembacaan biner dan asimetris antara Barat dan Timur (baik secara geografis, maupun relasi beradab-belum beradab, dan bahkan klasifikasi bahasa yang begitu rasis) dan; ketiga, pembagian antara agama yang berdasarkan wahyu (semitik-samawi) dan agama berdasarkan kebijaksanaan (nonsemitik-wisdom).
Di
antara paradigma yang sering dipakai sebagai pendekatan dalam melihat
agama-agama lain adalah teologi Tripolar, atau dikenal juga dengan istilah theologia
religionum yang dipopulerkan oleh Alan Race, seorang teolog Gereja Anglikan
dan Uskup Leicester di Inggris. Teologi ini menjadi the grammar of faith
atau standar umat Kristen dalam melihat agama-agama lain. Race membagi respon teologis
Kristen terhadap keragaman agama-agama ke dalam tiga tipologi, yakni; eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme.[3]
Tulisan ini ingin melihat bagaimana pendekatan teologi agama-agama tersebut,
meskipun cukup berguna, perlu untuk dipikirkan ulang, terutama jika melihat
konteks keragaman agama di Indonesia secara khusus, dan Asia Tenggara secara
umum. Tulisan ini akan melihat apa saja batas-batas kelemahan dari teologi
Tripolar ini dan kemudian mengajukan pendekatan Paralelisme sebagai alternatif
dan pelampauan terhadap teologi tripolar tersebut.
Teologi Agama-Agama Tripolar
Konsep
dasar dari teologi tripolar ini adalah doktrin keselamatan (salvation) atau
soteriologi. Adakah keselamatan bagi pemeluk agama non-Kristen? Eksklusivisme
memandang bahwa tidak ada keselamatan di luar agama Kristen, sebagaimana dogma extra
ecclesiam nulla sallus. Dalam bahasa yang sederhana, seseorang yang eksklusivis
meyakini bahwa “tidak ada kebenaran dan keselamatan di luar agama saya.”
Sementara itu, inklusivisme adalah paham yang memandang bahwa tidak ada
keselamatan di luar Kristus. Jadi, batas dari keselamatan tidak lagi eksklusif pada
agama Kristen atau Gereja saja, melainkan berfokus pada Kristus sebagai
penyalur keselamatan. Seseorang yang inklusivis akan meyakini bahwa “ada
kebenaran dan keselamatan di luar agama saya, tetapi berkat rahmat dari agama
saya.”
Berbeda dengan dua paradigma teologi sebelumnya, pluralisme berkembang cukup belakangan sebagai respons terhadap semakin terbukanya akses untuk berjumpa dengan keragaman yang lebih luas. Pluralisme adalah paham yang membatasi keselamatan pada Allah saja, atau Tuhan Sang Pencipta, atau “Yang Ultim,” “Yang Nyata” (the Real), Wujud an sich, suatu realitas yang melampaui konsep dan pemahaman manusia. Ia bersifat tak terbatas, yang dialami secara beragam oleh manusia di berbagai tempat, budaya, dan pengalaman keagamaan. Hal ini berarti bahwa setiap sistem keagamaan memiliki konsepsi yang berbeda akan realitas “Yang Ultim” tersebut, dan kesemuanya sama-sama valid. Maka, seorang pluralis akan meyakini bahwa “kebenaran dan keselamatan hanya ada pada Tuhan sang pencipta, terserah bagaimana anda menyebut namaNya.”[4]
Problem Teologi Agama-Agama
Semua paham atau pendekatan teologi ini, yang juga diadaptasi oleh sebagian sarjana Muslim dan sarjana studi agama-agama secara umum, masih memosisikan Tuhan sebagai batas dari keselamatan dan kebenaran (god-centered). Asumsi dasar ini akan mengeksklusi agama-agama nonteologis, seperti agama Buddha dan banyak ragam agama lokal. Faktanya, sebagaimana dibahas oleh Masuzawa dan W.C. Smith—untuk menyebut beberapa—yang terjadi selama ini dalam kesarjanaan studi agama-agama adalah adanya upaya penyeragaman konsep-konsep dan doktrin keagamaan ini. Selain itu, pendekatannya yang cenderung menekankan “doctrinal bridges” juga dapat berimplikasi berbeda pada tataran praksis. Misalnya, seseorang bisa sangat pluralis dalam pandangan, tetapi menjadi eksklusivis dalam tindakan.
Teologi
agama-agama secara implisit juga mengandaikan banyak jalan pada satu tujuan
yang sama sebagai “kebenaran final.” Hal ini tentu saja akan mengeksklusi beberapa
ajaran agama yang tidak meyakini atau memiliki konsep eskatologi, sehingga
pendekatan studi agama-agama seharusnya bisa melampaui pendekatan yang bersifat
teologis dan eskatologis. Selain itu, konsep “kebenaran final” juga akan problematis
ketika dihadapkan pada perbedaan tafsir dan klaim kebenaran dari dalam satu
tradisi agama tertentu. Artinya, dalam satu tradisi agama saja terdapat banyak ragam
kebenaran yang tidak bisa secara tegas diseragamkan.
