Alang-Alang di Ladang Kita

Benih yang unggul berkembang menjadi tananam yang sehat dan produktif jika ditanam di lahan yang subur dan terus dipelihara. Jika tidak, maka benih itu akan dikalahkan oleh alang- alang yang menguasai lahan pertanian kita

—- Prof. Fauzan Saleh

Seorang pengamat dari Australia mengisahkan pengalamannya ketika dia sedang mampir di warung kopi bersama seorang temannya. Untuk membeli dua cangkir kopi dan sepotong kue di warung itu, dia harus membayar Rp6000. Namun yang mengherankan si pengamat adalah bagaimana si tukang warung harus mengambil kalkulator untuk menghitung jumlah harga dari si pembeli itu: 2000+2000= 4000; 4000+2000=6000. Setelah si pembeli memberikan uang pecahan Rp10,000, si tukang warung kembali memainkan kalkulatornya untuk menghitung 10,000 – 6000 =4000. Tidak jelas mengapa si pengamat bule itu heran. Bisa jadi dia menganggap si tukang warung latah, sok modern bisa menggunakan kalkulator. Yang menarik ialah suatu kenyataan bahwa hanya untuk hitungan amat sederhana  itu  saja,  warga  masyarakat  tersebut  tidak  mau  (atau tidak  mampu) menggunakan kecerdasan dasarnya.

Itulah mengapa posisi remaja Indonesia (usia 15 tahun) hanya berada pada urutan ke-64 dari 65 negara yang disurvei oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development, ‘Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi’) dalam International Program for Student Assessment (IPSA). Sungguh suatu kenyataan yang amat memprihatinkan. Penilaian IPSA itu ditujukan untuk mengetahui kemampuan anak-anak  remaja  dari  negara-negara  yang  tergabung dalam OECD dalam bidang sains, matematika dan kecakapan membaca. Indonesia hanya unggul di atas Peru yang menempati urutan terbawah, 65.

Pertanyaan klasik yang belum pernah terjawab secara tuntas: apa yang salah dengan pendidikan kita? Penulis pun tidak ingin berpretensi mampu menjawab pertanyaan itu. Namun ada beberapa kenyataan yang dapat kita amati bersama dari pengalaman sehari-hari kita. Penilaian para pengamat pendidikan juga sudah sering dimunculkan di  media  untuk  memberikan analisis  tentang kenyataan tersebut. Salah satu uraian dikemukakan oleh pengamat bule Australia yang menuliskan artikelnya di Inside Indonesia, edisi Oktober-Desember 2013.

Problem pendidikan memang tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan lingkungan sosial budaya maupun geografis sekitarnya. Menurut alm. Prof. Muhaimin, pakar pendidikan Islam dari UIN Maliki Malang,  penyelenggaraan pendidikan pada hakikatnya tidak beda dengan menyemai suatu benih. Mula-mula tentu kita harus berusaha untuk mendapatkan benih yang unggul. Namun benih unggul itu tidak akan berarti banyak jika lahan pertanian yang kita gunakan untuk menyemai benih itu tidak dipersiapkan dengan baik.  Benih yang unggul berkembang menjadi tananam yang sehat dan produktif jika ditanam di lahan yang subur dan terus dipelihara. Jika tidak, maka benih itu akan dikalahkan oleh alang- alang yang menguasai lahan pertanian kita.

Baca juga:   Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia [pdf. available]

Kenyataan seperti itulah yang dapat kita lihat di lingkungan kita. Bagaimana guru dan lingkungan sekolah berusaha sekuat tenaga memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya, tetapi begitu keluar dari lingkungan sekolah anak-anak sudah  harus berhadapan dengan kenyataan yang amat kontras dengan yang diajarkan di sekolah. Itu pun jika sekolah (dan guru-gurunya) sendiri memiliki komitmen cukup tinggi untuk memelihara lingkungan sekolahnya dengan baik.

Faktor krusial yang menarik perhatian pengamat asing yang disebut di atas, antara  lain  adalah  kenyataan  bahwa  sekolah  tidak  pernah  bisa  menjalankan otonomi akademiknya. Sekolah terlalu banyak diintervensi oleh kepentingan birokrasi. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang sekolah dan guru-gurunya diperalat untuk kepentingan politik penguasa. Tidak heran jika kemudian menjadi guru-pendidik identik dengan menjadi birokrat yang harus tunduk dan patuh pada hierarki kekuasaan di atasnya. Sistem kebijakan politik di negeri kita masih menganut “madzhab” seperti itu. Dan jelas, itu amat merugikan dunia pendidikan kita.

Alang-alang atau ilalang adalah rumput liar yang sering tumbuh di sawah, ladang, pekarangan, lapangan atau halaman kosong yang tidak terawat. Ia bisa tumbuh di mana saja. Apalagi jika diberi kesempatan. Alang-alang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang kerap menjadi gulma di lahan pertanian. Dalam bahasa ilmiahnya ia dikenal  dengan  nama  imperata  cylindrica.  Sebagai  gulma  dan bersifat invasif kehadiran ilalang tentu tidak diinginkan karena sangat mengganggu pertumbuhan tanaman produksi dan akan  mengurangi hasil tanaman yang kita budidayakan.

