Bagus Mana, Khatam atau Paham Al-Qur’an

Baca Al-Qur’an itu tak cukup cepat khatam, tetapi juga perlu paham kandungannya.

—- Emy Putri Alfiyah

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diberikan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat dan tanda kenabian. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 membaca Al-Qur’an itu tak hanya cepat khatam, akan tetapi juga paham , 2 bulan dan 22 hari sejak tanggal 17 Ramadhan lewat wahyu dengan perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an merupakan Kitab Hidayah bagi manusia, artinya Al-Qur’an adalah sumber paling utama sebagai petunjuk yang menjawab segala persoalan hidup manusia. Al-Qur’an bisa membawa manusia sukses dunia dan akhirat jika ia dipelajari dengan benar dan sungguh-sungguh, karena Al-Qur’an merupakan kitab penyempurna dari kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karen itu, Al-Qur’an merupakan rahmat terbesar dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia.

Selain sebagai Kitab Hidayah, Al-Qur’an mempunyai peran ganda sebagai Kitab Ibadah. Setiap muslim yang membaca Al-Qur’an, baik satu ayat, satu surah, satu juz maupun sampai 30 juz bahkan sesering mungkin membacanya,maka merupakan nilai ibadah dan mendapat pahala berlimpah. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitab Allah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan, dan kebaikan satu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya.” (HR. At-Tirmidzi)

Penulisan Al-Qur’an

Al-Qur’an sebelum dituliskan dalam lembaran kertas senantiasa dilantunkan oleh para penghafal.Kemudian, Nabi Muhammad SAW memerintahkan sahabatnya, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Ka’ab untuk menuliskan di media seperti pelepah kurma, kulit hewan, potongan tulang belulang maupun di lempengan batu.

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq terjadi peperangan yang menyebabkan banyak dari para penghafal Al-Qur’an meninggal dunia. Dikhawatirkan Al-Qur’an juga akan hilang karena pada saat itu media penulisan Al-Qur’an juga masih sangat minim. Kemudian, mulailah dilakukan pembukuan Al-Qur’an dari para pengahafal yang masih hidup.

Sampai pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, Al-Qur’an berhasil disatukan kembali. Karena pada saat itu terdapat perbedaan dialek bahasa Arab yang ditakutkan nantinya akan menimbulkan fitnah dan perselisihan antar umat Islam. Akhirnya Utsman bin Affan mengambil sikap untuk menyatukan Al-Qur’an yang  dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.

Memahami Substansi Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an terkandung begitu banyak ajaran-ajaran Islam, kisah orang-orang terdahulu, kisah para Nabi, para sahabat, hingga kisah orang-orang yang Allah azab. Setiap surat hingga ayat dalam Al-Qur’an mengandung makna yang bisa diambil pelajaran bagi orang-orangyang berakal, yaitu bagi manusia yang mau berpikir bahwa Al-Qur’an itu merupakan sebagai pedoman sekaligus petunjuk bagi manusia.

Makna yang terkandung di setiap ayat Al-Qur’an mempunyai banyak pesan moral untuk diambil pelajaran. Jalan yang diperoleh untuk memahami Al-Qur’an yaitu dengan membacanya. Perintah Allah SWT pada Nabi Muhammad SAW saat menurunkan wahyu pertamanya QS. Al-Alaq yang berjumlah lima ayat. Ayat pertama berbunyi Iqra’, yang artinya bacalah!. Kata Iqra’ dalam surat tersebut diulang hingga tiga kali, artinya jika seseorang membaca Al-Qur’an maka perlu diulang agar benar-benar memahami.

Seperti yang sudah diketahui, membaca Al-Qur’an merupakan salah satu kegiatan ibadah dalam agama Islam.Membaca Al Qur’an dalam bahasa Jawa biasa dikenal dengan nderes atau darus yang berasal dari bahasa Arab tadarus yang berarti membaca, merenungkan, menelaah dan memahami. Jadi, membaca Al-Qur’an itu harus diiringi dengan merenungkan, menelaah dan memahami isi sekaligus maknanya.