Barangkali,
penekanan terhadap ragam pengalaman keagamaan (religious diversity)
lebih diutamakan daripada pendekatan yang berbasis teologi (theology of
religions). Untuk itu, penting kiranya mempertimbangkan pendekatan baru
dalam studi agama-agama sebagai alternatif pendekatan tanpa harus terjebak pada
diskursus teologi dan eskatologi. Dalam hal ini, tulisan ini akan melihat Paralelisme
sebagai pendekatan alternatif dalam melihat keragaman agama-agama.
Pendekatan Paralelisme
Paralelisme
adalah pendekatan yang berfokus pada pemahaman akan kemiripan (similarities)
konsep dan doktrin utama dalam tradisi agama-agama.[5]
Pendekatan ini tidak membatasi diskusi pada konsep ketuhanan atau jalan yang
bermuara pada satu tujuan yang sama sebagai “kebenaran final.” Selain itu,
paralelisme juga menghindari pemaksaan pandangan akan satu kebenaran tunggal baik
pada tradisi agama yang berbeda maupun pada satu tradisi agama yang sama.
Dengan kata lain, pendekatan ini tidak berusaha menyesuaikan semua konsep dan
doktrin agama-agama dalam satu pandangan dunia tertentu. Sebaliknya, seorang
paralelis menyerahkan perspektif agama seseorang sesuai dengan yang dihayati
oleh para pelakunya. Sehingga, hal ini menghindari potensi misinterpretasi akan
doktrin-doktrin agama lain.
Salah satu pionir dari pendekatan paralelisme adalah Imtiyaz Yusuf, yang meneliti dialog antara Islam dan Buddhisme di Asia Tenggara.[6] Ia menjelaskan bahwa, kata paralelisme merujuk pada penekanan akan pentingnya mengeksplorasi kemiripan-kemiripan doktrin dalam tradisi agama yang berbeda, daripada mencari potensi penyatuan antara doktrin-doktrin tersebut. Sebagai studi kasus, ia telah mengeksplorasi konsep-konsep yang paralel antara Islam dan Buddha. Misalnya, untuk menyebut beberapa, Buddha/Arahant – Nabi/Rasul, Bodhisattva – al-Insan al-Kamil, Tathagatagarbha – Nur Muhammadi, Dharma – al-Haqq, Nirvana – Wahyu, Sunyata – Fana, Metta-Karuna – Rahma, Majjhima Pattipada – Ummatan Wasathan, Dukkha/Samsara – Kufr/Shirk, Mara – Syaitan.
Dari
penelitiannya tersebut, Yusuf menyimpulkan bahwa selama ini Muslim berpikir kalau
Allah adalah persona (person) sebagai reaksi terhadap Kristen yang
mempersonifikasi Tuhan. Ini akibat dari perang antara kerajaan Kristen dengan
Islam yang berlangsung cukup lama dan meninggalkan banyak luka. Konsep Allah
yang person ini yang membuat Muslim cukup sulit untuk berdialog dengan agama
Budha yang tidak memiliki konsep Tuhan. Padahal, mereka merupakan populasi
mayoritas di Asia Tenggara dengan prosentase sebanyak 40/40 persen. Yusuf juga
mengungkapkan bahwa, Muslim bisa berhasil hidup berdampingan dengan Budha di
Jawa berkat similaritas antara Tauhid dan Sunyata, alih-alih jihad dan perang. Di
dalam Tauhid, Allah tidak memiliki bentuk, begitu juga dengan Sunyata. Jika
Budha meyakini bahwa ada sesuatu yang tidak terlahir dan abadi, yakni Dharma, hal
ini sepadan dengan keyakinan Muslim bahwa Allah juga tidak terlahir dan abadi.[7]
Seorang
paralelis lainnya, Alexander Berzin, yang oleh Yusuf disebut sebagai sarjana
yang meneliti relasi antara Budha dan Islam paling detail sejauh ini, menyebut
bahwa konsep adi buddha dalam masyarakat Buddhis di Indonesia—terlepas dari aspek
politis dan ideologis yang mendorong lahirnya konsep tersebut—adalah padanan
langsung dari konsep Tuhan yang diyakini oleh Muslim. Demikianlah, paralelisme
menekankan kemiripan, dan bukan kesamaan, antara konsep dan doktrin keagamaan
sebagai pendekatan dalam berdialog maupun membangun relasi antar umat beragama.
Pendekatan ini tentu saja, bagi penulis, lebih sesuai dengan fakta sosiologis
keragaman agama masyarakat Indonesia. Kecenderungannya dalam menghindari
diskusi tentang konsep ketuhanan tentu seharusnya membuat Muslim lebih terbuka
untuk berdialog dengan agama non-teologis atau agama-agama lokal di Indonesia
yang begitu beragam. Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperkenalkan
pendekatan ini sebagai salah satu bahan studi dalam jurusan Studi Agama-Agama.
