
Jangan dikira sinema Korea hanya sinetron seri melodrama. Minimal dalam empat tahun terakhir, selalu ada film Korea memperebutkan Palm d’Or, penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes. Puncaknya, film “Parasite” karya Bong Joon-ho menjadi film terbaik festival film bergengsi ini (Kompas, 28 Mei 2019). Tahun sebelumnya, sutradara Korea lainnya Lee Chang-dong, lewat film “Burning” mendapat penghargaan FIPRESCI sebagai kritik film terbaik, bahkan terbaik sepanjang sejarah Festival Film Cannes, selain masuk nominasi film berbahasa asing terbaik di Academy Award. Film yang dibahas kali ini adalah film “Burning”.
Setelah Jepang, perfilman Korea telah sangat maju dan cepat berkembang. Seperti juga di bidang ekonomi. Perlahan tapi pasti, Korea telah menjadi macan Asia di kancah dunia. Namun, setiap kemajuan ekonomi tanpa disertai usaha pemerataan dan keadilan akan menciptakan gap dan berpotensi merenggangkan kohesi masyarakat serta perasaan alienasi manusia-manusia yang berdiam di dalamnya.
Film “Burning” adalah upaya sutradara Chang-dong mengeksplorasi cerita pendek sastrawan Jepang nominee Nobel, Haruki Murakami, “Barn Burning” ke dalam film layar lebar. Sebuah cerita tentang individu-individu, hubungan antarmanusia, persahabatan, cinta, dan hubungan keluarga dalam bingkai dekonstruksi sosial dari fenomena ekonomi Japan.Inc yang mengeksplorasi sistem ekonomi dengan kebebasan penuh kepada setiap orang untuk berproduksi dan mendapatkan keuntungan.
Korea adalah Jepang saat ini di bidang ekonomi pembangunan. Jika tahun 70-an mobil merek Toyota, Honda merajai jalan-jalan di seluruh dunia, khususnya di negara-negara dunia ketiga, sekarang ini produk asal Korea, antara lain handphone Samsung telah akrab di genggaman tangan orang seluruh dunia. Selain karena kedekatan budaya Korea dan Jepang, sepertinya tidak ada kesulitan bagi sutradara memindahkan setting cerita Jepang Murakami ke dalam suasana masyarakat Korea.
Tokoh utama dalam film ini adalah Jong-su, pemuda baru selesai kuliah. Dia mewakili pekerja serabutan yang mengalami keresahan seperti dalam suara menyayat Iwan Fals dalam lagu “Sarjana Muda”. Dia bertemu dengan gadis Hae-mi, pekerja rendahan, teman sekampung di Paju, sebuah desa di perbatasan dengan Korea Utara.
Dalam fotografi, dikenal rumus jitu mengambil obyek foto, yaitu 1/3 emas, di mana obyek ditempatkan pada 1/3 frame. Film ini dibuka dengan gambar 3/4 layar diblok warna kuning. Sepertiganya warna remang, cenderung gelap dan (hanya) jari-jari dengan sebatang rokok yang mengepulkan asap. Sebuah pembukaan yang menjanjikan, seolah mengingatkan penonton akan kandungan misteri di cerita selanjutnya sampai selesai.
Itulah tangan tokoh protagonis, Jong-su yang sesaat kemudian muncul dengan wajah utuh, mematikan rokok, mengangkat kardus. Kamera kemudian mengikuti terus dari belakang dia mengantar ke tujuan. Pengambilan gambar dari belakang seolah pesan dari sutradara pada semua penonton akan kandungan misteri film ini dan perlu diikuti, dicermati. Kamera berganti kepada dua gadis berpakaian minim menari-nari di depan took, mengajak orang lewat untuk membeli. Salah satu dari dua gadis itu adalah Hae-mi. Suatu teknik pengenalan tokoh-tokoh karakter di film yang dilalui dengan smooth dan manis.
Jong-su tidak mengenali Hae-mi yang telah melakukan operasi plastik. Korea memang terkenal sebagai negeri yang bisa mengubah wajah dan penampilan fisik seseorang. Operasi plastik menjadi begitu banyak dan lumrah, mudah dijumpai di banyak orang, di banyak tempat, seperti nantinya kita akan melihat banyaknya greenhouse yang terbuat dari plastik di sekitar rumah Jong-su di kampung Paju.
Hae-mi meminta tolong kepada Jong-su untuk merawat kucing peliharaan di apartemennya, sementara dia akan traveling ke Kenya. Di unit apartemen yang sempit, Hae-mi membangkitkan ingatan Jong-su akan perkawanan mereka waktu kecil, antara lain dengan mengatakan bahwa Jong-su pernah bilang bahwa dirinya buruk rupa (ugly), dan pernah menolong dia ketika terperosok ke sumur. Sepertinya Hae-mi ingin membuat ada rasa bersalah Jong-su dengan dengan maksud tersembunyi ingin “menguasai” Jong-su. Sampailah kemudian mereka bermain seks—yang sepertinya pengalaman pertama bagi Jong-su. Dialog dan scene ini penting untuk memahami hubungan antarindividu yang timpang dan makna exploitation de l’homme par l’homme, ekploitasi manusia atas manusia dalam kapitalisme seperti dalam banyak karya Murakami.
Pulang dari traveling, Hae-mi datang bersama Ben, sesama orang Korea yang bertemu saat ada kerusuhan di Kenya. Cerita bergulir semakin intens dengan kehadiran Ben, lelaki tampan, kaya raya dan mapan, tapi misterius. Drama dibangun di antara mereka bertiga.