Memahami Al-Qur’an yang disertai menelaah arti, asbabun nuzul hingga makna tersirat dari yang tersurat dalam setiap ayat itu tak kalah pentingnya jika hanya sekedar dibaca. Seperti yang diungkapkan pemuka agama sekaligus mantan Menteri Agama, Quraish Shihab, “Mengkhatamkan Al Qur’an itu bagus, akan tetapi memahami maknanya itu lebih bagus.”, ujar Quraish Shihab dalam acara Shihab & Shihab di Narasi TV dengan presenter Najwa Shihab. Kemudian tambahnya, “Bahwa khatam Al-Quran itu bagus, akan tetapi akan lebih bagus jika membaca sedikit tapi paham.” Paham yang dimaksud adalah dengan membaca berulang-ulang hingga memahami makna tersirat maupun tersurat dari kitab suci Al-Qur’an.

Membiasakan membaca Al-Qur’an agar lancar memang bagus dan itu memang harus dilatih lewat tadarus. Di sisi lain, ada pesan moral dalam Al-Qur’an yang perlu dipelajari agar pengetahuan yang didapat bukan hanya dari sekedar membaca akan tetapi juga memahami isi dan maknanya. Karena Al-Qur’an adalah sumber hukum utama umat Islam, maka sudah semestinya mempelajari Al-Qur’an sudah ditanamkan pada diri seorang muslim.Senantiasa dilantunkan dengan baik,  dibaca dan dipelajari untuk membuka cakrawala keilmuan dalam berkehidupan maupun beribadah.

Kalau tidak memahami isi atau substansinya bagaimana melaksanakan kehidupan yang mencerminkan sebagai umat Islam itu sendiri, jikalau isi dari pedomannya itu belum dipahami. Maka membaca Al-Qur’an itu tak hanya cepat khatam, akan tetapi juga paham. [MFR]

Dr. Irmawan Jauhari [Alumni-SAA2008]: Sosok Akademisi-cum-Novelis

Dr. Moh. Irmawan Jauhari adalah alumni Jurusan Ushuluddin Prodi Perbandingan Agama (sekarang SAA) IAIN Kediri yang wisuda pada tahun 2008. Paska lulus, ia banting stir (tidak linier) melanjutkan studi S2 pada bidang Manajemen Pendidikan Islam di IAIN Tulungagung dan diwisuda pada tahun 2011. Dr. Irmawan gemar ngalap berkah pada beberapa tokoh yang tersebar di beberapa daerah, ziarah, serta kontemplasi pada tempat-tempat yang memiliki basis sejarah dan mitos yang kuat.

Ia juga aktif dalam pemberdayaan pemuda dan masyarakat. Selama menjadi mahasiswa di IAIN Kediri dan IAIN Tulungagung, ia terlibat dalam kegiatan pemberdayaan pemuda desa di tempat kelahiran-nya dalam wadah karang taruna. Kisruh politik desa mengakibatkan segala bangunan dan organisasi yang pernah dibangunnya runtuh. Tapi kondisi ini tidak menghalangi dirinya untuk terus berkiprah di dunia akademik maupun sosial kemasyarakatan.

Pada tahun 2014, ia mengabdi sebagai dosen tetap pada STAI-Ma’arif, Kendal Ngawi. Ia melakukan pendampingan pada mahasiswa dalam bentuk penguatan literasi dan diskusi serta pemberdayaan masyarakat dalam bentuk KKN Tematik yang berkelanjutan pada tahun 2016.

Pada tahun 2016, ia berhasil memeroleh beasiswa doktoral dari Kementerian Agama dengan konsentrasi PAI Multikultural di UNISMA Malang. Ia meraih gelar doktoral pada akhir tahun 2019 dan diwisuda dengan predikat cumlaude pada bulan Februari 2020.

Pada tahun 2016, Dr. Irmawan membangun jejaring mahasiswa Sastra Jawa Timur untuk diarahkan menjadi buku, akan tetapi ide ini hanya sampai pada diskusi naskah. Ia juga tergabung dalam FKDP Kopertais 4 yang merupakan wadah dosen PTKIS yang fokus pada penelitian dan pemberdayaan. Pada beberapa kesempatan, ia menjadi fasilitator di sejumlah forum. Disela fokus pada studinya, ia kerap mengajak mahasiswa melakukan perjalanan ke beberapa tempat untuk berbagai kepentingan, antara lain penelitian sejarah yang akan digunakan untuk menulis buku.

Setelah menikah pada tahun 2018, ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sambil menyelesaikan disertasi dan menyusun naskah. Beberapa karya yang terbit antara lain: Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Barat (kontributor dan editor naskah, Mitra Karya, 2018); Pancasila, TransNasionalisme dan Kedaulatan Negara (kontributor naskah, LKiS, 2018); Tanah Pejuang (Novel, DivaPress, tunggu cetak); Pada Sebuah Episode (Novel, Mitra Karya, 2019); Perjalanan Musafir (Graha Ilmu, 2019); dan beberapa artikel dan opini yang bisa dilacak dalam pencarian daring.

Dr. Irmawan saat ini tengah menuntaskan beberapa naskah fiksi, melakukan kegiatan literasi pada mahasiswa yang diorientasikan menjadi sebuah buku, dan sesekali menjadi pengajar pada beberapa PTKIS. Untuk koresponden, ia bisa dihubungi melalui email: irmawanj@gmail.com. (MFR)

Profil Alumni: Berproses di SAA adalah Pilihan Sadarku

Nurul Qolbi Kurniawati (alumni 2018 dan saat ini Mahasiswa S2 Studi Agama Konsentrasi Resolusi Konflik di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Ditempa empat tahun di prodi Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Kediri mengantarkan saya pada pemahaman bahwa hal terpenting dalam semangat manusia beragama yaitu sikap humanis, cara pikir inklusif, dan tidak konservatif. Proses ini juga membawaku untuk melanjutkan studi di program Magister Studi Agama Konsentrasi Resolusi Konflik, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Berproses di bidang Studi Agama (Religious Studies) merupakan pilihan sadar dalam hidupku. Selama proses itu, aku menemukan banyak privilege yang tidak semua bidang keilmuan lain miliki. Bagaimana tidak, dalam setiap proses studi selalu dihadapkan dengan berbagai macam fenomena sosial agama di masyarakat. Setiap fenomena bisa didekati dan digali pengetahuan yang ada di dalamnya dengan menggunakan berbagai perspektif keilmuan yang kompleks. Maka hemat saya, berproses dalam studi agama-agama menjadikan tiap-tiap individu sebagai makhluk sosial akan memiliki keilmuan yang komprehensif untuk diaplikasikan dalam hidup bersosial agama masyarakat.

Ditempa empat tahun di prodi Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Kediri mengantarkan saya pada pemahaman bahwa hal terpenting dalam semangat manusia beragama yaitu sikap humanis, cara pikir inklusif, dan tidak konservatif. Proses ini juga membawaku untuk melanjutkan studi di program Magister Studi Agama Konsentrasi Resolusi Konflik, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Berawal dari kegelisahan terhadap kondisi umat beragama Indonesia yang semakin menunjukkan indikasi pola keberagamaan yang eksklusif dan tidak terbuka atas keberagaman, aku begitu meyakini bahwa sangat dibutuhkan kehadiran generasi mahasiswa studi agama di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di prodi SAA, baik itu dalam bentuk kelas formal maupun kegiatan-kegiatan di luar kampus, memungkinkan terciptanya pertemuan-pertemuan dengan mereka yang lintas iman. Mahasiswa bukan hanya dibekali pemahaman tapi, terpenting juga, pengalaman lintas iman.

Di tengah maraknya intoleransi dan sikap ekstrimis dalam beragama, mahasiswa studi agama-agama mampu mengedepankan inklusifitas dan keberagaman yang ada. Inklusifitas beragama tidak dipahami sebagai sebuah pemahaman bahwa semua agama itu sama, namun sebagai konsep keberagaman yang terbuka dan menerima fakta sosial bahwa ada banyak manusia dengan pilihan agama yang berbeda. Pemahaman inklusif dalam semangat beragama harus dimiliki tiap-tiap manusia beragama, khususnya di negara kita yang notabene sebagai negara yang majemuk dalam agama dan budaya. Inklusifitas dalam semangat beragama bagiku juga menjadi problem-solving atas pola beragama yang eksklusif dan ekstrimis yang berpotensi ke arah terorisme.

Aku begitu optimis terhadap masa depan Studi Agama-Agama (SAA) dalam menjawab segala tantangan dalam kemajemukan beragama dan berbudaya di Indonesia.

#AkuBanggaSAA

Profil Alumni#Muhammad Fatkhulloh (SAA-1990): Menembus Batas Disiplin Keilmuan

Perdebatan mengenai linieritas keilmuan masih menjadi perdebatan akademik yang tidak kunjung usai dalam sistem pendidikan kita.  Persoalan linearitas keilmuan ini kerap disalahartikan pada kesamaan rumpun keilmuan yang ditempuh seseorang di jenjang S1 dan S2. Padahal, maksud linearitas di sini mengacu pada kompetensi seseorang dalam bidang keilmuan tertentu dan itu tidak dibatasi pada kesamaan jenjang pendidikan S1 dan S2. Pemahaman linearitas model kedua ini rupa-rupanya lebih kuat mengemuka di era disrupsi ini mengingat perubahan zaman mengharuskan seseorang tidak terjebak pada satu disiplin keilmuan tertentu.

Nah, berbicara soal linearitas ini, kita bisa belajar dari sosok Muhammad Fatkhulloh, yang merupakan alumni Perbandingan Agama (sekarang SAA) tahun 1990-an. Bagaimana tidak, meskipun beliau S1-nya Perbandingan Agama, beliau mampu mengintegrasikan disiplin ini dengan rumpun keilmuan yang lain. Tokoh intelektual-cum-ulama ini lahir di Jombang pada tanggal 28 Mei 1965. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Perbandingan Agama IAIN Kediri, beliau melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dalam bidang Manajemen Pendidikan dan Pengembangan Kurikulum.

Lahir dan besar di keluarga santri, Fatkhul muda menempa diri di sejumlah pesantren, seperti Pesantren Al Islah Bandar Kidul Kediri, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren al Anwar Sarang Rembang. Selama menjadi mahasiswa, beliau juga aktif dalam organisasi ekstra kampus dengan menjadi ketua Ketua PMII Komisariat IAIN Kediri, sebuah organisasi kemahasiswaan yang merupakan underbow Nahdlatul Ulama.  Tampaknya, beliau sudah ditakdirkan untuk mengabdikan diri pada organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia ini. Buktinya, beliau secara berturut-turut pernah menjabat sebagai Ketua Umum IPNU Kabupaten Jombang; Ketua ll PMII Cabang Kediri; Sekretaris Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ulum Tambakberas; Sekretaris umum yayasan pendidikan tinggi Bahrul ulum; dan Rois Syuriah PBNU Tambakrejo Jombang.  Di bidang akademik, kiprah beliau juga tidak kalah mentereng. Kiprahnya sebagai akademi menghantarkan beliau sebagai ketua Sekolah Tinggi Bahrul Ulum Tambakberas Jombang yang sejak awal berdirinya hingga tahun 1992 STAI Bahrul Ulum berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Aktivitas beliau juga tidak terbatas di lingkup nasional, tapi juga merambah negara lain seperti Saudi Arabia, Mesir, Thailand, dan Malaysia.

Melihat latarbelakang beliau, tidak heran jika Muhammad Fatkhulloh adalah potret bagaimana seorang santri mampu menembus batas disiplin keilmuan yang digelutinya di Jurusan Perbandingan Agama IAIN Kediri. Beliau juga membuktikan bahwa alumni PA (SAA) bisa berkiprah di bidang keilmuan yang berbeda. Proficiat, Pak Yai!

Pudarnya Mitos Alumni SAA Tidak Bisa Jadi Guru PNS

Seperti biasa, rekruitmen CPNS yang digelas oleh pemerintan tahun ini menarik animo masyarakat, khususnya lulusan Perguruan Tinggi, untuk berebut tempat dalam formasi yang disediakan. Anggapan bahwa bekerja di sektor formal seperti PNS bisa memberi kepastian dan perbaikan nasib dan bisa mengatrol ‘status sosial’ tampaknya masih kuat mengakar di benak masyarakat Indonesia. Tidak heran, lowongan CPNS selalu dinanti dan diburu.

Pertanyaan klasik yang selalu mengemuka ketika calon mahasiswa mau menentukan pilihan prodi adalah ‘setelah lulus bisa jadi PNS, gak?” Prodi yang dianggap punya peluang besar bisa mengantarkan lulusannya sebagai PNS biasanya lebih diminati. Ambil contoh saja fakultas kependidikan atau keguruan (Tarbiyah). Peminat fakultas ini selalu membludak karena anggapan almuninya bisa jadi guru, khususnya PNS. Formasi guru dalam setiap rekruitmen CPNS bisa dipastikan selalu tersedia dan mensyaratkan lulusan pendidikan tertentu. Walhasil, fenomena ini linear dengan menjamurnya alumni pendidikan di tengah masyarakat sementara formasi guru yang tersedia melalui rekruitmen CPNS tetap saja sangat terbatas.

Kebijakan terbaru tentang rekruitmen CPNS formasi guru tampaknya juga mengharuskan alumni pendidikan berkompetisi dengan alumni non-pendidikan. Melalui Putusan MK  NOMOR 95/PUU-X/2012 dijelaskan bahwa profesi guru tidak hanya dikhususkan kepada mereka tamatan LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan). Dengan demikian, profesi guru juga terbuka bagi tamatan non-kependidikan. Putusan ini juga dianggap strategis karena profesi guru tidak melulu soal kemampuan mengajar tapi juga penguasaan materi terhadap subjek tertentu yang tentu saja sangat terkait prodi non-kependidikan.

Dari pantauan sekilas terhadap formasi CPNS 2019 yang beredar, formasi guru juga terbuka bagi alumni non-kependidikan, termasuk alumni Prodi Studi Agama-Agama (SAA), yang dulunya bernama Perbandingan Agama. Contohnya, Edaran No. 7986/SJ/B.II.2/KP.00.2/11/2019 tentang Pelaksanaan Seleksi CPNS Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun Anggaran 2019 kualifikasi pendidikan S1 Perbandingan Agama bisa mendaftar formasi Guru Agama Islam dan Guru Akidah Akhlak, selain juga formasi Penyuluh Agama.

Tentu saja ini kabar gembira bagi para alumni perbandingan agama atau SAA karena semakin terbukanya karir untuk berkiprah di sektor formal (CPNS). Di sisi lain, perkembangan ini juga menjadi tantangan bagi pengelola Prodi SAA dan Fakultas Ushuluddin untuk menyiapkan alumni yang benar-benar kompeten dalam bidang yang digeluti, termasuk juga kompetensi sebagai seorang pendidik (guru). Beberapa cara yang bisa ditempuh di antaranya adalah menawarkan opsi kepada mahasiswa untuk melakukan praktikum lapangan di institusi-institusi pendidikan.  Selain itu, perlu juga dijalin kerjasama dengan LPTK semisal Tarbiyah untuk memfasilitasi mahasiswa yang memiliki minat kompetensi sebagai guru atau pendidik. Bentuk kegiatan yang bisa ditempuh, misalnya, pelatihan kependidikan dengan melibatkan sumber daya dari fakultas Tarbiyah atau mengundang mahasiswa Tarbiyah untuk melaksanakan Praktik Lapangan di Fakultas Ushuluddin, begitu pula sebaliknya. Wallahu’alam.

Link CPNS 2019 bisa diakses di:
https://sscn.bkn.go.id/

Profil Alumni#Drs. Moh. Ali Maksum (PA-1988): Dari Memimpin Mahasiswa hingga Menakhkodai Desa

Drs. Moh. Ali Maksum pernah mengenyam pendidikan di Jurusan Perbandingan Agama (SAA), IAIN Kediri tahun 1984-1988. Beliau lahir di Nganjuk pada tanggal 15 Mei 1964 dan selama kuliah aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Sebelum kuliah di Jurusan Perbandingan Agama, beliau menempuh pendidikan di MI Bogor Kulon (1973-1979); MTSN Bagor (1979-1981); dan MAN 2 Nganjuk 1981-1984. Karakter kepemimpinan beliau menghantarkannya dipercaya sebagai Ketua MUKOSMA (Musyawarah Komisaris Mahasiswa), sebuah amanah yang tidak bisa dianggap remeh karena komando mahasiswa berada di tangan beliau.

Pengalaman kepemimpinan beliau selama di IAIN Kediri ternyata membentuk kiprah beliau di masyarakat paska memeroleh gelar sarjana. Selain terjun di dunia pendidikan dengan menjadi guru GTT MAN 2 Nganjuk 1989-1993, beliau juga aktif dalam pemberdayaan masyarakat dengan menjadi Pendamping Inpres Daerah Tertinggal di desa Betet Kepuh
Baru Bojonegoro th 1994-1999; Pendamping Fasilitator di Kec. Sekaran Lamongan tahun 2000-2003; Pendamping Fasilitator Kec. Montong Tuban Tahun 2004-2008.

Kiprah beliau di masyarakat semakin diakui dengan terpilihnya beliau sebagai Kepala Desa Ngumpul untuk dua periode berturut-turut Tahun 2013-2019 dan Tahun 2019-2025. Tentu saja, ini merupakan pencapaian yang luar biasa dan membanggakan buat almamater. Beliau membuktikan bahwa alumi PA (sekarang Prodi SAA) bisa mengambil peran dan kiprah di luar sekat disiplin keilmuan mereka. Sukses dan semoga terpilih lagi sebagai Kades untuk periode berikutnya, Bapak! (MFR)

Profil Alumni: ‘Aziez’ Oetsman (PA-1988)- Kuliah dan Filosofi ‘Memetik Buah’

Sejak kecil, saya sudah akrab dengan pendidikan agama.   Saya pernah belajar di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah ( 1969 – 1975 ) dan Tsanawiyah ( 1976 – 1978 ) Roudlotul Muslimin Sonoageng dan Madrasah Aliyah Almanar ( 1979 – 1981 ). Saya juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Isyhar ( 1979 – 1983 ) Tanjungtani Prambon Nganjuk.  Dahaga akan ilmu pengetahuan menghantarkan saya kuliah di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama (sekarang Prodi Studi Agama-Agama), di IAIN “Sunan Ampel” Kota Kediri ( 1984 – 1988 ).

Pilihan Jurusan Perbandingan Agama (kini SAA) didasari atas dua pertimbangan: melanjutkan belajar Ilmu Tauhid yang  sudah diajarkan sejak di Madrasah Ibtidaiyah hingga tingkat Aliyah; dan kedua adalah untuk memahami kesinambungan ajaran Tauhid dari Para Nabi dan Rasul.  Di Perbandingan Agama, saya belajar dinamika ketauhidan dan aliran-aliran yang mungkin tidak lagi sama dengan ajaran asal. Belajar agama lain membuat saya semakin yakin kebenaran tauhid yang menjadi pilihan dan pedoman sikap diri sebagai seorang hamba.

Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah yang dahulu menjadi primadona dan pilihan favorit bagi calon mahasiswa karena dianggap menjanjikan kemudahan pekerjaan para alumninya tidak mampu mengoyahkan tekad untuk memilih Fakultas Ushuluddin.  Saya selalu yakin dengan ungkapan bahwa “barangsiapa memenuhi perintah mencari ilmu, derajatnya akan diangkat di Kehidupan Duniawi dan Ukhrawi sebagaimana Janji Sang Pencipta menata kemakmuran hambanya yang bertaqwa.” Bagi saya, menuntut ilmu itu ibarat memenuhi panggilan untuk memetik buah; saya selalu yakin bahwa pilihan kuliah di Perbandingan Agama adalah ikhtiar untuk memetik buah yang sudah dijanjikan oleh Sang Pencipta. Pendidikan adalah bagian dari amal yang harus didasari pada lillahita’ala dan keyakinan bahwa kita akan diberikan yang terbaik dalam meniti suatu karier dalam kehidupan.

Pasca Wisuda Angkatan Perdana Sistem Kredit Semester ( SKS ) tahun 1989 – 1992, saya bergabung  dengan Lembaga Swadaya Masyarakat al-Ghien Ponorogo dan LP3ES Klaten bekerja sama dengan masyarakat terluar Pacitan yang berbatasan dengan Wonogiri. Di lembaga ini saya mendampingi Pengembangan Ekonomi Berbasis Sumber Daya Alam Lokal. Ghiroh keagamaan yang  ditanamkan sejak usia dini memengaruhi motivasi pilihan mengabdi di Kementerian Agama Republik Indonesia sejak tahun 1993; saat itu saya ditugaskan pada Seksi Urusan Agama Islam 2014 – 2015 pada Seksi Pendidikan Agama Islam dan mutasi tugas tahun 2016 – 2017 pada Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, kemudian tahun 2018 – 2019 pada Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Di luar tanggungjawab di Depag, saya juga diserahi amanat sebagai Anggota Tim Pembina Keluarga Sadar Hukum Kota Kediri Tahun 2000 – 2017 dan Pengurus MUI Kota Kediri, Komisi Fatwa 2015 – 2020.

Keyakinan saya benar, sebagai alumni Ushuluddin IAIN Kediri ternyata saya juga bisa berkiprah sama sebagaimana alumni fakultas lain. Hingga sekarang saya tetap merasa bahwa Fakultas Ushuluddin merupakan pilihan tepat bagi mahasiswa dengan visi Sakinah, Duniawi dan Ukhrawi.

Bravo SAA dan Ushuluddin!

Aziez ‘Oetsman

Angkatan 1984 Wisuda Perdana Perubahan Sistem SKS awal 1989.

Nganjuk 07 – 03 – 1963 Waung Sonoageng Prambon Nganjuk d/a Sekarang: BTN Wilis Indah II Blok H No. 61 Pojok Mojoroto Kota Kediri

Profil Alumni: Medan Amrullah: “Mengapa Saya Pilih SAA” (Alumni SAA Kediri-2017; Mahasiswa S2 SAA UIN Jakarta)

Saya mempunyai minset yang selalu saya refleksikan ketika saya akan memulai sebuah perjalanan, yaitu “Yang menentukan kesuksesan adalah kualitas diri”. Karena bagi saya kualitas diri memiliki peranan yang sangat krusial untuk mewujudkan harapan.

Saya memilih Studi Agama-Agama (SAA) bukan karena paksaan ataupun ketidaktahuan yang ada pada diri saya, namun karena keinginan yang muncul pada diri saya untuk memperluas cakrawala karena saya sadar bahwa kebenaran tunggal bukanlah solusi yang paling efektif untuk memecahkan segala bentuk problematika dan juga terlalu absurd jika dijadikan solusi pokok, karena realitas itu infleksibel.

Sejak keluar dari pesantren, saya sudah sangat tertarik untuk mempelajari dan mendalami budaya, agama, isme-isme dan tradisi orang lain yang berbeda dari saya, karena saya pikir hal itu sangatlah penting sebagai sebuah sudut pandang bagi pluralitas yang ada di Indonesia. Hingga akhirnya Studi Agama-Agama (SAA) menjadi pilihan saya.

Bagi saya Studi Agama-Agama (SAA) bukanlah sebuah jalan menuju karir profesional, setidaknya saya telah lulus seleksi alam sebagai manusia yang tercerahkan. Ini adalah periode pertumbuhan ruhani yang sangat istimewa. Saya bisa mengembangkan pemahaman kontekstual pada diri saya tanpa hanya terpusat pada satu poros, meski terlalu rumit jika dijelaskan kepada orang lain lebih-lebih kaum agamawan yang konservatif.

Bagi saya biar saja orang memandang sebelah mata, justru saya bangga pada diri saya bisa mengimplementasikan cara pikir yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dalam Studi Agama-Agama saya tidak dituntut untuk merasa benar sendiri dan menang sendiri, karena hal itu tidak akan merubah keimanan dan keyakinan seseorang apapun itu agamanya. Studi Agama-Agama mengajarkan saya bahwa agama pertama yang harus dianut oleh manusia adalah agama kemanusiaan, bukan agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dll. Maka setiap individu wajib mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, seperti saling menghargai (toleransi), saling tolong-menolong, bersikap dinamis dan berempati dalam perbedaan. Karena hal itu merupakan keniscayaan bagi kita dan negara Indonesia, dan final dari semua agama adalah mewariskan kedamaian dalam kemajemukan, bukan kebencian dan kekerasan.

Bagi saya hidup ini kompleks bukan hanya satu warna, maka jangan hanya berpangkal pada satu iman. Belajarlah mengenal iman orang lain agar kamu tahu indahnya perbedaan. Alhamdulillah, gairah terhadap Studi Agama-Agama, membawa saya ke jenjang studi lanjut di Program Magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.