Terlebih, belum banyak sarjana yang melakukan penelitian teoritis maupun
empiris dengan menggunakan pendekatan paralelisme ini.
Catatan
Penutup
Meskipun
Paralelisme cukup potensial untuk dijadikan pendekatan dalam melihat agama
lain, bukan berarti pendekatan ini tidak memiliki kelemahan. Salah satu
kelemahan yang mungkin penulis ajukan sebagai kritik awal adalah belum mampunya
para Paralelis melihat relasi kuasa, baik ekonomi-politik maupun wacana-ideologi,
yang sangat mungkin menjadi prakondisi dari kesadaran atau pembentukan
keagamaan seseorang atau masyarakat tertentu, seperti konsep adi buddha yang
dibahas oleh Alexander Berzin. Di sisi lain, penting juga untuk mempertimbangkan
kritik-kritik yang diajukan oleh para sarjana teologi pascakolonial mengenai
hilangnya “perbedaan” (difference) dan “hibriditas” (hybrid)
identitas seseorang, seperti fenomena Arabisasi Islam atau Baratisasi Kristen
yang dapat kita temui dalam kehidupan keseharian. Ini mengasumsikan bahwa seseorang
tidak bisa jadi Muslim dan menjadi Jawa sekaligus, misalnya. Dengan kata lain,
ada simplifikasi kompleksitas identitas manusia.
Di samping itu, perlu juga kiranya bagi kita untuk tidak terjebak pada politik identitas saja, atau membahas perbedaan pada aspek identitas saja, misal, antara Muslim-Kristen, Jawa-Sumatra, pribumi-nonpribumi dan seterusnya. Selain fokus ini berpotensi untuk meliyankan (othering) identitas seseorang, penting juga untuk tidak mengabaikan analisis ketimpangan kelas sosial yang pada saat yang sama turut membentuk perbedaan identitas tersebut. [MFR]
[1] Lihat misalnya, Suhadi, “Dari
Perbandingan Agama ke Studi Agama yang Terlibat,” dalam Studi Agama di
Indonesia; Refleksi dan Pengalaman, Yogyakarta: CRCS, 2016, 1-14. Atau, Wijsen,
F. J. S. “Theology as Religious Studies: A Plea for Methodological Conversion.”
Mugambi, JNK (ed.), Endless Quest. The Vocation of an African Christian
Theologian, 2014, 290-302.
[2]
Masuzawa, Tomoko. The Invention of World Religions: Or, How European
Universalism was Preserved in The Language of Pluralism. University of
Chicago Press, 2005.
[3] Lihat Race, Alan. Christians and
Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions.
London: SCM Press, 1983. Dalam diskursus teologi agama-agama belakangan, ada
beberapa alternatif pendekatan yang mencoba untuk keluar dari teologi tripolar
ini, misalnya mutualisme dan partikularisme. Paul Knitter, seorang teolog
Kristen kontemporer, juga telah meninggalkan teologi tripolar ini, dan memilih
untuk memakai konsep baru yang ia bagi menjadi empat model; replacement,
fullfilment, mutuality, dan acceptance. Lihat dalam bukunya;
Knitter, Paul F. Introducing Theologies of Religion. Orbis Books, 2014.
Lihat juga diskusi menarik tentang teologi tripolar ini oleh beberapa sarjana
Kristen dalam Theovlogy #156: Pluralisme, Inklusivisme, Eksklusivisme,
Relevankah?
[4] Konsep inklusivisme dan pluralisme
sendiri cukup beragam, meski titik berangkatnya juga dimulai dari teologi ini.
[5] Untuk pembahasan
paralelisme sebagai pendekatan secara khusus, baca: Obuse, Kieko. “Finding
God in Buddhism: A New Trend in Contemporary Buddhist Approaches to
Islam.” Numen 62.4 (2015): 408-430; dan Obuse, Kieko. “Theology of
Religions in the Context of Buddhist-Muslims Relations,” dalam Yusuf. Imtiyaz
(ed.), Asean Religious Pluralism: The Challenges of Building Socio-Cultural
Community. Konrad-Adenaur-Stiftung-Thailand Office, 72-85.
[6] Penulis sempat berdiskusi
dan membahas konsep paralelisme bersama Imtiyaz Yusuf selama mengikuti kuliah Advanced
Study of Buddhism di CRCS, 2017 lalu. Untuk melihat salah satu tulisan beliau
yang membahas paralelisme Islam dan Budha, baca di Yusuf, Imtiyaz. “Islam
and Buddhism,” dalam Cornille, C. (ed). The Wiley-Blackwell Companion
to Inter-Religious Dialogue, 2013, 360-375.