Dalam banyak karya Murakami, tokoh-tokohnya dibangun dengan obsesi untuk mengeksplorasi dan memahami inti dari identitas manusia. Tokoh yang dihadirkan sepertinya kerap melalui sebuah perjalanan ke tanah kematian, dunia mimpi, ke dunia metafisika yang digunakan untuk menelusuri lebih jauh ingatan akan sesuatu yang pernah dimiliki. Karena itu, sutradara sangat cekatan menghadirkan benda-benda atau peristiwa dan tempat ke dalam scene yang semuanya memiliki makna dan terkait satu sama lainnya dengan keseluruhan cerita, dan kemudian mencoba masuk ke dalam pikiran dan kemauan Murakami yang terefleksi dalam layar, seperti jam tangan pink pemberian Jong-su kepada Hae-mi; mobil sport Porsche milik Ben yang kontras dengan mobil butut Jong-su sebagai simbol pertentangan kelas, sumur, kucing yang bernama “Boil”, propaganda politik Korea Utara yang terdengar di kampung Paju dan lebih terasa sebagai teror, koleksi pisau ayah Jong-su, greenhouse, jari-jari tangan membentuk burung terbang, semua memiliki makna semiotik dan saling-terkait.
Pengalaman pertama bercinta sepertinya sangat berkesan bagi Jong-su. Rasa itu menimbulkan cemburu Jong-su pada Ben yang dengan kepemilikan mobil mewah dan ketampanan “telah merebut” hati Hae-mi. Ben bagi Jong-su, bukan hanya penuh misteri: hidup sendiri, rumah mewah dan tertata rapi, bermobil mahal, tapi juga seperti sumur tanpa dasar yang menarik Hae-mi terserap masuk dan membikin Jong-su hanya bisa masturbasi setiap keinginan bercinta lagi dengan Hae-mi namun secara fisik tidak ada. Suatu reaksi dari sebuah fantasi guna menghadirkan pengalaman semu ke dalam pikiran namun gagal. Jong-su tidak berdaya. “Aku terjatuh ke dalam sumur”, kata Hae-mi.
Telah terbangun cinta segitiga yang ganjil dan tidak seimbang. Dari pembukaan film yang lambat dan monoton, ritme menjadi meningkat seiring konflik hubungan yang memanas seperti mendidihnya rasa cemburu Jong-su. Ingat nama kucing Hae-mi, “Si Boil” “Si Mendidih”, yang diberi nama karena ditemukan dekat pusat tungku pemanas di kompleks apartemennya.
Rasa sial Jong-su semakin menjadi ketika Ben dan Hae-mi pulang kampung ke Paju mengunjungi Jong-su. Bertiga mengisap ganja dan teror kata-kata Ben pada Jong-su tentang kerjaannya membakar greenhouse setiap dua bulan sekali tanpa pernah ketahuan sekali pun, “You can make it disappear as if it never existed,” seperti dikatakan Murakami sendiri.
Suatu kali Jong-su menerima telpon dari Hae-mi tapi segera terputus, untuk selanjutnya dia tak pernah bisa lagi menghubungi.
Jong-su menguntit Ben dengan bermain di sekitar rumah Ben. Dalam suatu dialog, Jong-su yang pernah mengaku ingin menjadi penulis dan mengidolakan William Foulkner, penulis Amerika, diperlihatkan oleh Ben novel Faulkner “Great Gatsby”. Secara halus Ben telah memberi peringatan pada Jong-su. Lewat Foulkner, Ben berkata, “The past is not dead. In fact, it is not even past. Fact and truth really don’t have much to do with each other”.
Dalam usaha pencarian, Jong-su bertemu keluarga Hae-mi yang berjualan mie. Ada dialog di antara mereka yang menyinggung cara mendapatkan uang dengan menjual organ tubuh. Apakah Ben yang kaya raya itu terlibat human trafficking dengan berbisnis organ tubuh? Wallahualam. Masih misteri. Inilah yang membuat film semakin asyik karena kepiawaian sutradara menjalin puzzle dan beberapa gambar yang cantik. Jong-su seperti masuk ke dalam lorong misteri karena terngiang ucapan Ben, “If you play with fire, you will get burned”.
Dalam jalinan cinta yang berbumbu misteri sutradara bersama kameramen masih bisa menghasilkan gambar-gambar efektif, berarti dan tetap cantik. Puncak gambar sinema indah adalah saat bertiga sambil menghisap ganja, selama empat menit lebih, dengan latar belakang senja lembayung, Hae-mi menari topless dengan iringan terompet Miles Davis membawakan “Generique”, membuat gestur tangan seperti elang terbang, sebagai signal perpisahan menuju ke kematian.
Dendam Jong-su pada Ben terus terbawa. Penggambaran pertentangan kelas dan polarisasi dalam masyarakat yang timpang dan menyedihkan. Setelah Jong-su menikam Ben dengan pisau yang dibawa dari desa Paju, dimasukkannya mayat Ben ke Porsche, Jong-su melucuti bajunya sendiri hingga telanjang bulat dan membakar mobil ikon kemewahan itu. Berlari ke mobil busuknya, dan menyetir, menjauh. Dari depan kamera menyorot wajah Jong-su dengan masih terlihat kobaran api mobil Ben namun udara masih berselimut dengan kabut. Seolah membayar tuntas dendamnya. Seolah tidak ada beban. Seolah mematikan “diri” dan egonya sendiri untuk memasuki dunia metafisik, persis juga apa yang pernah dikatakan Murakami, “Death is not the opposite of life, but a part of it”. Gambar yang puitis, seperti puisi masterpiece Chairil Anwar: “Aku”
Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri/
Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku ingin hidup seribu tahun lagi/
Peringatan sutradara pada penonton di awal lewat pengambilan gambar yang mengikuti Jong-su, seperti juga mau mengatakan pada dunia bahwa sinema Korea bukan hanya sinetron yang membikin nangis penonton.[MFR]

Praktisi Yoga