Meski disebutkan memiliki banyak manfaat, terutama pada bagian akarnya, tanaman ini akan mengalahkan bibit unggul yang kita semaikan dengan segala harapan. Alang-alang tanpa ditanam pun akan dengan cepat tumbuh dan menjadi predator bagi tanaman lain. Bibit unggul yang kita tanam akan dengan mudah dikalahkan oleh kehadiran alang-alang yang tumbuh tanpa kita kehendaki. Prof. Muhaimin dalam suatu kesempatan memberikan kuliah umum di  Pascasarjana IAIN (waktu  itu STAIN)  Kediri,  beberapa  tahun  yang  lalu.  Beliau mengambil  i’tibar dari rumput ilalang untuk menggambarkan kompleksitas dunia pendidikan yang tengah kita bangun. Ibaratnya, jika kita ingin menanam padi maka sering sekali rumput- rumput liar ikut tumbuh sebagai gulma dan sangat mengganggu pertumbuhan padi yang kita tanam. Sebaliknya, ketika kita menanam rumput hampir bisa dipastikan tidak akan ada padi yang ikut tumbuh bersamanya.

Jika kita refleksikan dengan perkembangan saat ini, kondisinya akan tampak lebih parah. Wabah Covid-19 telah memorak-porandakan dunia pendidikan pada semua jenjang, mulai dari PAUD sampai perguruan tinggi. Tentu bukan hanya dunia pendidikan saja yang terdampak oleh pandemi Covid-19 ini. Namun dunia pendidikan yang jadi tanggung jawab kita telah menunjukkan berbagai fenomena yang sangat memprihatinkan. Jika di atas Prof. Muhaimin mengkhawatirkan sia-sianya upaya gigih para pendidik dalam membangun kecerdasan peserta didik di  sekolah ketika  dihadapkan pada  realitas  pahit  di  tengah  masyarakat,  maka pandemi Covid-19 telah membuat semua gambaran itu ambyar dengan sendirinya. Sekarang ini bukan lagi bibit unggul yang pasti terdesak oleh rumput ilalang di alam bebas, tapi tempat penyemaian bibit unggul itu sendiri sekarang sudah tidak berfungsi dengan baik. 

Baca juga:   “Indonesia Terserah” dan Defisit Keagamaan

Pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan teknologi informasi berbasis jaringan internet tidak mungkin bisa menggantikan peran guru-pendidik yang harus ikut mengawasi perkembangan perilaku siswa dan berupaya menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur dengan keteladan perilaku para guru yang hadir di lembaga pendidikan. Maka tidak terlalu salah jika kita ikut-ikutan latah meneriakkan “dunia pendidikan terserah!” dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini.

Dengan merebaknya wabah Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berlalu, orang baru menyadari ternyata menjadi guru itu tidak mudah. Menyuruh anak belajar itu juga sangat sulit, padahal yang menyuruh orang tua si anak itu sendiri. Di dalam beberapa video dan meme yang berseliweran di dunia maya, sering kita temukan sindiran yang lucu-lucu dan menggelitik perhatian kita. Ada seorang ibu-ibu yang bertindak sangat emosional dengan memukuli atau mencubit anaknya sendiri karena si anak tidak mau disuruh belajar. Anaknya tambah rewel, menangis dan memberontak karena dia lebih suka bermain daripada disuruh mengerjakan tugas dari gurunya.

Ada  lagi  gambar  lucu  menunjukkan tahapan ketika  seorang anak  harus mengerjakan tugas-tugas dari gurunya di rumah. Anak dengan seragam Pramuka tingkat SD itu sudah siap dengan buku pelajaran di ruang belajar yang nyaman di rumahnya. HP sebagai sarana penunjang belajar juga sudah siap di atas meja. Pada 2 menit pertama dia tampak serius membaca buku pelajarannya. Pada 5 menit berikutnya dia sudah mulai menyandarkan kepala pada tangan kirinya.  Tanda- tanda bosan sudah mulai tampak dari bahasa tubuhnya. Selanjutnya, memasuki menit ke-10, dia sudah mengangkat kakinya di atas meja. Pada menit ke-12, badannya sudah disandarkan pada sandaran kursi. Merasa semakin nyaman dengan posisi seperti itu, pada menit ke-15 kepalanya sudah direbahkan pada sandaran kursi, dan pada menit ke-20 dia sudah membujurkan tubuhnya di atas kursi sofa yang empuk. Mata pun telah terpejam dengan sempurna, pulas dalam tidurnya.

Belajar di rumah secara mandiri, meski ditopang oleh fasilitas yang cukup, belum tentu efektif sebagaimana ketika siswa belajar di sekolah, di bawah asuhan dan bimbingan para guru dan pendidik, serta lingkungan sekolah yang didesain untuk belajar dengan baik. Gesekan dengan sesama teman sebaya juga menjadi faktor sangat menentukan dalam proses pembelajaran. Pandemi Covid-19 telah membuat kita tidak mampu memberikan pilihan-pilihan yang baik untuk proses belajar-mengajar bagi anak-didik kita. Ini bukan sekedar persoalan ilalang yang tumbuh liar mengalahkan tanaman padi di sawah kita, tetapi, gara-gara Covid-19, sawah kita tidak bisa ditanami padi lagi. Sungguh memprihatinkan.[MFR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *